His Temptress | 62
"Deal!"
Suara penuh penekanan itu terdengar di seluruh ruangan VVIP yang disediakan oleh salah satu hotel yang dikelola oleh Maximillian. William Bordeux dan Elizabeth Bordeux terlihat puas dengan kemenangan tender yang dicapainya, sementara itu Ewan menghela nafas panjang sambil menggeleng kepalanya. "Kalian benar-benar tidak akan melepaskan perusahaan itu bukan?"
"Kau pikir kami bodoh? Pihak Bank akan segera tahu bahwa Jake Prescott telah melakukan pemalsuan data selama lima tahun terakhir ini, dan aku tidak mungkin melepaskan penjahat itu, Marshall."
Elizabeth tertawa dan menepuk punggung tangan William dengan tatapan mata masih terarah kepada Ewan. "Dan... aku tertarik dengan alasanmu menyuruh kami mengambil alih perusahaan itu, Marshall."
"Tidak ada alasan, Eli," jawab Ewan setelah berdehem sekali.
"Benarkah? Tidak ada alasan sama sekali dari balik ide ini semua?"
Ketika Ewan tidak menjawab, Elizabeth tahu kalau pikirannya benar. Ia menghela nafas dan menggeleng kepalanya. Ia mengangkat tangannya dan mengibasnya dengan cepat lalu berkata, "Aku ingin membicarakan sesuatu, kalian semua tunggu di luar."
Lalu semua penjaga Elizabeth dan William langsung bergegas keluar, melakukan apa yang baru saja diucapkan oleh Ratu-nya. Setelah tidak ada satupun penjaga, Elizabeth bangkit dari tempat duduknya dan berjalan kearah Ewan yang masih duduk bersandar disalah satu kursi. Elizabeth mengelus puncak kepala Ewan lembut. "Jangan keras kepala, Son. Wajahmu jelas mengetahui apa yang sedang kubicarakan denganmu."
"Tidak ada alasan? Bullshit," ucap Elizabeth lagi. Lalu ia tertawa keras, "Ini mengenai wanita yang sama dengan yang pernah hadir di masa lalumu bukan?"
"Ma, jangan meledek Marshall hanya karena kau memiliki alasan untuk melakukannya." William bangkit dan tertawa, "Pria yang sulit move on dari masa lalu-nya itu tidak butuh diledek lebih banyak lagi, Ma."
Elizabeth menghardik ucapan William dengan tatapan matanya. Kemudian ia menatap Ewan sekali lagi yang masih berpura-pura tidak tertarik dengan ucapan mereka, dan Elizabeth menunduk, berbisik pelan di telinga pria keras kepala yang sudah seperti anaknya sendiri. "Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan berdamai dengan masa lalu, Marshall."
Perlahan Ewan mengangkat kepalanya, tersenyum lembut kepada Elizabeth. Ia menepuk pelan tangan wanita setengah baya yang sudah seperti ibunya sendiri. "Kau benar, Eli," jawab Ewan. Kemudian ia menutup mata dan ketika membukanya, Ewan berkata, "Seperti yang kukatakan dulu, kebodohan cukup dilakukan sekali."
"Dan kau sudah tidak bodoh lagi?" tanya William yang berdiri dihadapannya sambil mengarahkan tinjunya. Ewan membalasnya dengan tinju juga sehingga tinju mereka beradu, kemudian William menepuk punggung Ewan. "Apakah dia baik?"
Ewan menggeleng.
"She's the best thing that happened in my life, Wil." Ewan tersenyum lebar. "I don't want her smile to disappear. More than that, I don't want her to disappear again from my face."
Ewan bangkit berdiri, memakai jasnya lalu dengan tegas berkata. "Aku membutuhkannya lebih dari apapun di dunia ini. Kalau menghancurkan ayahnya bisa membuatnya tetap berada di sisiku, aku akan melakukannya."
"Kau tidak takut dia akan membencimu?" tanya Elizabeth.
"Tidak." Ewan tersenyum kecil, mata hijaunya berkilat saat memikirkan kemungkinan itu. "I believe in her. I told you that stupidity is only done once. So i will believe her." Ewan menatap lantai keramik dan ketika ia menegakkan kembali wajahnya, mata hijaunya terlihat tegas dan aura penuh kemarahan menguak keluar dari seluruh pori-pori tubuhnya. " This time, I'll believe her, eventhough I'm in a situation where i can't trust her anymore."
"Jangan sampai cinta membuatmu bodoh, Marshall. Aku tidak mau memiliki saudara bodoh," canda William.
Ewan menggeleng. "Cinta memang selalu membuat kita bodoh Wil. But falling in love with her..." Ewan menarik nafas pelan. "...Made me realize that waiting is not love. For me, love is where we both can sleep peacefully, although only sleepin on the grass and just the roof of clouds and stars." (Membuatku sadar bahwa menunggu bukanlah cinta. Bagiku, cinta adalah dimana kami berdua bisa tidur dengan tenang, walaupun hanya tidur diatas rumput dan beratap langit dan bintang.)
"Kalau begitu sekarang kau akan langsung pergi? Bahkan setelah lama kita tidak bertemu?" tanya William yang langsung dipukul oleh Elizabeth. "Oh, ayolah Grandma. Aku hanya bercanda!"
"Kalau begitu berhentilah mengganggunya, Wil. Kau hanya akan menghambatnya lebih lama disini," tegur Elizabeth. Ia menatap Ewan sambil tersenyum lebar. "Kau akan menjemputnya?"
Ewan tersenyum lebar, berjalan cepat kearah pintu dan ketika membukanya, Ewan berkata dengan nada gembira, "Aku akan menjemput My Queen." Sebelum menutup pintu, Ewan mengedipkan sebelah matanya, "Tapi kau akan selalu menjadi My Dearest Queen, Eli."
Baik Elizabeth maupun William sama-sama menggeleng kepalanya. Sebelum pintu tertutup sempurna, Elizabeth berteriak. "Kalau besok kau tidak datang di acara ulang tahunku, aku akan memecatmu sebagai cucu-ku, kau dengar Marshall?!"
Namun Ewan tidak menjawab. Sebaliknya, William tertawa, ia melingkarkan tangannya di punggung neneknya dan berkata, "Apa kau sekarang senang, Grandma? Dengan semua ini?"
"Senang karena dia menjadi pria jahat yang rela menghancurkan satu perusahaan? Tidak." Elizabeth tersenyum lebar kearah William dan melanjutkan perkataannya. "Senang karena dia kembali menjadi Marshall yang dulu? Yang rela melakukan apa saja demi seorang perempuan? Yes. Aku senang."
"Grandma..."
"Kenapa? That's sound romantic."
◦
Lidya menangis dan terus memanggil nama Harletta sepanjang lorong hotel yang sepi. Ketika berada di depan ruang operasi, ia melihat beberapa orang staff rumah sakit mendorong brankar Harletta dan hendak masuk kedalam ruang tersebut. Dengan cepat Lidya berlari, mengabaikan teriakan Eugene ataupun Samuel dari belakang tubuhnya.
"Har!!" teriak Lidya keras.
Ia mendorong beberapa staff rumah sakit, menatap wajah Harletta yang pucat dan menunduk diatas tubuh kakaknya itu. "Kau sudah berjanji untuk bertahan bukan?" bisik Lidya pelan. Lidya menarik nafasnya pelan dan kembali berkata, "Aku kembali dan aku tidak akan menyerah terhadap Marshall. Karena itu kau juga tidak boleh menyerah, Har."
Lidya menggenggam tangan Harletta yang mulai mendingin.
"Kau sudah bersumpah akan terus berada di sampingku ketika Marshall tidak bisa menjagaku. Kau... sudah bersumpah untuk terus menjadi kakakku walaupun pada kenyataannya kita bukan." Lidya menahan air matanya yang sudah mendesak keluar, ia mengecup puncak kepala Harletta dan berbisik, "Aku menyayangi Harletta Prescott. Selalu dan tidak akan berubah..."
Salah satu staff menarik tangan Lidya dan dengan lembut membawanya keluar dari ruang yang digunakan untuk operasi. "Kami akan berusaha untuk menyelamatkan kakakmu. Mohon anda menunggu dengan tenang."
Mungkin Eugene dan Samuel berpikir bahwa Lidya akan menurut begitu saja, namun wanita itu mengubah pemikiran mereka. Dalam 5 detik, Lidya berlutut dihadapan staff tersebut dan membungkukkan tubuhnya hingga menyentuh lantai. Perlahan wanita itu mengangkat wajahnya, dan para staff itu bisa melihat air mata yang mengalir di wajah Lidya, perbedaannya adalah wanita itu tidak terlihat lemah. Tidak sama sekali.
Setelah berhasil menguasai emosinya, Lidya berkata pelan. "kalau diantara kalian ada yang merupakan pengikut ayahku, tolong keluar dan biarkan seseorang menolong kakakku. Jika tidak..." Kali ini Lidya membiarkan air matanya mengalir namun ia mempertahankan raut wajahnya agar tidak terlihat lemah. "...ambil nyawaku sebagai ganti kakakku." Lidya membungkukkan lagi tubuhnya. "Tolong... tolong selamatkan kakakku..."
"Terry?"
Lidya bisa mendengar suara Eugene dari arah belakangnya. Tidak lama kemudian Lidya merasakan tepukan pelan di puncak kepalanya. Perlahan ia mengangkat kepalanya dan membiarkan tangan hangat itu membimbingnya berdiri. Pria yang ada dihadapannya adalah salah satu pria yang memiliki senyum paling hangat yang pernah ditemuinya sehingga membuatnya ingin menangis.
"Marshall pasti tidak akan suka kalau kau menangis," ucap Terry pelan. Ketika Terry merasakan tubuh Lidya menegang, ia kembali berkata, "My name is Terry. Aku yang akan mengepalai operasi kali ini. Dan aku adalah salah satu staff yang diutus Marshall untuk menyelamatkan kakakmu."
"Marshall..."
Lidya tidak percaya Marshall masih peduli kepada Harletta setelah apa yang... 'Aku tidak peduli' Bukankah... pria itu pernah berkata seperti itu? Ucapan Terry membuat air mata Lidya mengalir. Dan Terry menepuk puncak kepala Lidya sekali lagi. "Simpan air matamu setelah operasi selesai, karena air mata-mu harus berisi air mata kebahagiaan. Bukan begitu?"
"Jangan terlalu lama menyentuhnya, Terry. Kau pasti tidak mau dihajar Ewan," ucap Samuel tegas. Namun Terry hanya mengangkat sebelah alisnya seolah tidak percaya dengan candaan Samuel. "Aku tidak sedang bercanda, kalau itu yang kau pikirkan. Dan lagi si bodoh Gene, sudah beberapa kali menyentuh wanita itu. Aku tidak mau melihat darah di mobil kesayanganku. Kalian mengerti?"
"Tenang saja. Ewan tidak akan—"
Kali ini Samuel mengangkat alisnya dan kembali berkata, "Ada salam Ewan untukmu tepat sebelum kau masuk kedalam mobil. 'Aku akan membuat perhitungan denganmu nanti setelah pertemuanku selesai'" Samuel tersenyum miring saat menyadari keringat dingin mulai meluncur di pelipis Eugene.
"Kau pasti bercanda." Saat Samuel tidak menjawabnya, Eugene kembali berkata, "Iya kan, Samuel?"
Terry menggeleng dan kembali menepuk pundak Lidya.
"Jangan hiraukan dua orang bodoh ini, dan jangan menangis. Karena kalau kau menangis, kami akan terkena getahnya." Sebelum masuk kedalam ruang operasi Terry menatap Lidya dan kembali berkata, "Cobalah untuk mempercayainya. He's deserve it."
Lalu Terry masuk kedalam ruang operasi bersama dengan beberapa staff lainnya, sementara tubuh Lidya mulai merosot turun. Ia tidak tahu apakah ia seharusnya merasa tenang karena Marshall selalu ada untuknya, ataukah ia harus takut bahwa ayahnya akan melukai Marshall?
Untuk saat ini Lidya tidak tahu apa yang tengah dirasakannya, yang ingin dilakukannya adalah menangis...
TBC | 07 September 2017
Repost | 1 Mei 2020
Vote and comment? 😆😆😆
Heihoo... aku balik!!! Gimana kabar kalian? Siapa yang kangen aku?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top