His Temptress | 88


Happy reading peeps!

Dari dulu Ewan tidak menyukai penampilan Lidya dalam balutan gaun pesta. Ewan tidak menyukai bagaimana wanita itu tersenyum dengan bibir merah merekah seolah memancing seluruh pria untuk memandangnya. Ewan tidak menyukai bagaimana tengkuk Lidya terekspos dengan begitu sexy-nya. Dan hanya Tuhan yang tahu betapa ia tidak menyukai bagaimana jemari lentik wanita itu menutup bibirnya saat wanita itu tertawa. Ewan tidak suka...

Ia juga tidak menyukai bagaimana payudara wanita itu terlihat dari gaun malam yang dikenakannya.

Terlebih lagi, Ewan mengutuk bagaimana sempurnanya wanita itu dalam balutan gaun—gaun pilihannya. Dan bagaimana fantasi liar-nya yang menghantui mimpi indahnya selama lima tahun ini terlihat begitu sempurna, seolah-olah fantasinya itu keluar dan menjelma menjadi nyata.

She's perfect...

Ewan selalu mengetahui hal itu, dan wanita itu tidak pernah tahu betapa Ewan memuja seluruh dirinya. Ewan rela kehilangan segala yang dimilikinya hanya untuk melihat senyum wanita itu. Dari dulu... hanya wanita itu yang ada di benaknya.

And the whole heaven knows that he loves her.

"Bagaimana penampilanku?" Tanya Lidya sambil tersenyum lebar. Ia memutar tubuhnya dengan begitu lembut hingga membuat gaun yang membalut tubuhnya itu berayun dengan anggun. "Lizzie bilang kau memilihkan gaun ini dan..."

Ucapan Lidya terhenti ketika melihat tatapan Ewan. Ia mengenali tatapan itu. Sebuah tatapan penuh hasrat dan gairah. Lidya berhenti memutarkan tubuhnya, sementara kedua tangannya berada di balik punggungnya tengah mencengkram satu sama lain.

"Dia mencintaimu Lidya..." Ucapan terakhir dari Lizzie ketika mereka sedang berada di ruang ganti telah membuat dirinya lebih percaya diri. Kalau dulu hingga beberapa saat yang lalu ia masih sulit mempercayai kenyataan bahwa pria itu mencintainya, kini ia percaya.

Dan Lidya kini percaya bahwa tidak ada wanita lain di hati pria itu. Hanya dirinya...

Pemikiran itu membuat Lidya bergerak maju ketika Ewan masih terdiam dengan sebuah dasi di tangan kanan pria itu. Setiap langkah yang di ambil Lidya membuat hatinya membuncah, di penuhi dengan ratusan kupu-kupu yang membawakan kebahagiaan untuknya.

Ketika ia sudah berdiri tepat di hadapan pria itu, Lidya berhenti melangkah.

Ia mengulurkan tangannya kearah Ewan, mengelus jambang halus di rahang pria itu sementara ia menahan kebutuhan lebih atas Ewan. "Apakah penampilanku kurang menarik, Marshall?" bisik Lidya pelan.

"Bagaimana kau berpikir seperti itu?"

"Because you have not kissed me yet, Marshall." Jemari Lidya merayap di jas satin pria itu, dan bulu matanya secara natural mengikuti kegugupannya. Tanpa sadar bibir Lidya setengah terbuka ketika berkata, "Mars—"

"Kau tidak mau tahu apa yang ada di pikiranku sekarang ini, Agapi Mou."

Jemari Ewan merayap membelai bibir bawah wanita itu yang terbuka, ia sudah menahan keinginannya untuk mendorong Lidya ke dinding dan bercumbu dengan kasar hingga ia menuntaskan hasratnya. Ia juga sudah menahan setengah dirinya dengan akal sehat untuk tidak merobek gaun malam yang dikenakan wanita itu.

Demi Tuhan, ia berusaha untuk tidak merubah rencana Lizzie malam ini.

Setengah dirinya yang kalah oleh hasrat mulai memberontak. Ia membiarkan tubuh wanita itu menempel pada tubuhnya sendiri, sementara lengannya melingkar di pinggul wanita itu dan jemarinya merayap di bokong Lidya lalu meremasnya pelan. Sentakan nafas Lidya hampir membuat kewarasan Ewan hilang, namun ia masih menahannya.

Bibirnya menempel pada telinga wanita itu. Sambil meneguk saliva-nya, Ewan menunduk untuk memberikan satu kecupan panas pada leher putih Lidya dan memberikan satu tanda kepemilikan yang begitu terlihat di kulit putihnya.

Lalu Ewan berbisik pelan, "All I want is to lay you down on the floor and tear that damn dress right now and we'll make love until we both lose our breath. I want to destroy you. I want to destroying your entire sanity until you can no longer think that you can live without me."

"Then break me. Destroy me as you wish, Marshall..." jawab Lidya cepat. Jemarinya mencengkram lengan Ewan dan ia kembali berkata, "Aku tidak peduli asalkan aku bersamamu. All I want is..."

"All I want is you," ucap mereka berdua secara bersamaan.

Dan ketidak sengajaan itu membuat mereka berdua tertawa bersama. Tepat di saat yang bersamaan, pintu terbuka dan memperlihatkan Lizzie berbalut gaun yang disukainya. Gaun dengan warna lembayung. Ia menyembulkan kepala dan menggeleng dengan senyum di bibirnya, "Ayolah, kalian bisa memperlihatkan kemesraan kalian di hadapan publik nanti dibanding memperlihatkannya pada tempat tidur dan angin yang sepoi-sepoi."

"Lizzie, sudah berapa kali aku memperingatkanmu mengenai 'ketuk pintu sebelum masuk'?" tegur Ewan sambil memutar kedua bola matanya.

Lizzie mengibaskan tangan dan berkacak pinggang.

"Aku sudah pernah melihatmu telanjang, aku sudah pernah melihat seluruh adegan mesummu dengan kekasih one night stand-mu. Jadi, aku tidak butuh mengetuk pintu karena aku tidak akan terkejut ketika melihat kalian berdua sedang memadu kasih. Okay?"

"Demi Tuhan. Inikah kelakuan Ratu Inggris? Aku seharusnya mengekspos seluruh kejelekanmu dan menjadikannya headline di media kabar, Lizzie," ucap Ewan asal.

"Oh ya, dan aku akan mengekspos kenyataan bahwa kau berpura-pura menjadi gay hanya untuk melarikan diri dari wanita-wanita di luar sana."

Lizzie lagi-lagi mengibaskan tangan dan melenggang keluar dengan santai dan meninggalkan Ewan yang masih menggerutu. Sementara Lidya menggeleng kepalanya dengan bingung. Ia menahan dirinya untuk tidak tertawa karena seorang Ratu Inggris mampu membuat Marshall Wellington tidak berkutik dan untuk pertama kalinya, Lidya melihat Ewan kalah. Dan hal itu sangat langka.

Sebelum Lidya sempat berkata apapun dan sebelum Ewan selesai menggerutu, mereka berdua mendengar Lizzie berteriak kencang, "Come on child!"

Seluruh pendatang di luar negeri, baik traveler maupun pe-business lainnya yang datang ke Bali untuk bersenang-senang pastilah pernah mengunjungi Mirror. Sebuah tempat yang sering sekali menjadi tempat terpilih bagi pasangan yang ingin melakukan pre-wedding photoshoot, tempat yang sering menjadi pembahasan di berita local maupun internasional.

Mungkin bagi sebagian orang, tempat tersebut hanyalah tempat club yang terlihat unik karena arsitektur bangunannya yang menyerupai katedral. Pada malam hari biasanya tempat ini ramai dengan penduduk lokal dari kalangan atas, mereka memesan sofa, bercengkrama sambil menikmati musik yang di mainkan oleh beberapa DJ dari luar negeri.

Dan tentu saja Lidya juga pernah membaca artikel yang membahas mengenai tempat ini. Ia menyukainya. Lidya menyukai bagaimana bentuk arsitektur ini terlihat begitu apik dan juga elegan, yang tidak ia sukai hanya bagaimana tempat indah ini di jadikan sebuah club yang dipenuhi dengan aroma rokok tidak sedap.

Tapi malam ini, Lidya menarik semua pemikiran jeleknya mengenai tempat itu.

Malam ini, segalanya terlihat begitu sempurna. Ballroom tempat itu seterang yang pernah dilihatnya dalam artikel. Beberapa pelayan berlalu lalang dengan membawa nampan yang berisi beberapa macam minuman, ada juga pelayan wanita lainnya yang menyuguhkan aneka pastrie dan beberapa macam makanan lainnya.

Lidya bisa melihat bahwa di ruangan itu, tidak ada panggung sama sekali dan tempat ini sebenarnya tidak cocok di gunakan sebagai tempat untuk perayaan seorang Raja Inggris. Tapi Lidya bisa melihat bagaimana kuasa Elizabeth mampu merubah ruangan yang elegan itu menjadi lebih elegan dan pantas disebut sebagai... pesta dansa.

Iya, seluruh tamu yang datang mengenai gaun malam yang memukau, beberapa tamu kehormatan dari luar negeri yang biasa hanya dilihat Lidya dari artikel, kini tengah menari dan bercengkrama satu sama lain di ruangan tersebut.

Ketika Ewan menuntunnya masuk ke dalam ruangan, mendadak Lidya menjadi sedikit panik. Ia tidak terbiasa dengan seluruh perubahan ini, walaupun ia sebenarnya bukan dari kalangan tidak mampu.

Ewan yang merasakan ketegangan Lidya, langsung mengetatkan pelukannya di sekeliling tubuh wanita itu dan dengan lembut bertanya, "lapar?"

Cukup satu pertanyaan itu, ketegangan Lidya langsung menguap seketika.

"Seriously, Marshall? Aku sedang tegang dan kau malah bertanya apakah aku lapar?" gerutu Lidya kesal. "Aku ini tegang. Tegang. Bukannya—"

"Tapi kau lapar?" Tanya Ewan sekali lagi.

Bunyi perut Lidya mampu membuat wanita itu mau tidak mau mengakui bahwa ucapan Ewan benar, bahwa ia lapar. Dengan kesal Lidya menghentakkan kakinya ke lantai sementara matanya mendelik kearah pria itu dengan amarah yang tidak di tutupi. "Yes, I'm starving," jawab Lidya sambal menggeram.

Ewan tertawa.

Kemudian ia membawa wanita itu ke pinggir ruangan dan mencicipi beberapa makanan. Memang tempat itu terlihat elegan, tapi Elizabeth tetap tidak menyingkirkan satu khas Bali yaitu sate-nya yang terkenal enak itu. Dan tentu saja, Lidya yang memang sangat menyukai kuliner, langsung menghilangkan kekesalannya dan mencicipi makanan tersebut di pinggir ruangan dengan santai.

Sementara itu, Ewan mencicipi wanita di hadapannya dengan sebuah sate di tangannya. Ia cukup puas dengan saat ini sebenarnya. "Sate ini enak juga," bisiknya pelan sambil tetap menguyah dengan pandangan masih terarah pada Lidya.

"Tentu saja. Aku sudah mengatakan kepada Mom untuk tidak menghapus sate ini dari list makanan dan sepertinya keputusanku benar."

Ucapan yang terdengar di sebelahnya membuat Ewan menoleh dan ia menyengir, "Hai Charles, senang dengan tugas baru-mu?"

"Fuck off, Marshall. Habiskan saja sate-mu daripada menghinaku," gerutu Charles.

"Kau tidak senang dengan gelar barumu?"

"Kalau gelar barumu membuatmu tidak bisa racing sesuka hatimu, atau melakukan tur seperti dulu. Then the answer is yes. Aku tidak terlalu senang dengan gelar sialan ini."

Ewan menaikkan alisnya, ia menggigit satu daging terakhir pada tusuk sate dan membuangnya pada tempat sampah. Dengan santai Ewan mengunyah makanannya sambil berkata, "Tapi kau tetap melakukannya. Iya kan?"

"Yes, aku akan melakukannya Marshall. And do you know why?" Tanya Charles sambil tersenyum malas.

"Lizzie."

Jawaban terakhir Marshall mendapatkan senyuman miring dari sahabatnya. Tentu saja mereka berdua tahu kalau Charles akan melakukan apapun demi membuat ibunya bahagia, jika meraih gelar sebagai Raja mampu membuat Ibunya beristirahat dengan tenang, maka Charles dengan senang hati menukarnya dengan kebebasan yang tidak seberapa ini.

Tapi mereka berdua tidak perlu membahasnya.

"Jadi, kau sudah menyiapkan cincinnya?" Tanya Charles.

Tanpa sadar Ewan merogoh saku-nya dan menggigit bibirnya. Jemarinya meremas kotak beludru yang tersimpan di saku celananya dengan sangat erat. Sebenarnya ia tidak tenang. Ewan sangat tegang sekarang ini, ia menutup matanya perlahan dan berbisik kepada Charles, "Menurutmu dia akan menerimanya?"

Untuk sejenak Charles hanya menaikkan alisnya, tatapannya langsung terarah pada Lidya yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Kemudian ia menatap Ewan lagi dengan tatapan seakan-akan pria itu tidak waras. "Kau mau dia menolakmu?" tanyanya pelan.

Ewan menggeram.

"Ayolah Marshall, orang buta pun tahu kalau dia mencintaimu. Dia akan menerimamu tentu saja," lanjut Charles sambil menepuk pundak Ewan santai untuk meredakan ketegangan pria itu. "Penolakan adalah hal terakhir yang akan kau terima, Wellington. Sebaiknya kau bersiap saja untuk merelakan status single-mu itu."

"Aku tidak peduli dengan status sialan ini, Charles. Selama aku—"

Ewan menghentikan ucapannya karena melihat Lidya di dekati oleh dua pria berjas yang terlihat masih muda, sepertinya kedua pria itu baru memasuki awal dua puluh-an. Dan terlebih lagi salah satu pria pirang itu berani menyentuh pundak telanjang Lidya seolah-olah hal itu wajar untuk di lakukan.

Dengan kesal Ewan mengenyahkan tangan Charles dari pundaknya dan berjalan dua langkah mendekati Lidya. Ia menarik wanita itu kedalam pelukannya sementara mata hijaunya menatap kedua pria itu dingin dengan aura intimidasi yang sulit di tolerir manusia manapun.

"Who are you?" Tanya Ewan kasar.

Kedua pria muda itu langsung mengetahui siapa yang ada di hadapannya. Tentu saja mereka tahu siapa Ewan Wellington, sebagai start up di dunia bisnis, sangat bodoh kalau mereka tidak mengenal Wellington. Tapi Wellington yang mereka kenal atau yang mereka tahu... sangat berbeda dengan Wellington yang kini berdiri di hadapannya.

"Eh, Mr Wellington, kami—"

"Touch my woman, and I swear will cut your hand," bisik Marshall dingin hingga kedua pria itu tidak melanjutkan ucapannya lagi. "I'll kill you if I see you approaching my woman within two meters. Do. You. Understand?"

Tidak puas hanya itu, Ewan berteriak memanggil Eugene dengan satu suara lantang. Tidak lama kemudian asisten sekaligus penjaga-nya itu langsung berdiri di samping Ewan dan berkata dengan nada datar. "Lizzie memanggilmu."

"Aku tidak ingin melihat mereka di sini. Got it?"

"Got it, boss."

Tanpa mendengar protes dari wanita di pelukannya, ia membawa Lidya pergi sementara sebenarnya wanita itu ingin menjelaskan bahwa kedua pria itu tidak berniat menggodanya. Kedua pria itu berpikir kalau ia sendirian tanpa pendamping dan berniat baik dengan mengajaknya berbincang.

Tapi Lidya membatalkan niatnya untuk menjelaskan hal tersebut kepada pria pemarah di sampingnya karena walaupun ia melakukannya, Marshall akan tetap marah. Dan pria itu malah akan semakin marah jika ia membela kedua orang asing tersebut.

Jadi, ia membiarkan pria itu membawanya ke ruangan lain yang terdapat pada salah sudut ruangan dan berharap kemarahan pria itu akan reda dengan satu kecupan seperti sebelumnya. But, is it possible?

TBC | 17 januari 2018

Repost | 1 Juni 2020

P.s : Please all, add IG Margarethnataliaf & EwanWellington untuk pemberitahuan update dan segala macam informasi mengenai Bakwan dan cerita lainnya. Kami akan menginformasikan jika ada pemberitahuan penerbitan di kedua tempat itu. 

P.s.s : Maaf atas keterlambatan repost karena kami sibuk dengan berbagai macam kegiatan masing-masing. Hari ini juga sebenernya sibuk, tapi diusahakan repost lagi sesuai jadwal. Terimakasih atas pengertiannya.

Salam hangat,

Nath-

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen kalian ya :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top