His Temptress | 74
"Mama salah. Dia tidak akan pernah kembali." Lidya mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Hatinya seolah ingin meledak, ia ingin memuntahkan seluruh perasaan yang selama ini di tahannya. Persetan dengan janjinya. "Hanya dia yang tidak bisa kumaafkan, Ma. Kau tidak tahu seberapa besar ia membenciku dan kau tidak tahu seberapa besar aku membencinya..."
Lidya berjalan ke salah satu ruangan melalui ruang penghubung. Ruangan itu digunakan untuk Marshall sebagai ruangan kerja dan Lidya tidak boleh menyentuhnya sama sekali. For your safety, Agapi Mou. Tapi Marshall salah, Lidya mengetahui lebih banyak dari yang diinginkannya.
Ia tahu seberapa besar pengaruh Marshall di lingkungan dunia hitam, ia tahu seberapa besar kekuatan Marshall terhadap dunia dan Lidya juga tahu...sebanyak apa senjata tersembunyi di ruangan tempat mereka tinggal.
Dan bahkan, hotel Maximillian bisa diubah menjadi rumah pribadinya hanya dalam beberapa jam. Tidak dalam jentikan jari memang, tapi tetap saja... pria itu memiliki segala yang bisa menghancurkan seseorang.
Perlahan Lidya masuk ke dalam ruangan tersebut, kakinya melangkah ke meja kerja Marshall yang berada di ujung ruangan. Di mana sinar matahari siang memaksa masuk dan menyemburkan sinarnya sehingga meja yang terbuat dari kayu mahoni itu terlihat lebih berkilau daripada biasanya.
Jemari Lidya meraba permukaan meja tersebut, merabanya hingga ke bawah meja. Ketika suara 'Klik' terdengar, ia mengangkat kembali tangannya dengan menggenggam Berettta 92. Lidya menelan saliva-nya ketika melihat pistol di tangannya. Ini pertama kalinya ia melihat pistol dan menggenggam benda itu.
Benda itu terasa berat di tangannya dan sejenak ia merasa jantungnya berpacu, seolah pikirannya menyuruhnya untuk meletakkan kembali senjata itu di tempatnya semula.
Bunuh atau membunuh? Bertahan atau mempertahankan?
Dan ketika pertanyaan itu terlontar di benaknya, genggamannya pada pistol tersebut yang sempat melonggar kini kembali mengencang. Ia mengangkat pistol itu hingga setara dengan dadanya. Walaupun jantungnya berpacu dengan cepat, hatinya seolah memburu marah.
"Letakkan senjata itu pada tempatnya, Miss Prescott."
Ucapan itu terlontar begitu tenang, sehingga Lidya langsung menoleh dan menyadari bahwa Samuel salah satu staff Marshall telah berada di ruangan. Lidya tidak menjawab sama sekali, dan genggamannya pada pistol tidak melonggar. Ia hanya menatap Samuel tenang seolah pria itu tidak mengeluarkan aura intimidasi sama sekali.
Namun pada kenyataannya, Samuel telah memasukkan tangan ke dalam sakunya. Ia berusaha menahan dirinya untuk tidak menyergap wanita yang dengan lancangnya masuk ke ruangan Ewan. "Letakkan senjata itu dan kembalilah ke ruangan sebelah. Jelas sekali bahwa kau masuk tanpa ijin, Miss Prescott."
"Dan bagaimana kalau kubilang aku tidak mau mengikuti ucapanmu?"
"Maka aku harus meminta surat pengunduran diri dari Ewan karena bersikap kasar kepada anda." Mata keemasan milik Samuel terasa dingin saat menatap Lidya. Seorang perempuan tidak diperkenankan untuk memegang senjata, dalam keadaan apapun. Dan itulah yang membuat Samuel marah. "Wanita tidak diperkenankan untuk memegang senjata. Bersikap baiklah, Miss—"
Dan Lidya tertawa.
Samuel mengernyit. "Kenapa kau tertawa?" tanyanya bingung. Dan tatapannya mulai melembut ketika melihat Lidya kembali meletakkan senjata tersebut ke bawah meja seperti semula. "Aku tidak merasa ucapanku lucu."
"Memang tidak. Kau harusnya mati karena sudah mengatakan hal yang meremehkan wanita seperti itu, Sam," ucap Lidya tenang.
Sesungguhnya Samuel masih tidak mengerti, ia hendak bertanya lagi. Namun sebelum bertanya, Lidya sudah mengucapkan sesuatu lagi kepadanya. "Dan apa yang harus wanita lakukan ketika di sakiti? Menunggu pertolongan pria-nya yang bahkan aku sama sekali tidak tahu apakah pria itu masih hidup atau tidak?!"
"Ewan masih hidup."
"Kalau begitu bawa dia kehadapanku sekarang juga. Buktikan kalau dia masih hidup!"
"Miss—"
"Jangan 'Miss' kepadaku!" teriak Lidya frustrasi. Jemarinya menujuk kearah Samuel dengan gemetar dan menahan marah, sementara hatinya seolah hampir saja meledak karena marah. "Aku menginginkan Marshall kembali! Kau yang tidak tahu perasaanku, berani-beraninya menyuruhku menunggu dengan nada memerintahmu!"
"Begini—"
"Memangnya kau pikir siapa dirimu, hah?!" teriak Lidya lagi.
Kali ini Lidya menarik nafas panjang dan membuang muka kearah lain. Ia menginginkan Samuel pergi sekarang juga. "Bisakah kau membiarkanku sendiri?" ucapan Lidya kali ini terdengar lemah di telinga Samuel, sehingga pria itu hanya bisa mengangguk dan mengikuti apa yang diinginkan oleh wanita itu.
Sebelum Samuel keluar, ia berkata, "Ewan tidak akan suka kalau kau melakukan hal yang tidak diinginkannya, atau hal yang akan melukai dirimu sendiri. Setidaknya kalau kau membenciku karena menahan dirimu disini, kau harusnya tahu dengan pasti apa maksud perkataanku ini."
Dan pintu tertutup.
Di dalam ruangan, air mata Lidya menangis. "Kalau kau memang tidak suka aku melakukan hal yang akan melukai diriku sendiri, seharusnya kau pulang Marshall..."
⃰
Beberapa hari kemudian, Lidya masih belum mendengar ucapan selamat datang dari Ewan sementara berita terus mengatakan bahwa terjadi kecelakaan yang dimanipulasi dengan secara sengaja terhadap pesawat Ewan yang seharusnya mendarat di Yunani pagi ini.
Lidya berharap dan terus berharap pria itu akan menghubunginya, setidaknya menanyakan apakah Lidya baik-baik saja. Tapi tidak ada berita apapun dari Ewan sehingga saat ini Lidya mau tidak mau mempercayai apa yang diucapkan oleh ayahnya sendiri.
Setelah berpikir berulang kali, akhirnya Lidya menyadari apa yang paling diinginkan dirinya. Ia tidak menginginkan apapun sekarang, kecuali kematian ayahnya. Hatinya sudah dipenuhi dengan kebencian, ia masih berharap hatinya bisa memaafkan ayahnya, sekali lagi. Namun ketika malam berganti menjadi pagi dan Marshall belum juga pulang, Lidya menyadari bahwa ia tidak bisa lagi memaafkan ayahnya.
Senjata yang disembunyikan oleh Ewan dan diambil olehnya kini berada di tangan Lidya. Ia memainkan pelatuk tersebut dengan lembut. Matanya berkabut ketika memainkan senjata tersebut. Lidya benci senjata, dan ia sebenarnya juga ingin menegur Ewan karena berani-beraninya menyembunyikan senjata seperti ini di ruang kerja-nya.
Tapi Lidya bersyukur tidak melakukannya kemarin.
Ia mengangkat senjata tersebut, mengacungkannya pada tembok yang ada di depannya dan mendadak merasa benci kepada dirinya sendiri."Setelah aku kehilangan Lucas, aku tidak bisa lagi kehilangan Marshall, mama."
Aku mohon Marshall. Pulanglah...
⃰
Jake Prescott memasukkan tangannya kedalam saku dan menatap ke salah satu pria suruhannya dengan wajah datar seperti biasanya. "Apakah Lidya sudah menerima pesan itu?"
"Dengan sangat baik, sir."
"Kenapa dia tidak juga pulang kalau begitu?" Tanya Jake. Ia tidak suka menyadari bahwa ada kemungkinan Lidya mengacuhkan dirinya, karena selama ini wanita itu tidak pernah melakukannya dan Jake tidak menyukai tindakan Lidya yang sekarang. "Seharusnya kalau kau memang sudah menyampaikan pesanku, anak itu pasti sudah pulang dan sudah berada di rumah ini."
"Saya—"
"Aku menginginkan Lidya kembali ke rumah ini," tegas Jake seolah tidak ingin di bantah. Lalu ia menatap pria di hadapannya dengan nada yang lebih ditekankannya lagi. "Do you understand?"
"Sebelum dua puluh empat jam, Nona Lidya akan kembali ke rumah ini seperti yang anda inginkan sir. Saya bisa pastikan hal itu."
Pria muda itu terlalu takut untuk memberitahu Jake bahwa Lidya sudah menerima pesannya dengan sangat jelas. Malah berita mengenai kecelakaan pada pesawat Ewan Wellington telah menyebar luas dan itu artinya, seharusnya Lidya sudah menerima pesan terselubungnya dengan sangat baik.
Dan hanya ada satu kemungkinan kenapa Lidya belum kembali ke tempat ini. Tapi pria itu terlalu takut untuk mengungkapkan apa yang ditakutinya, sehingga ia hanya bisa memaksa Lidya untuk kembali ke rumah karena pria itu tahu, seorang Jake Prescott tidak menyukai kegagalan. Walaupun ia harus memohon kepada Lidya, walaupun ia harus membunuh dirinya sendiri... ketika Jake Prescott mengatakan bahwa ia menginginkan puterinya, maka ia harus membawanya seperti yang diperintahkannya.
"Saya bersumpah, beliau akan berada di hadapan anda malam ini. Mohon anda mau menunggunya."
Jake mendengus dan membalikkan tubuhnya. Ia menggeram dan tanpa sadar mengepalkan jemarinya dengan kesal. "Puteriku yang nakal itu telah memainkan permainan yang terlalu jauh. Sudah sepantasnya bahwa aku sebagai ayahnya, mengembalikan akal warasnya yang sempat hilang bukan?"
Pria tersebut terdiam.
"Puteri yang nakal sudah sepantasnya mendapatkan hukuman. Dan kali ini ia akan kehilangan kekasihnya, bahkan aku berani bertaruh Wellington sekarang sedang menangis di bawah ranjangnya karena putera tersayangnya meninggal. Sayang sekali..." Jake terkekeh pelan. "...aku tidak bisa melihat wajah sendunya sekarang."
Jake sudah gila.
Ucapan itu telah dikatakan dan di pikirkan oleh hampir seluruh staff dan juga pekerja kotor yang rela bekerja untuknya. Namun Jake tidak memperdulikannya. Apa yang diinginkannya sekarang adalah mengembalikan kejayaan perusahaan. Ia tidak berniat untuk membunuh Ewan awalnya, tapi karena pria itu telah merusak salah satu perusahaannya di Jerman, maka Jake harus melakukan sesuatu.
Dan ia memberikan hukuman secara langsung kepada puterinya tersayang, bahwa emosi seorang ayah tidak sebaiknya di tes. "Lidya, anakku yang tersayang. Kali ini, apa kau akan kembali melawanku atau kali ini kau akan merenungkan kesalahanmu?" ucap Jake pelan.
Pria yang sedaritadi mendengar ucapan Jake seketika merasa merinding dan mengasihani puteri dari atasannya. Dari dulu ia menyukai Lidya diam-diam, bukan perasaan cinta memang, melainkan perasaan kagum. Ketika ia ingin pergi dari ruangan itu, sebelum benar-benar merasa gila, mendadak Jake berkata pelan kepadanya.
"Kali ini habisi Harletta kalau memang itu adalah satu hal yang diperlukan untuk membuat Lidya tunduk dan pulang kerumah."
"Bos—"
"Sudah cukup aku membiarkannya bermain api selama lima tahun dan membangkang kepadaku. Aku menginginkan Lidya menghancurkan Wellington, dan kalau memang dibutuhkan satu korban lagi." Mata Jake seolah menggelap. "Habisi saja Harletta. Toh, wanita itu tidak akan bisa berbuat apapun selain mati bukan?
Pria itu merinding karena ucapan tersebut namun tidak berkata apapun.
"Harletta bukan anak kandungku, Aku bisa membunuhnya kapanpun. Anggap saja itu adalah harga yang harus dibayarnya karena telah menjadikan puteriku sebagai seorang pembangkang." Jake menoleh dan berkata lagi secara tegas. "Bawa Lidya kemari. Kalau dia menolak, ucapan hal ini kepadanya."
Pria itu mendengarkan dengan seksama dan mematung. Ia merasa ngeri dengan apa yang didengarnya barusan, namun tidak berinisiatif untuk menolak perintah tersebut. Alih-alih menolak, pria itu hanya merasa kasihan karena Lidya adalah puteri dari orang gila seperti Jake Prescott.
"Kau tidak mau pulang? Apakah kau tidak mau melihat jasad anak tercintamu terbaring bersama dengan ayahnya?Berhentilah membuat ayah marah, Dee."
TBC | 11 November 2017
Repost | 16 Mei 2020
Hallo semuanya, Bagaimana perasaan kalian setelah membaca part ini?
Apakah ada diantara kalian yang tidak mengerti cerita ini? Bagian mana yang tidak dimengerti?
Leave vote and Comment guys :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top