His Temptress | 59
Beberapa hari ini adalah hari yang sangat bahagia bagi Lidya. Kebahagiaan kecil yang selalu dimimpikannya. Sering kali Lidya tertidur di sofa rumah sakit, dengan air mata mengalir dari pelupuknya hanya karena ia begitu merindukan hal kecil. Makan burger, tidur di atas rerumputan, hanya saling berguling atas pasir tanpa memikirkan apapun. Hanya mereka dan juga deburan ombak serta aroma Marshall...
Begitu banyak yang harus diceritakan Lidya kepada Marshall, tapi ia tidak bisa melakukannya. Bukan karena ia tidak mempercayai pria itu, tidak... karena pada dasarnya, Lidya mempercayai Marshall lebih dari siapapun, bahkan lebih dari ayahnya. Arti keberadaan Marshall, lebih dari apapun.
Tapi ia tidak bisa melakukannya. Karena Marshall akan terluka...
Setelah pergumulan malam mereka, Marshall tertidur. Tangan pria itu memeluk pinggang Lidya dengan gerakan posesif, sementara itu jemari Lidya sibuk mengelus pelipis Marshall dengan pikiran masih melayang-layang.
Marshall memang membicarakan mengenai hukuman, tapi pria itu tetap saja memperlakukannya dengan lembut. Mata Lidya melembut ketika mengelus pelipis Marshall, pria itu terlihat lelap dan nyaman dalam tidurnya. Ia memang lelah dan mengantuk, hanya saja tadi ia bermimpi buruk sehingga mmemutuskan untuk bangun. Beberapa hari yang lalu, Marshall pernah mengatakan hal yang sangat manis kepadanya. 'Bangunkan aku kalau kau bermimpi buruk.' Ucapan itu, walaupun hanya omong kosong bagi pria itu, tetapi bagi Lidya, itu adalah ucapan terbaik setelah lima tahun ini yang pernah diberikan oleh pria itu kepadanya. That's enough.
Ponsel Lidya yang berada di nakas mendadak bergetar. Ia membalikkan tubuh, mengangkat ponsel itu dan melihat isi pesan yang dikirim oleh nomor yang tidak dikenalnya. Dan Lidya merasa seolah-olah pesan itu membuatnya sadar dengan apa yang sebenarnya dihadapinya. Kenyataan yang harus dihadapinya...
"Angel, I'm coming after you." - 276xxx
Dengan cepat Lidya menghapus pesan itu, menutup ponsel dan mengembalikannya keatas nakas. Lidya tahu apa yang diinginkan ayahnya, apa yang diinginkan ayahnya hanyalah perusahaan Wellington. "Marshall... Do you know the scariest part of my life?"
Tidak ada jawaban yang didapat oleh Lidya. Apa yang didapatnya hanyalah hembusan nafas tenang. Jemarinya lagi-lagi mengelus pelipis Marshall, matanya memandang wajah Marshall seolah ingin mereguk semua yang bisa diambilnya. "Aku tidak ingin melihatmu menangis. Aku tidak bisa... melihat ayahku menyakitimu. Tidak setelah semua yang kau alami..."
Air mata Lidya mengalir.
"Semua yang kau alami... adalah karena dia." Lidya menarik nafas kencang dan menahan isak tangis. Perlahan Lidya menunduk, mengecup pelipis Marshall, membiarkan air matanya menetes di pelipis pria itu. Ketika ia menjauhkan bibirnya, Lidya berkata,"Aku mencintaimu..."
Untuk sekarang Lidya ingin menghirup angin segar. Ia membalikkan tubuh dan hendak turun dari ranjang, namun sebuah tangan menahannya sehingga dengan cepat ia langsung membalikkan tubuhnya kembali. Kali ini, mata hijau Marshall tidak tertutup, mata itu terbuka dan menatapnya dengan tatapan yang tidak dimengertinya.
Lidya mengira kalau pria itu tidur dengan lelap, tapi tidak. Dari awal Ewan tidak tertidur sama sekali. Ewan hanya terdiam dan pura-pura tertidur karena hanya itu satu-satunya cara agar wanita itu tidak memaksakan dirinya untuk tidur nyenyak padahal tidak. Dan Ewan sudah lelah berpura-pura bahwa ia akan melupakan masa lalu sementara dihatinya masih tersimpan ratusan pertanyaan. Kali ini, ia akan mendapatkan jawabannya langsung dari bibir Lidya.
"If you loves me, you will share everything with me," ucap Ewan pelan.
Tubuh Lidya mematung, seolah-olah ia tidak bisa membalas ucapan Marshall. Sementara itu tubuh Marshall berubah posisi menjadi tegak, jemari panjang pria itu mengelus pipinya dengan lembut. "Sampai kapan kau akan terus melarikan dirimu dariku, Agapi Mou?"
"Marshall..."
"Five years, kita telah kehilangan satu sama lain selama lima tahun. Apakah kali ini kau akan meninggalkanku lagi, dan membiarkanku membuka mata dengan menyadari kalau kau sudah tidak ada disampingku lagi?" Ewan menangkup wajah Lidya, mendongakkan agar menatapnya. "Sampai kapan?"
Lidya terdiam.
"We'll fight it together. Bukankah lima tahun yang lalu aku sudah mengatakannya kepadamu?" Genggaman Ewan mengetat dan tubuh Lidya bergetar karena tangisan. "Dan kau melarikan diri. You leave our vow with nothing."
"Kau tahu kenapa aku marah?" Tanya Ewan.
Lidya tahu... karena ia sudah menghancurkan diri pria itu. Ia sudah mengambil hatinya kemudian melemparnya ketanah lalu menginjaknya tanpa memperdulikan apakah hati itu akan kembali utuh atau tidak. Karena ia sudah..."Aku mencintaimu Marshall..." bisik Lidya pelan.
"Dee, apa yang terjadi lima tahun yang lalu?"
"Aku tidak bisa mengatakannya..." bisik Lidya. Ia menggeleng dan terisak pedih, "Jangan memaksaku untuk mengatakan hal yang tidak bisa kulakukan..."
"Apa yang dilakukan ayahmu sebenarnya? Kenapa dia begitu terobsesi dengan perusahaan ayahku?"
Lidya menggeleng.
"Agapi Mou, aku bukan anak kecil. Aku bisa menerima apapun yang akan kau katakan. Kau tidak perlu terus menerus melindungiku." Ewan mengguncang kecil tubuh Lidya, ketika wanita itu hanya menggeleng tanpa mengatakan apapun. Ewan berbisik pelan. "Kenapa kau begitu takut dengan ayahmu? Aku tahu kau mengalami mimpi buruk setiap hari... everyday, Agapi Mou..."
"Aku...tidak bisa mengatakannya..."bisik Lidya pelan.
Ewan turun dari ranjang, mengenakan celana panjangnya dengan gerakan marah. Ia berputar dan menatap Lidya dengan marah. "Kau tidak benar-benar mempercayaiku. Kalau kau sekali saja mempercayaiku Agapi Mou, maka aku bisa melakukan apapun..."
"Kau tidak bisa..."
Dengan cepat Ewan kembali menangkup wajah Lidya, mata hijaunya seolah melihat goretan perih di iris mata Lidya. Tangan Ewan mengelus jejak air mata wanita itu dan berbisik pelan. "You will never know what I would be until you give me a reason for standing still, Agapi Mou." Mata hijau Ewan berkabut ketika melihat mata Lidya memandangnya dengan penuh kesedihan."I don't know when or why, but everytime you crawling underneath you skin, I'm broken and fading. I know and feel what you feels."
Saat Ewan melepaskan tangkupannya, air mata Lidya mengalir deras. Dan saat Ewan hendak berjalan keluar dari kamar, Lidya berbisik pelan sambil terisak dengan begitu menyedihkan. "Because he has taken all that I have..."
Tubuh Ewan menegang dan perlahan membalikkan tubuhnya. Tangannya terkepal saat melihat tubuh Lidya menunduk diatas ranjang, menangis serta terisak dengan sangat menyedihkan. Ia tidak pernah melihat wanita itu menangis seperti ini... dan ini menyakitkan. Bagi Ewan, hal ini lebih menyakitkan daripada saat ia menangis dan hampir menghancurkan dinding dikamarnya... ini, lebih menyakitkan.
"He has taken everything..." bisik Lidya masih dalam keadaan telungkup."Dia sudah menghancurkan-ku Marshall... seluruh alasanku untuk bertahan."
"Apa yang dia lakukan padamu?"
Lidya mengangkat kepalanya perlahan dan berbisik pelan. "Ayahku-lah yang menyebarkan kebohongan bahwa kau bukan anaknya, sehingga ayahmu membencimu. Dia menganggapmu sebagai anak haram, dan mengecap ibumu sebagai wanita yang tidak setia. Dia melakukannya..."
Untuk sejenak Ewan tidak menjawab apapun. Wajahnya seolah tidak terbaca. Dan Lidya kembali berkata, "Karena ayahku menginginkan kehancuran ayahmu. Dan aku... hanyalah pion yang digunakan untuk mendekatimu. Aku... adalah bidak catur yang digunakan ayahku sendiri untuk menyakitimu Marshall..."
"Dee..."
"Aku tidak bisa berjuang. Tidak setelah apa yang aku tahu, tidak setelah apa yang sudah diperbuatnya padamu. Aku tidak bisa memaafkannya, dan aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri." Lidya menatap Marshall dengan pedih. Jemarinya terkepal sementara jantungnya berpacu dengan cepat. "Bagaimana bisa... aku tetap berjuang disisimu sementara aku tahu bahwa ayahku sudah menghancurkanmu. Menyakitimu sehingga tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Bagaimana bisa..."
Lidya menggeleng.
"Aku tidak bisa berpura-pura tidak mengetahui apapun. Walaupun Harletta memberikanku pilihan untuk tetap bersamamu..." Air mata Lidya mengalir. "...I can't do it. Kalau menyakitimu adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk membuatmu tidak terluka, maka aku akan melakukannya."
"Dan pada akhirnya... kau adalah satu-satunya orang yang kuharapkan tidak pernah menyakitiku. Tapi kau malah yang melakukannya..." bisik Ewan pelan. Otaknya mulai bisa mencerna apa yang terjadi, dan ia memiliki desakan yang sangat besar untuk berteriak didepan wanita itu. "Kau menyakitiku, Agapi Mou."
"Karena aku ingin kau membenciku!" teriak Lidya keras. Ia menarik nafas dan terengah-engah. "Aku ingin kau membenciku... Membenciku hingga aku tidak ada lagi didalam hatimu. Membenciku hingga hanya itu yang bisa kau ingat, bahwa aku sudah menyakitimu!"
"Dan kau berhasil melakukannya. Aku memang membencimu."
TBC | 27 agustus 2017
Repost | 27 April 2020
P.S : Gak ini gak loncat kok. Memang part ini begini jalan ceritanya. Ehem ehemnya di loncat aja ya, nanti aku pikirin lagi gimana mau updatenya tanpa kena report hahahahaha. Bagi yang nunggu part ehem ehem, selamat. Kamu terdaftar dalam grup mesum milik Nath *plak*
Sabar ya ini bukan gantung. Lagi diketik... cuma aku post bagian ini dulu. Menurut kalian Marshall beneran benci atau gak? Di part berikutnya Marshall gimana? Dingin ke Dee atau gak? :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top