His Temptress | 63
Cinta tidak membuatku bodoh. Cinta membuatku sadar mengenai apa yang harus kulakukan, dan menunggu bukanlah cinta. Karena lima tahun aku menunggu tapi kau tidak kembali padaku. - Ewan. M. Wellington.
Ewan sadar bahwa selama ini ia salah. Kebodohan yang selama ini diucapkannya bukanlah kembali kepada Lidya. Kebodohan yang selama ini diucapkannya adalah saat-saat dimana ia hanya menunggu tanpa berbuat apapun, berharap Dee akan kembali padanya. Itu adalah kebodohan. Jadi, kali ini Ewan tidak akan menunggu, dia tidak akan membiarkan kebodohan itu menghampirinya sekali lagi.
Dengan langkah mantap ia hendak masuk kedalam Lobby hotel, ia berdiri sejenak ketika melihat beberapa penjaga hotel berdiri didepan pintu Lobby dengan tegak. Ewan mengambil ponselnya dari saku, dengan cepat menghubungi Samuel.
"Sam, kau ada dimana?" Tanya Ewan.
"Ada apa?"
Seperti biasanya, Samuel sama sekali tidak suka berbasa-basi dan selalu menanyakan inti dari pembicaraan mereka. Dengan senyum kecil, Ewan memasukkan salah satu tangannya dan menjawab pertanyaan Samuel. "Bisa kau kumpulkan anak buahmu dan menggantikan penjaga di Lobby?" Sebelum Samuel menolaknya, Ewan kembali berkata, "Aku tidak bisa membiarkan penjagaan seperti ini buruknya. Tidak ada yang boleh masuk sama sekali kecuali Maxie ataupun tim-ku."
"Kalau aku yang menjaga pintu depan, tidak ada yang boleh masuk dan itu termasuk dengan para sahabatmu. Apakah kau setuju?"
"Deal. Lakukan apa yang kau suka sampai operasi selesai." Sebelum Ewan mematikan sambungan ponselnya, ia berkata tegas dengan nada lirih. "Kali ini, jangan sampai kecolongan lagi, Sam. Aku tidak menginginkan satupun penyusup yang berniat jahat terhadap-"
"Aku akan membunuh siapapun penyusup yang berani menerobos masuk, Ewan. Tidak peduli apakah itu kawan ataupun lawan. Bagiku, semua penyusup yang berani mengganggu ketenangan atasanku adalah musuh yang harus dimusnahkan."
Ewan tersenyum kecil. Ia menghela nafas panjang. "Aku tidak tahu bagaimana diriku tanpa penjagaanmu, Sam."
"Yang perlu kau lakukan hanyalah meminta, Ewan dan kami akan melakukan apapun yang kau perintahkan." Sebelum Ewan mengatakan sesuatu, Samuel kembali berkata, "Aku akan segera kesana, Capt."
⃰
Ewan memasukkan ponselnya, lalu ia berjalan kesalah satu penjaga yang bertubuh tinggi. Pria itu mengenakan plat emas bernama 'Henry'. Ewan mengulurkan tangan, menyentuh plat tersebut secara tiba-tiba sehingga membuat pria bernama Henry terkejut. Dengan santai Ewan membiarkan mata hijaunya menyapu mata biru pria itu, ia memajukan tubuhnya. "Aku mau kau melakukan sesuatu untukku."
"Iya, sir. Apa yang bisa saya lakukan?" Tanya pria itu.
Ewan mengambil ponselnya, mengutak-atik-nya sebentar dan memperlihatkannya sekali lagi kepada pria itu. "Kalian semua bisa berkumpul dan mencari pria ini dimanapun. Dia memiliki tempat praktik di rumah sakit sekitar sini."
"Dokter... Jason Cunningham?"
"Kau bisa melakukannya?" Tanya Ewan dingin.
"Tapi sir-" Henry tidak melanjutkan ucapannya ketika menyadari mata Ewan berkilat penuh kemarahan. Jantung Henry berdebar lebih cepat dari sebelumnya, selama ini ia sanggup menerima kemarahan Maximillian Russell setelah bertahun-tahun bekerja pada pria itu. Dan yang diketahui Henry, sosok Ewan Wellington adalah periang dan tidak memiliki satupun emosi. Bahkan ketika ia melakukan kesalahan, Ewan Wellington tidak pernah sekalipun memarahinya, tapi ini... bukanlah apa yang selama ini dipikirkannya. "Saya bisa melakukannya, sir..." jawab Henry pelan.
"Good. Kalau pun kau tidak bisa melakukannya Henry..." Ewan menunduk dan berbisik pelan. "...kau harus memaksa dirimu untuk melakukannya ketika aku menyuruhmu."
Ewan berdiri tegak, memasukkan kembali ponselnya. Dengan dingin ia menatap Henry, tepat saat itu Samuel datang bersama beberapa anak buahnya dan berjalan kearah Ewan. "Pergi Henry, dan jangan kembali kalau kau tidak bisa membawa pria itu kepadaku."
"Baik, sir..." ucap Henry takut.
"Aku menginginkannya hidup, walaupun kau mematahkan seluruh tulangnya. Aku ingin dia masih hidup saat kau membawanya kehadapanku."
Saat Henry pergi bersama beberapa staff hotel lainnya, Samuel berdiri dihadapannya dan mengernyit bingung. "Jangan terlalu jahat mempermainkannya, Ewan. Pria itu adalah staff Max yang setia," ucap Samuel mengingatkan.
Ewan mengendikkan bahunya.
"Aku serius dengan ucapanku kali ini, Sam." Ewan menoleh kearah Samuel, mata hijaunya berkilat. "Aku menginginkan Jason hidup dihadapanku karena aku yang akan membunuhnya langsung karena dia sudah berani mengkhianati kepercayaan Dee."
Samuel hanya bisa menghela nafas ketika mendengar penuturan Ewan yang membicarakan hal itu dengan suara yang begitu datar. Namun Samuel mengenal Ewan seperti ia mengenal dirinya sendiri, dan ketika Ewan berkata dengan nada sedatar itu, tidak berarti Ewan tidak marah.
Ketika Ewan berjalan masuk kedalam Lobby, Samuel mendengar ucapan Ewan yang terakhir sebelum pintu tertutup. "Jangan sampai ada yang masuk atau keluar dari bangunan ini, Sam. That's an order."
"Copy that."
⃰
Ewan tidak akan menunggu lagi. Ia akan mendapatkan Lidya dan Ewan bersumpah tidak akan membuat air mata wanita itu kembali mengalir. Perlahan Ewan melewati lorong hotel yang begitu sunyi. Ada begitu banyak kemarahan yang ingin ia sampaikan, tetapi sama seperti kemarahan, ia juga menyimpan begitu banyak kerinduan.
Ketika Ewan berhenti di lorong di mana terdapat ruang operasi Harletta, Ewan melihat sosok wanita yang tengah menangis di depan ruang operasi. Matanya langsung melembut ketika mengetahui siapa wanita itu.
Saat Ewan berjalan mendekat, Eugene yang menyadari kehadiran Ewan langsung menghampirinya. Ia ingin bertanya, namun Ewan sudah mengangkat tangannya, meletakkan satu jari di depan bibirnya untuk memberitahu bahwa ia tidak ingin mendengar apapun. Eugene seolah mengerti, ia mengangguk dan berjalan meninggalkan lorong tersebut.
Ewan berhenti tepat di belakang Lidya. Ia tersenyum kecil dan sedetik kemudian ia langsung menghilangkan senyum dari wajahnya. "Apa kehilangan Harletta begitu menyakitkan bagimu?"
Lidya yang mendengar hal itu langsung memutar tubuhnya, mengabaikan kenyataan bahwa ia tengah menangis. "Marshall..." bisiknya pelan.
"Apa melihat keadaannya sekarang, begitu menyakitimu?" Tanya Ewan kembali.
"Dia keluargaku dan dia satu-satunya yang kumiliki. Dia..." Lidya menutup matanya, menahan isak tangisnya dan berusaha menyelesaikan kalimat terakhirnya. "...begitu penting untukku."
"Apakah akan selalu seperti itu? Apa aku akan selalu menjadi pilihan kedua bagimu?"
Lidya menggeleng.
"She's my sister, Marshall. Ini tidak ada hubungannya dengan kita. Harletta adalah segalanya bagiku dan semua yang aku butuhkan!" teriak Lidya frustrasi.
"Jadi, kau tidak membutuhkanku?"
"Tidak!"
"Pembohong." Ewan memajukan tubuhnya, menggenggam jemari Lidya dan perlahan membimbing wanita itu berdiri. Jemarinya menghapus jejak air mata di wajah Lidya. "Pembohong kecil, apa kau akan terus mengatakan hal itu hanya untuk membuatku menjauh?"
Lidya mengangkat wajahnya, ia berusaha menelaah mata hijau Ewan yang terlihat begitu menenangkan. Iya, Lidya seharusnya lari atau bahkan menyalahkan Ewan karena sudah mengurung Harletta di rumah sakit sehingga orang suruhan ayahnya menyusup dan mencelakai Harletta. Tapi Lidya tidak bisa melakukan hal itu.
Sudah terlalu banyak kebohongan yang dia lakukan dalam hidupnya, dan kali ini Lidya tidak memiliki banyak kekuatan untuk berpura-pura. Jemari Lidya perlahan terulur, menarik lengan kemeja Ewan dan berkata pelan. "Aku... tidak bisa meninggalkan dia walaupun kau adalah yang terpenting bagiku Marshall..."
Jemari Ewan melepas genggaman Lidya, membiarkan jemari mungil itu terjatuh di pangkuannya. Lidya menutup matanya, menunduk dalam-dalam. Ia berusaha menarik nafas panjang hanya untuk menstabilkan emosinya. "Semua ini... adalah kesalahanku, Marshall..."
"Itu bukan kesalahanmu."
"Kalau aku tidak melarikan diri, maka ayah tidak akan melukainya." Air mata Lidya kembali mengalir. "Kalau aku mengikuti apa yang diinginkannya, Harletta tidak akan terluka dan..." dan anak kita tidak akan terluka...
"Ayahmu akan tetap menyakitimu," ucap Ewan tegas. Ia mengambil jemari Lidya yang ada dipangkuannya, meremasnya dan berkata, "Apapun jalan yang kau ambil, kenyataan bahwa Harletta terluka dan kita kehilangan anak kita, tidak akan berubah sebesar apapun kau ingin mengulangi waktu Agapi Mou."
Lidya mengangkat wajahnya dan menangis.
"He's..." Dia anak yang tampan, Marshall. Tapi Lidya tidak bisa mengatakannya, suaranya seolah menghilang.
Mendadak sebuah tangan besar menangkup wajahnya, ia berusaha menatap wajah Ewan yang tengah menatapnya dengan wajah mata hijaunya yang begitu terang. "Apakah dia tampan? Dia laki-laki bukan?" bisik Ewan pelan, berusaha menampakkan wajah tegarnya walaupun ia ingin menangis.
Hal yang paling menyakitkan bagi Ewan sekarang adalah kenyataan bahwa ia memiliki anak namun tidak pernah bisa menyentuhnya sama sekali serta kenyataan bahwa wanita yang dicintainya terluka... dan ia bahkan tidak pernah bisa menyembuhkan luka itu.
Lidya mengangguk pelan.
"Apakah... kau mengalami kesulitan ketika mengandungnya?"
Lidya menggeleng.
"Apakah..." Ewan menarik nafasnya sekali lagi. "...kau mengalami masa-masa ngidam?"
Lidya mengangguk dan genggaman Ewan mengerat. Lalu Ewan bertanya sekali lagi, "Siapa yang membantumu ketika... kau mengalami masa-masa membutuhkan sesuatu?"
Lidya menggeleng.
"Tidak ada siapapun. Aku berusaha menekannya karena tidak memiliki apapun Marshall..." Lidya mengangkat kepalanya, membalas genggaman pria itu. "Karena apa yang aku butuhkan saat itu adalah seseorang yang telah aku lepaskan..."
Untuk sejenak mereka terdiam. Dan untuk sejenak Ewan tidak bisa bersuara sama sekali. Dan ketika ia mengeluarkan pertanyaan terakhir yang bisa dipertanyakan olehnya, air matanya mengalir pelan. "Apakah yang kau butuhkan... adalah aku?"
Lidya meremas tangan Ewan, kemudian mengangguk pelan.
"Aku membutuhkanmu, Marshall. Anak kita... selalu membutuhkanmu. Kami membutuhkanmu, tapi aku yang sudah membuatmu pergi." Lidya tersenyum getir dan berkata, "Aku adalah ibu yang egois bukan?"
"Anak kita... pasti sangat membenciku karena malu memiliki ibu sepertiku. Karena itu dia memilih untuk pergi." Lidya berusaha tersenyum namun jemarinya meremas tangan Ewan dengan sangat erat."Karena itu kau juga pergi sama seperti anak kita. Iya kan?"
TBC | 10 September 2017
Repost | 3 Mei 2020
Holla, i'm, miss K and Marshall back.!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top