His Temptress | 80
Dengan perasaan kesal yang telah tertumpuk selama beberapa hari ini, Lidya keluar sambil membawa buket bunga kesukaannya. Ia membuka pintu dengan marah dan berjalan menuju ruang makan. Di sana Lidya melihat begitu banyak yang sudah duduk di meja makan, termasuk Maximillian dan Aram Alford.
Mengabaikan kesopanan, Lidya langsung menyeruak masuk dan berdiri dengan mata menilai kearah mereka semua. Simon yang pertama kali menyadari keberadaannya, mengangkat roti lapis keju-nya dan bertanya,"Akhirnya kau bangun juga Nona. Mau lapis keju?"
"Lapis keju my ass!" teriak Lidya kesal.
Suara kasarnya membuat semua pria yang tengah mengangkat peralatan makannya langsung menurunkannya kembali. Bahkan tidak ada satupun dari mereka yang berani mengucapkan sepatah katapun. Tidak selesai sampai situ, Lidya mendekati Simon, mencengkram kerah baju pria itu dan bertanya dengan nada kasar. "Di mana bajingan itu?!"
Mulut Simon penuh dengan roti lapis Keju sehingga ia hanya bisa menunjuk kearah dapur. Setelah menelan makanannya, ia melanjutkan ucapannya. "Di-Di dapur. Dia sedang membuat Potato Gratin."
Eugene mengelap mulutnya dengan serbet dan langsung bangkit dari tempat duduk. Dengan tenang ia berkata, "Aku sudah selesai makan. Sebaiknya aku mengecek keadaan Harletta."
"Aku harus menghubungi Natalie," ucap Aram berikutnya yang di ikuti oleh Max yang juga hendak menghubungi istrinya. Begitupun dengan yang lain sehingga ruangan makan itu kosong. Mereka semua lebih menyukai makan di kamar atau tidak makan sama sekali saat menyadari Lidya luar biasa marah. Tidak mengindahkan semua itu, Lidya mulai berjalan kedalam dapur dengan menggenggam buket bunga.
⃰
Ewan berjanji akan pulang kemarin tapi pria itu tidak menepati janjinya, bukan hanya itu saja, pria itu juga tidak mengabarinya, tidak mengangkat telepon darinya dan yang paling parah pria itu tidak berusaha memberikan kabar kepadanya walaupun hanya satu. Lidya marah? Jelas! Pria brengsek yang tidak tahu betapa pentingnya masalah ini pantas mendapatkan seluruh kemarahan darinya tanpa terkecuali!
Fuck with Potato Gratin! Lidya tidak menginginkannya!
Lidya masuk ke dalam dapur dan berteriak lantang,"Sialan kau Marshall Wellington!" Ewan yang tengah membuat Potato Gratin langsung meletakkan mangkuk dan menatap Lidya yang masih memakai bathrobe tidur. Tidak hanya itu, Lidya melempar buket bunga tersebut kearah Ewan dan kembali berteriak,"Aku tidak membutuhkan bunga darimu!Berani-beraninya kau!!"
Tentu saja Ewan yang tidak mengerti arti dari kemarahan wanita dihadapannya hanya bisa terdiam, bersidekap dan menimang apa yang salah. Lalu Lidya menyemprotkan kemarahannya kembali. "Berani-beraninya kau tidak mengabariku!"
Ewan mengangkat alisnya.
"Berani-beraninya kau melanggar janjimu sendiri! Kau bilang akan pulang kemarin! Kau bilang semuanya akan baik-baik saja!" teriak Lidya. Ia berdiri dihadapan Ewan, mengabaikan kilatan pada bola mata hijau milik pria itu. Lidya memukul pria itu dengan kepalan tangannya berulang kali. "Berani-beraninya kau! Kau—Kau—!"
Ewan membiarkan Lidya meluapkan emosinya. Hal ini terasa manis baginya karena selama ini Lidya tidak pernah marah ataupun menyemprotnya langsung seperti sekarang. Wanita itu biasanya akan mengabaikannya, pura-pura tidak mengenalnya atau malah menangis diam-diam.
Ketika Ewan mendengar isak tangis Lidya dan mendengar wanita itu berbisik, "aku sangat membencimu..." Ewan malah merasa senyumnya mengembang.
Ia menggenggam tangan wanita itu dan berkata, "Tapi aku sangat mencintaimu..."
Belum sempat Lidya membalas ucapan Ewan dengan ucapan pedas, pria itu sudah mencengkram kedua tangannya dan menariknya hingga tubuhnya merapat pada tubuh pria itu. Dengan cepat Ewan mengangkat tubuh Lidya keatas meja dapur, membiarkan beberapa peralatan yang tadi digunakannya untuk memasak jatuh begitu saja.
Ewan merebahkan tubuh Lidya, membuka ikatan bathrobe-nya sementara wanita itu meronta-ronta, menendang kesembarangan arah sambil berkata, "Aku tidak mau melakukannya denganmu! Dasar kau penjahat kelamin! Otak mesum! Pria brengsek!"
"Iya iya. Sebut saja apa yang kau inginkan, Agapi Mou." Ewan tersenyum dan mendaratkan kecupan lainnya di atas dada Lidya serta membuat tanda di sana. "Aku sangat merindukanmu."
"Like I will believe!"
Mendengar ucapan itu, Ewan tidak merasa kesal. Ia malah tertawa, dengan satu gerakan enteng ia membuat kaki Lidya melingkar pada pinggulnya. Perlahan tangannya meraba paha mulus wanita itu dan merasa bahagia atas reaksi yang diberikan oleh Lidya. Ia bahagia hanya dengan melihat bagaimana wanita itu mendesah nikmat namun mengutukinya secara bersamaan. "Enak?"
Lidya menolak untuk menjawabnya. Ia menggigit bibirnya dalam-dalam tepat ketika pria itu mengelus bagian sensitive-nya yang mulai basah.
"Kau tidak akan mengakuinya sampai kemarahanmu mereda ya?" goda Ewan dengan tangan masih menggoda titik pusat sensitive Lidya yang semakin berkedut karena gelombang hasrat akibat permainan jari Ewan. "Apakah kenikmatan dan kepuasan tidak bisa meredakan amarahmu? Aku sungguh tidak melakukan hal itu dengan sengaja Agapi Mou..."
"Like...I will... listen you!" Lidya berusaha mengucapkannya dengan susah payah karena tekanan hasrat yang membakarnya secara membabi buta. Sialan, pria itu selalu tahu di mata titik kelemahannya! "Sto—Ah! Shit, jangan di sana Marshall. Jangan di—Ah!" teriak Lidya sekali lagi ketika Ewan memasukkan jemarinya lebih dalam hingga menggoda batas kewarasan Lidya.
Dua menit kemudian, teriakan Lidya menggema di seluruh ruangan dapur itu. Dan mereka membutuhkan dua menit berikutnya untuk mengatur nafas mereka agar menjadi normal. Perlahan kepala Ewan mendekat Kearah Lidya, mengecup hidung wanita itu dan beralih ke bibir Lidya yang kering akibat berteriak. "Bisa kita melanjutkannya lagi? Aku benar-benar merindukanmu dan—"
"Aku tidak percaya kau membuatku menginginkanmu di dapur. Bahkan... kau tidak memberikanku sedikitpun alasan mengapa kau meninggalkanku begitu lama!"
"Aku sudah mengatakan alasannya sebelum pergi."
"Membereskan sesuatu, bukan jawaban Marshall. Dan bagaimana dengan kecelakaan pesawat?! Tidak bisakah kau berusaha untuk mengabariku untuk—"
Sebelum Lidya berhasil menyelesaikan ucapannya, ia melihat seseorang membuka pintu dapur dan menyadari bahwa Simon masuk sambil bersiul lalu berteriak kencang. "Oh Jesus, My Father in heaven!" teriak Simon sambil menutup matanya dengan sebelah tangan dan membalikkan tubuhnya. "Demi Tuhan! Apa yang kalian lakukan di dapur yang sakral ini!? Kalian tidak punya malu?!"
Sementara Lidya menutupi ketelanjangannya dengan bathrobe, Ewan mengangkat alisnya dan mendengus. "Memangnya sejak kapan dapur menjadi tempat sakral, Simon?"
"Itu tidak berarti kalian bisa berbuat mesum diruangan terbuka seperti ini! Demi Tuhan siapapun bisa melihat kalian! Mata polosku sudah teracuni dengan adengan mesum kalian, tahu!"
Ewan mendengus dan memeluk Lidya, merapatkan tubuh wanita itu agar Simon tidak melihat paha telanjang milik Lidya, walaupun sebenarnya memang Simon tidak melihat apapun karena pria itu tengah menutup matanya sambil membelakangi mereka.
"Setidaknya kunci pintu kalian!" teriak Simon.
"Aku bisa melakukan di manapun yang aku suka Simon, dan aku tidak membutuhkanmu untuk memberitahuku apa yang harus aku lakukan."
"Yeah, dan kau akan membunuh orang-orang yang tanpa sengaja masuk. Padahal ini semua karena kalian berdua mempertontonkan adengan mesum kalian secara gratis! Demi Tuhan, ini bukan adengan di blue film, Ewan!"
"Adengan blue atau tidak, Lidya menyukainya. Dia menyukai segala gaya yang kulakukan."
"Damn it, you're gross!" Seru Simon sambil menggeleng kepalanya. "Kenapa juga kau masih bertahan dengan pria mesum seperti dia, Miss Prescott?!"
Simon ingin memutar tubuhnya dan mengambil gelasnya yang tertinggal di dekat microwave hanya saja ia tidak bisa mengambil resiko dengan melihat tubuh telanjang Lidya atau dia akan berakhir mengenaskan dengan lebam di pipinya sama seperti yang dialami oleh Samuel. For God Sake, ia selalu melihat Ewan memukul orang tapi ia sama sekali belum memiliki pengalaman di pukul oleh Ewan. Dan menurut analisanya, di pukul Ewan pasti akan menjadi pengalaman yang sangat menyakitkan!
Belum sempat Simon berpikir apakah ia harus kembali keruangannya atau tidak, mendadak terdengar suara ringisan Ewan dan dengan cepat ia membalikkan tubuhnya. Simon cukup terkejut sehingga ia membuka mulutnya lebar-lebar ketika menyadari Lidya menendang tulang kering Ewan dan turun dari meja dapur.
Wanita itu mendengus sambil merapatkan bathrobe-nya di sekujur tubuhnya.
"Kalau kau pikir aku akan memaafkanmu karena kau sudah berhasil membuatku menginginkanmu satu menit yang lalu, maka kau salah besar Marshall Wellington! Mulai hari ini, aku tidak mau melihatmu di kamarku!" Teriak Lidya sambil berjalan menjauh dari Ewan.
Ewan mengusap tulang keringnya dengan setengah geli. "Itu kamarku juga, sayang."
Ucapan itu membuat Lidya membalikkan tubuhnya, melipat kedua tangannya di dada dan berkata dengan ganas. "Siapa yang pernah bilang milikmu adalah milikku? Kalau begitu jangan pernah mengeluh!" Lidya menghentakkan kakinya dan berkata lagi, "Kamarmu adalah kamarku. Tapi kamarku adalah milikku! Dan kalau aku bilang kau tidak boleh tidur di kamarku, seharusnya kau tahu di mana kau harus tidur Marshall Wellington!"
"Kalau begitu aku tidur dengan siapa? Oh come on, Agapi Mou, Aku sudah lelah karena perjalanan panjang dan aku butuh gulingku yang empuk."
Lidya berjalan membelakangi Ewan dan berhenti tepat disamping Simon. Ia menatap Simon dan menyipit."Simon, kau bisa mengambil bantal dan guling Marshall di kamarku. Atau berikan saja seluruh guling dan bantal di hotel ini biar dia puas."
"Dee. Please?" Ewan tidak tahu lagi harus berkata apa, sementara kemarahan wanita itu benar-benar tidak pernah terjadi sebelumnya. "Aku tahu kau marah, tapi—"
"Kau tahu kalau aku marah?" Ketika Ewan terdiam, Lidya melanjutkan ucapannya. "Kalau kau tahu dengan benar kenapa aku marah, maka kau tidak akan meninggalkanku lama di sini dengan berbagai penjagaan yang sangat ketat. Kau juga tidak akan mengabaikan panggilan teleponku. Dan kau juga akan memberitahu setiap menitnya, kemana dan apa yang kau lakukan!"
"Aku—"
"Siapa yang bilang kau boleh menjawabku, HAH?!" teriak Lidya kesal dan menghentakkan kakinya sekali lagi. Mendengar teriakan wanita itu, Ewan memaksa dirinya untuk diam. "Sampai kemarahanku hilang, jangan pernah menginjakkan kakimu di kamarku!"
Sebelum Lidya meninggalkan ruangan dapur, Ewan bertanya dengan nada frustrasi yang terselip di dalam pertanyaannya. "Lalu, sampai kapan kemarahanmu reda? Dan aku harus tidur dengan siapa?!"
Lidya mendelik kejam dan berkata, "Tidur saja dengan Eugene, Simon atau Samuel. Atau minta saja mereka menghangatkan ranjangmu sekalian!"
Kemudian pintu tertutup dengan keras. Simon yang hanya menatap keduanya bertengkar hanya bisa menelan saliva-nya dan diam-diam bersyukur bahwa ia belum pernah berhadapan dengan wanita yang kesabarannya telah hilang. Membayangkan ia berada di posisi Ewan. Err... Itu akan menjadi pengalaman yang sangat menakutkan juga.
Setelah beberapa jeda, Simon berdehem dan ingin meminta ijin untuk kembali kekamarnya. Namun Ewan sudah mengeluarkan pertanyaannya terlebih dahulu, "Aku tidak mengerti. Aku tahu kalau dia khawatir, tapi aku tidak tahu kenapa dia sangat marah padahal aku sudah pulang."
"Mungkin dia sedang on period?" ucap Simon berusaha memberikan masukkan.
"Aku sudah mengeceknya dan tidak ada jejak period di—"
Simon mengangkat tangannya untuk menghentikan ucapan Ewan, dengan cepat ia memukul keningnya dengan telapak tangannya sendiri. "Ya Tuhan Simon, kenapa kau tidak juga kunjung sadar kalau atasanmu itu lebih dari penjahat kelamin. Kalau kau berusaha menenangkan hatinya lagi, kau harus menggigit lidahmu sampai putus. Moron!" ucapnya sambil memukul keningnya.
Merasa kesal, Simon mendengus kearah Ewan dan berkata, "Pantas saja dia marah denganmu. Bukannya meminta maaf, kau malah menaklukkannya. Di dapur pula. Lebih baik renungi kesalahanmu, Boss atau kau tidak akan pernah mendapat jatah dari kekasihmu lagi."
TBC | 4 December 2017
Repost | 22 Mei 2020
Selamat doa kalian terkabul. Bener tuh Ewan gak boleh masuk ke kamar Dee, Hahahaha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top