His Temptress | 56
Lidya menghubungi Maximillian Russell hanya untuk menanyakan tempat makan yang dimaksud oleh Marshall. Dan ia cukup terkejut ketika mendengar penuturan pria itu, bahwa tempat makan yang dimaksud Marshall adalah tempat makan kecil yang bahkan jarang dikunjungi orang.
Ketika kakinya memasuki tempat makan kecil tersebut, ia menoleh ke dalam tempat makan yang sepi. Tidak ada pengunjung, bahkan Lidya tidak melihat adanya seseorang disana. Ia mengetuk daun pintu beberapa kali seraya berkata, "Apakah ada orang?"
Tiga kali ketukan, lalu seorang pria setengah baya keluar dari ruangan dan tersenyum kepadanya. "Kau pasti kekasih Wellington. Iya kan?"
"Apakah kau mengenalku?" Tanya Lidya bingung karena pria itu bersikap seolah-olah mengenalnya.
Pria tua itu tertawa, lalu tangannya melayang dan memberikan kode untuk Lidya agar bergerak kearahnya. "Duduk saja ditempat yang kau suka. Tower burger yang dipesan oleh kekasih gila-mu itu akan siap dalam hitungan menit."
"Aku tidak pernah tahu kalau disekitar sini ada tempat semanis ini," ucap Lidya sambil tersenyum sopan.
"Tempat ini sebenarnya sudah tutup, nona." Pria tua itu tersenyum, "Namaku Darry. Aku pengelola tempat makan kecil ini sekaligus koki ditempat ini." Darry mengulurkan tangan kearah Lidya yang langsung dibalas oleh Lidya. Kemudian mata Darry menghangat ketika menatap jendela diujung ruangan, bibirnya perlahan terukir senyuman. "Wellington jatuh cinta dengan tempat ini dan menyuruhku untuk tidak menutup tempat makan ini."
Darry menggeleng.
"Kekasihmu itu sangat gila, nona. Aku bahkan tidak tahu kenapa wanita secantik dan se-waras dirimu, mau bersama dengannya." Namun ucapan itu tidak diucapkan sebagai sindiran karena Lidya melihat senyum dimata dan bibir Darry ketika mengatakan hal itu. "Dia membeli tempat makan ini dan memberikannya secara Cuma-Cuma kepadaku."
"Marshall...melakukan hal itu?" Tanya Lidya pelan.
Itu bukan hal yang mengejutkan, tapi yang mengejutkan adalah kenyataan bahwa pria itu tidak pernah berubah selama lima tahun ini. Diam-diam hati Lidya menghangat dan ia ingin mengetahui lebih jauh mengenai pria itu. "Apakah... ia tidak meminta apapun sebagai gantinya?" Tanya Lidya.
"Oh, tentu saja dia meminta sesuatu." Darry tertawa terbahak-bahak. "Dia memintaku untuk membuatkannya Tower Burger tertinggi yang tidak ada ditempat makan manapun, bahkan ketika ia membawa kedua temannya kesini, pria itu memanggilku dan memintaku untuk mengerjai kedua pria itu dengan Burger buatanku."
Lidya tersenyum.
Lalu mendadak mereka mendengar suara dari balik ruangan dan Darry langsung menepuk dahinya dengan kencang. "God! Aku melupakan Burger dan minuman untukmu."
"Jangan repot-repot Mr. Darry," ucap Lidya cepat.
"Please, buat dirimu nyaman ditempat kecil ini, Miss. Kau bisa duduk dimanapun yang kau sukai," jelas Darry. Ia tersenyum dengan tangan melambai kearah ruangan, "Walaupun ruangan ini terlihat kecil, tapi percayalah pada pria tua ini, kau akan nyaman disini. Anggap saja tempat ini sebagai rumahmu sendiri."
"I will. Thank you, Mr. Darry."
Ketika Darry bergegas masuk keruangan untuk menyelesaikan makanan yang diminta oleh Marshall, Lidya memilih duduk disudut ruangan yang terdapat jendela. Di mana ia bisa melihat langsung pemandangan pantai dari tempat ini. Tempat makan ini sebenarnya cantik, hanya terlalu temaram dengan pencahayaan sedikit.
Ia menutup matanya sejenak, perlahan-lahan ruangan itu terdengar suara debur ombak dan membuatnya tenang. Lidya menarik nafas dan tersenyum. Iya, Mr. Darry benar, walaupun tempat ini kecil dan mungkin tidak ada satu orangpun yang akan bertamu, Namun Lidya mengakui bahwa tempat ini sangat indah, menyenangkan dan juga nyaman, karena pada dasarnya Lidya tidak terlalu menyukai tempat yang ramai.
Tempat ramai membuatnya sedikit takut, karena bisa saja ayahnya menghampirinya dan membawanya pulang. Pemikiran itu membuat tubuh Lidya bergetar, ia lebih baik makan bubur dingin di rumah sakit, dibandingkan makan enak tapi harus bertemu dengan orang suruhan ayahnya.
Masih dalam pemikirannya, Lidya menghela nafas panjang. Mendadak seseorang menarik bangku didepannya dan membuat tubuhnya tersentak karena terkejut. Ia langsung menoleh kearah depan dan mengernyit ketika melihat pria muda dihadapannya.
"Kau siapa?" Tanya Lidya bingung.
Pria dihadapannya memiliki wajah tampan, tawa renyah dan mata biru yang sangat memukau. Pria ini berbeda dengan Marshall, tapi dalam beberapa tempat, pria itu memiliki aura yang sama dengan Marshall, namun bedanya mata biru pria dihadapannya terlihat tidak mendominasi. Ia menarik nafas panjang dan menelan salivanya. "Kau... siapa?" Tanya Lidya lagi.
"Kau kekasih Ewan?" Tanya pria itu.
Sejenak Lidya bingung karena pria itu malah balik bertanya kepadanya, padahal seharusnya pria itu bertanya, bukannya malah menjawab pertanyaannya dengan melontarkan pertanyaan lainnya. "Anda mengenal Marshall?"
Pria itu mengangkat alisnya yang tebal, tak lama kemudian bibirnya menyunggingkan senyum penuh arti. "Ah, Marshall rupanya. Jadi kalian memang memiliki hubungan ya?"
"Aku tidak mengerti apa yang sedang anda katakan."
Tubuh Lidya menegang. Pria dihadapannya memang tidak memiliki aura mengintimidasi sebesar Marshall, namun bukan berarti Lidya tidak menaruh kecurigaan. Bisa saja pria dihadapannya adalah orang suruhan ayahnya, atau... bisa saja pria dihadapannya ini-
Belum selesai Lidya memikirkan ratusan kemungkinan yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaannya, pria itu tersenyum lembut dan berkata, "My name is Cassius Pettroff." Lalu pria itu tertawa lebar, "Kau tenang saja kitten, aku tidak ada hubungannya dengan Jake Prescott kalau itu yang kau takutkan."
Tubuh Lidya menegang.
"Lagipula, kalau aku datang untuk menangkapmu, aku bisa saja dibunuh detik ini juga." Cassius tertawa ketika melihat tatapan tidak mengerti Lidya. Cassius menopangkan tangannya diatas meja dengan bibir masih tersenyum lebar. "Kau tidak tahu kalau kau diikuti ya?"
Lidya bangkit dari kursi dengan cepat. Matanya memandang kekiri dan kekanan, seolah-olah mencari orang yang mengikutinya seperti yang dikatakan oleh Cassius. Lalu tatapannya kembali ke Cassius, matanya menyipit sementara nafasnya memburu. "Kalau kau tidak ada hubungannya dengan ayahku, bagaimana bisa kau tahu kalau aku diikuti?" Lidya mengepalkan tangannya dan berkata, "Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku?" Alis Cassius terangkat. "Sudah kubilang kalau aku Cassius-"
"Aku tidak menanyakan namamu!" teriak Lidya gusar. "Kau-Kau!!"
Cassius tersenyum. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, sementara kedua tangannya terlipat didepan dadanya. "Easy, kitten. Aku berada di pihak Wellington, kekasihmu itu. Jadi aku tidak ada hubungannya dengan Jake Prescott, ayahmu yang jahat itu."
"Kalau begitu kenapa kau ada disini? Dan siapa yang mengikutiku?!"
"Siapa yang mengikutimu? Kau masih tidak tahu?" Tanya Cassius sambil mengangkat kedua alisnya. Ia berdecak dan mendengus kasar, seolah mengejek Lidya. "Demi Tuhan, seharusnya kau tahu kalau kekasihmu itu adalah pria paling berengsek yang pernah diciptakan Tuhan. Kau seharusnya sudah tahu jawabannya, Kitten, bahwa yang menguntitmu adalah orang suruhan kekasihmu sendiri."
"Aku tidak mengerti. Kenapa Marshall harus menyuruh orang untuk menguntitku?" Tanya Lidya bingung. "Listen, aku tidak tahu siapa anda Sir. Dan mungkin anda memang benar tidak ada hubungannya dengan ayahku. Tapi bukan berarti anda tidak mencurigakan."
"Yah, terserah saja. Memangnya kau pikir pendapatmu sangat berarti bagiku, Kitten?" jawab Cassius acuh.
Sekarang Lidya tahu, pria dihadapannya ini memiliki sikap menyebalkan yang sangat mirip dengan Marshall saat pertama kali ia berkenalan dengan pria itu. Lidya membuka mulutnya seolah terkejut, lalu ia mendengus kasar.
"Permisi, sir!" Lidya hendak berjalan menjauhi pria aneh itu, namun Cassius sudah menarik tangannya sehingga mau tidak mau Lidya berhenti. Dengan kesal Lidya menoleh kearah pria itu, matanya menyipit kesal ketika melihat pria itu tengah tersenyum kepadanya. "Lepaskan tanganku."
"Tidak," jawab Cassius acuh.
Lidya mengangkat alisnya seolah bertanya, dan Cassius tersenyum menggoda. Ia bangkit dan melingkarkan lengannya pada seputar pinggang Lidya sehingga membuat wanita itu terdiam. "Karena... Kitten, aku sangat jarang melihat wajah pria itu marah, sekeras apapun usahaku untuk merobek ketenangannya. Tapi nampaknya kau memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadapnya. Iya kan?"
"Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan. Apa sebenarnya yang-"
Cassius tersenyum, enggan melepaskan genggamannya pada pinggang kecil Lidya. Ia memajukan kepalanya dan berbisik tepat ditelinga Lidya dengan suara serak dan pelan. "Aku berhutang makan siang padamu karena kau sudah membantuku mencapai apa yang selama ini kuinginkan, Kitten."
"Ap-"
Sebelum Lidya mencerna apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh pria dihadapannya, mendadak ia mendengar suara dari belakangnya. "Lepaskan tanganmu dari milikku, Pettroff. Jangan buat aku mematahkan tanganmu."
TBC | 20 Agustus 2017
Repost | 23 April 2020
Leave comment? Thanks :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top