His Temptress | 83
"Aroma kopi terbaik adalah ketika kau tersenyum."—Ewan M. Wellington.
Untuk ketujuh kalinya dalam satu minggu ini Lidya mendengar Marshall mengucapkan cinta. Itu bukan sesuatu yang buruk, malah ia merasa Marshall telah kembali. Pria itu telah kembali dengan sejuta pesona dan juga berbagai tingkah yang membuat Lidya hampir saja mati kesal.
Sebagai contoh, pria itu telah dengan sengaja menghilangkan bedak-nya hanya karena Marshall tidak suka ia mengenakan bedak. Dan bisa kalian tebak alasan pria itu? 'Kulit aslimu tidak kalah dengan bedak, jadi jangan gunakan lagi.'
Yes, That's it. Pria itu hanya mengatakan alasan konyol itu dan di hari kemudian bedaknya langsung hilang. Crazy? Yep. Lidya tidak akan memuji pria itu atas kegilaan yang dilakukannya.
Tapi Lidya tahu bahwa Marshall-nya telah kembali. Dan hanya alasan itulah yang membuatnya tidak akan marah dengan segala kegilaan yang dilakukan oleh pria itu. Sambil memikirkan kegilaan lain yang mungkin saja akan dilakukan oleh pria itu, Lidya duduk di salah satu meja yang ada di Bar sambil memegang kopi hangat di tangannya.
Sementara ia menikmati cairan hitam pekat tersebut, matanya tidak ada habisnya menelan pemandangan di hadapannya di mana Marshall tengah membuatkan sunny side up bersama dengan Bacon. Yang membuat Lidya menatap pria itu adalah otot belakangnya. Ia meneguk kopi dengan cepat untuk menahan laparnya dan tanpa sadar tersenyum sendiri.
"Menatapku?"
Marshall tersenyum malas dengan lirikan jenaka yang terlihat jelas di matanya yang hijau. Ia menyandarkan punggungnya di salah satu sisi kulkas sambil bersidekap, kemudian mengangkat sebelah alisnya ketika menyadari wanita itu tengah terbatuk-batuk akibat ucapannya barusan. "Easy, aku selalu mengijinkan kekasihku untuk menatapku sepuas yang mereka mau."
"I'm not!" ucap Lidya cepat sambil meletakkan cangkir kopinya..
"Masa?"
"Stop it, Marshall. Kau terlalu percaya diri kalau mengira aku tengah menatapmu!"
Lidya tahu kalau Marshall sengaja membuatnya kesal. Karena pria itu malah sengaja tersenyum lebih lebar dan berkata, "Tapi aku menatap basah tatapanmu, sayang."
"Aku tidak—"
"Oh ya, tatapanmu seolah menelanjangiku bulat-bulat. Dan kalau kau sadar, Dee. Aku memang sudah setengah telanjang. Aku hanya mengenakan celana jeans-ku saja okay? Do you want to know, apakah aku memakai celana dalam atau tidak?" Tanya Marshall bercanda.
Mendengar pertanyaan itu secara otomatis tatapan Lidya turun ke celana Marshall dan terpaku di sana. Ia menelan saliva-nya dan tidak sanggup mengatakan apapun hingga pria itu meletakkan tangannya tepat di depan resleting celananya.
Langsung saja Lidya mengangkat kepalanya dan menyadari Marshall tersenyum miring. Ketika tatapan mereka saling bertemu, pria itu berkata, "Pervert."
"Listen, aku tidak sengaja melihat—"
"Oh yeah, aku juga menginginkanmu." Marshall berjalan mengitari dapur dan memerangkap wanita itu dengan kedua tangannya yang sengaja di bentangkan di sisi wanita itu. "Aku juga menginginkanmu tapi kita tidak akan melakukannya sampai kau memberikan apa yang kuinginkan, Agapi Mou."
Lidya menggigit bibirnya pelan.
"Sudah kukatakan untuk tidak melakukan itu, bukan?" Setelah mengatakan itu Marshall langsung mengecup bibir wanita itu, mengangkat tubuh Lidya hingga duduk di meja bar. "Nah, sekarang katakan kalau kau mencintaiku dan menginginkan kita menikah sesegera mungkin."
"Aku sudah memberikan jawabannya seminggu yang lalu," protes Lidya.
"No. Kau hanya memberikan kata-kata yang menuju kesana. Tapi aku sama sekali belum mendengar kau mencintaiku dan aku juga belum mendengar jawabanmu."
"Bukankah seharusnya itu sudah menjawab semuanya?"
"Tidak. Aku sudah mengatakannya kepadamu dan sekarang giliranmu untuk menjawabnya." Marshall tersenyum dan berbisik tepat diatas bibir Lidya dengan suara yang sangat pelan dan sensual. "Katakan kalau kau mencintaiku dan kita bisa bercinta di sini lagi dan lagi seperti yang kau inginkan."
"Kau yang menginginkannya. Kau dan otak kotormu, Marshall," ledek Lidya.
Marshall dengan sengaja memutar kedua bola matanya keudara dan berkata, "Fine. Keinginan kita berdua. Satisfied?" Ia menarik bokong wanita itu mendekat kearahnya dan kembali berkata, "Please?"
Dan itu merubah segalanya. Ucapan terakhir pria itu mengubah segalanya. Lidya bukannya tidak ingin mengatakannya. Ia hanya menginginkan sedikit kebahagiaan ini terjadi lebih lama agar ia tahu bahwa semua ini bukan hanya sekedar happy ending sementara. Dengan lembut Lidya menangkupkan tangannya di sisi wajah pria itu, mengelus jambang yang tumbuh dan menggesek kulitnya setiap malam. Hidung mancung yang terpahat begitu indahnya dan gerakannya berhenti di atas bibir pria itu.
"I love you Marshall Wellington. Bukan karena kau memiliki segalanya. Tapi..." Lidya menarik nafasnya, menggigit bibirnya pelan sebelum melanjutkan ucapannya. "...tapi karena kau mampu membuatku dan menarikku dari kegelapan yang selama ini mendorongku. Kau mampu... membuatku terlihat benar walaupun sebenarnya aku salah. Kau mampu... menjadikanku wanita yang paling berbahagia even kita hanya tidur di atas perahu tua di tengah danau."
"Then?" bisik Marshall pelan.
"Dan..." Lidya tersenyum lebar sembari menahan tangis bahagia di dadanya. " Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, Marshall. So please spare me and kiss me already."
"Accepted, Mrs. Wellington."
Dan sebuah ciuman mampu membuat mereka terdiam untuk sementara. Di sela-sela ciuman, Marshall berbisik rendah, "Lusa kita akan menikah. Yang perlu kau lakukan hanyalah bersiap-siap secantik mungkin. And without makeup, Dee."
"You're a terrible husband, Marshall. Bagaimana mungkin kau menyuruh wanita yang akan menjadi pengantin untuk datang ke altar without makeup?"
Jawaban yang diberikan Marshall adalah sebuah senyuman dan ciuman. Tepat ketika Marshall mendekatkan tubuh mereka, ia mendengar suara dan memutuskan untuk menyudahi ciuman mereka. Ia mengangkat kepalanya dan tatapannya memaku ketika ia melihat Aram tersenyum kearahnya dengan sebuah ponsel mengarah kepadanya.
"Oh no, jangan hentikan adegan kalian. Ini sangat bagus untuk vlog-ku, dude."
Sementara itu, Max yang berada di samping kusen pintu tengah menutupi wajah dan perutnya dengan tangan seolah menahan ketawa. Mengabaikan keterkejutan Lidya, Aram dengan santai berkata, "Sayang sekali ciuman kalian tidak di lanjutkan. Padahal aku bisa memastikan scene love kalian akan di lihat oleh ribuan viewer di Vlog-ku."
"Vlog, My ass Aram!" gerutu Marshall.
Tidak merasa terancam Aram malah tertawa dan dengan sengaja berkata kearah kamera ponselnya. "Oh hai semua, sayang sekali adegan Ewan Marshall Wellington harus berhenti di sini. Tapi kalian tenang saja, di video-ku berikutnya aku akan berusaha mendapatkan adegan sex life mereka."
"Aram, give that fucking phone to me!" geram Marshall dan langsung berlari kearah Aram. "Give that phone, Aram!" teriak Marshall sekali lagi ketika Aram tertawa terkekeh sambil menghindar.
Tangan Marshall hampir saja menyentuh ponsel Aram dan pria itu langsung berteriak, "Oh Shit!" sehingga membuat Marshall terkejut dan hampir saja bertanya 'Kenapa'. Namun sebelum ia bertanya Aram sudah menatap kearah Ewan dan menatap sahabatnya itu dengan tatapan horror. "Oh shit, Man. I'm so sorry."
"What happened?" Tanya Marshall bingung.
Perlahan Aram memperlihatkan layar ponselnya dan berkata dengan nada polos, "Aku terlanjur mengirimkannya kepada Max."
"Wha—Oh you're son of a bitch! I'll kill you for sure!"
"Max, pastikan kau menyimpannya di dalam galerimu kalau aku mati!!" teriak Arram sambil menaiki kursi di samping Lidya dan melompat keatas meja bar sambil tertawa terbahak-bahak. "Dan jangan lupa mengirimkannya kepada media!"
"Max tidak akan melakukan apa yang kau katakan, Damn it!" Ewan menaiki meja dan meletakkan lengannya di bawah dagu Aram seraya menyuruh pria itu untuk menyerah."Give me that phone, Alford!"
"Max, sudah kau simpan?"
"Max tidak akan melakukannya!" teriak Marshall sambil memiting lengan Aram. "Now, give me that phone atau aku akan menelan semua coklat di pabrikmu, Aram!"
Sejenak, Lidya hanya tersenyum melihat adegan bodoh di hadapannya. Ini pertama kalinya ia melihat bagaimana Marshall dan sahabatnya berinteraksi. Awalnya ia berpikir bahwa sahabat pria itu adalah pria yang sangat arogan. Pria kaya yang arogan dan tidak punya hati. Namun Lidya juga tahu betapa kedua pria itu sangat menyayangi Ewan dan hal itu membuat Lidya mau tidak mau tersenyum.
Lidya perlahan bangun ketika ponsel di sakunya berbunyi. Tepat ketika ia ingin keluar, ia mendengar Marshall bertanya kepada Max. "Max, kau tidak melakukannya bukan?"
Dan saat itu juga ia melihat Maximillian Russell mengangkat tangannya seraya memperlihatkan ponselnya lalu menjawab dengan wajah datar pria itu seperti biasanya. "Aku tidak menyimpannya."
"Oh God. You're so—"
"Tapi aku telah mengirimkannya kepada sekretarisku untuk mengirim kepada media tepat setelah hari pernikahanmu."
Saat Lidya meninggalkan ruangan makan, ia mendengar suara tawa yang membahana di sana sekaligus teriakan kesal dari Marshall yang sangat jarang didengarnya karena biasanya Marshall adalah satu-satunya pria yang suka sekali mengerjai teman-temannya. Mendengar suara itu, Lidya tersenyum. Suara pria yang sangat berbahagia, persahabatan yang begitu kental dan Lidya memutuskan untuk tidak mengganggu kedekatan mereka untuk sekarang.
Namun Senyum Lidya langsung berhenti ketika menyadari siapa caller yang tertera di layar ponselnya. Dulu, ia selalu takut mengangkat telepon begitu tahu siapa yang menghubungi, tapi kali ini tidak.
Ia berjalan mendekat kesalah satu jendela di ruangan tengah dan menjawab panggilan yang masuk. "Hai, Dad."
⃰
"Kau akan menyesal kalau tidak mendengarkan ucapanku, Sugar. Aku bisa melakukan apapun untuk menghancurkanmu."
Suara ayahnya yang begitu dingin terdengar dari seberang. Dengan tenang Lidya berkata, "Dad, bisakah kita berbicara selayaknya seorang ayah dan anak? Tanpa kau harus memerintahku atau mengancamku? Bisakah kita melakukan percakapan simple seperti bagaimana dengan keadaanmu sekarang?"
"Don't play with me, Sugar."
"Dad, Aku sudah lelah untuk terus menjawab ancamanmu. Dan aku akan menjawab untuk yang terakhir kalinya. Aku mencintainya. Aku mencintai Ewan Marshall Wellington. Iya, dia adalah orang yang sangat ayah benci dan sayangnya dulu aku tidak tahu kenapa dan bagaimana bisa orang yang aku cintai menjadi Ewan Wellington yang sangat kau benci, Dad." Lidya menarik nafas, sebelah tangannya mencengkram erat celana yang dikenakannya. "But I love him. Dan aku tidak bisa memilih antara dirimu dan dia."
"Dekati dia dan berikan aku kehancuran Wellington."
"Tidak." Lidya menghapus air mata yang mengalir di pipinya. "Aku tidak akan melakukannya, Dad. Dulu aku tidak menuruti kata-katamu dan kenapa kau pikir kali ini akan berbeda?"
"Kau menginginkan sebuah kematian lagi, Sugar?"
"Tidak. Tapi semua orang akan meninggal dan aku harus menerima Lucas-ku sudah meninggal. Thanks to you Dad." Dengan sepenuh tenaga Lidya harus menahan emosinya agar tidak berteriak. Jika kali ini ia memperlihatkan emosinya, maka ia akan kalah—lagi dari ayahnya dan ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. "Aku punya Marshall. Dan dia tidak akan membiarkan aku terluka. Jadi simpan saja semua ancaman yang hendak ayah ucapkan kepadaku."
"Pria-mu akan mati dan saat itu terjadi, kau akan melihat lagi satu mayat yang begitu di cintai olehmu."
"Kenapa..." Lidya menarik nafas perlahan. "Aku tidak mengerti kenapa kau begitu membencinya. Bukan salah Marshall jika kau tidak berhasil mendapatkan cinta ibunya. Bukan salah Marshall jika kau kehilangan wanita itu. Tidak pernah menjadi kesalahan Marshall, Dad. Tidak pernah sekalipun hal itu menjadi kesalahannya! So—"
"Kau-lah kesalahan itu."
Ucapan ayahnya yang begitu dingin seolah menusuknya hingga ke ulu hati. Selama ini, ayahnya memang tidak pernah mencintainya ataupun bersikap lembut. Namun, ucapan dingin pria itu selalu berhasil mempengaruhi emosinya. "Apakah kau tidak pernah menganggapku sebagai putrimu? Sekali saja dalam hidupmu, apakah... tidak pernah ada aku?" Kali ini ucapannya bergetar.
"Aku pernah mengatakan hal ini kepada ibumu dan aku akan mengatakannya sekali lagi kepadamu, Sugar. Dengarkan baik-baik. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai putriku. Kau tidak pernah menjadi sesuatu yang berharga bagi diriku. Jadi kalaupun kau memohon, berlutut dan menangis di hadapanku. Aku sama sekali tidak perduli."
Lidya mengeratkan genggamannya pada ponsel dan menahan dirinya agar tidak jatuh, menahan agar hatinya yang telah diinjak oleh ayahnya selama bertahun-tahun ini tidak lebih hancur dari sebelumnya.
Tidak sampai situ, Lidya mendengar ayahnya kembali berkata, "Kau dan Harletta, bagiku kalian berdua bukanlah siapa-siapa kecuali pion yang kugunakan untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Do you hear me, Sugar? You're nothing. Jadi jangan menganggap pria itu akan melihatmu sebagai sesuatu. Kau tidak pernah menjadi yang berharga di mataku jadi kenapa kau menganggap dia akan melihatmu sebagai seseorang yang berharga?"
"Do you know Dad?" Lidya menarik nafas untuk kesekian kalinya. "Kau benar, don't play with me. Kita seharusnya memang tidak pernah memiliki hubungan. Mama salah ketika mengatakan kau akan berubah. You're not. Mama juga salah ketika berkata kau adalah orang yang membutuhkan dukungan sementara ia tidak bisa melakukannya, wrong again. Kau bukan siapa-siapa bagiku, Dad."
"Bukan. Kita memang dari awal bukan siapa-siapa. Kau..." Kali ini Lidya membiarkan air matanya mengalir perlahan. "...bukanlah ayah yang kuinginkan. Jadi ayo kita hentikan sampai di sini. Anggap saja aku sudah mati lima tahun yang lalu, anggap saja tembakan yang kau berikan itu telah mengenai tengkorakku seperti yang kau inginkan. Aku juga akan menganggapmu telah tiada. It's fair, isn't it. Anggap saja kita berdua telah mati."
"Pria itu akan mati, dan kau akan menyesal, Sugar."
"Good Bye Dad."
Lidya menutup sambungan telepon tersebut lalu dengan cepat menghapus air matanya. Ia tidak akan menangis, ia berjanji kepada dirinya bahwa sejahat apapun ucapan ayahnya hal itu tidak akan mempengaruhinya. Tapi ia salah. Semua hal itu dan segala ucapan ayahnya mampu mempengaruhinya.
Ia tidak bisa melewatkan kenyataan bahwa sebenarnya ia masih mengharapkan ayahnya. Lidya bahkan tidak tahu mengapa ayahnya tidak mencintainya. Ia bahkan tidak bisa mengerti kebencian ayahnya itu. Kenapa dan mengapa. Kedua kata itu terus berulang kali berteriak di dalam kepalanya, tapi ia tetap tidak mendapatkan jawabannya.
Yang diketahuinya sekarang adalah kenyataan bahwa di benci oleh ayah sendiri itu terlalu menyakitkan untuk di terima. Lidya menghapus air matanya dan mengingat bagaimana Marshall melewati semua ini hampir seumur hidupnya dengan ayah yang membencinya.
"Untuk terakhir kalinya Dad, aku tidak bisa membiarkan kau menyakiti Marshall." Lidya menatap halaman hotel dari balik jendela tempatnya berdiri. "Kali ini, aku tidak akan membiarkan Marshall menjadi Lucas."
Karena kehilangan itu cukup sekali.
TBC | 28 Desember 2017
Repost | 25 Mei 2020
Perihal kemarin, miss K minta maaf ternyata miss K kurang fokus. Mungkin hari ini akan double repost (mungkin ya, kita nunggu kabar dari Nath dulu). Biar Nath semangat, jangan lupa vote dan comment yang banya ya guys :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top