His Temptress | 54

Tepat saat Ewan hendak membuka pintu kerjanya, intercom kantornya menyala. Awalnya Ewan mengabaikan panggilan itu karena ia sudah melakukan reservasi di salah satu tempat makan yang ada di pinggir pantai. Ewan melakukan reservasi itu sendirian, karena ia sendiri yang ingin memilih menu makanan untuk makan malam-nya dengan Lidya.

"Sepertinya penting," ucap Lidya sambil tersenyum lembut dan mengusap lengan atasnya. "Jawab panggilan itu sebelum telepon di kantormu meledak, Marshall."

"Boleh di abaikan saja? Aku sudah lapar. Lagipula pasti telepon itu dari Eugene atau dari staff lainnya yang hanya ingin menahanku lebih lama." Ewan memperlihatkan wajah memelasnya dan berusaha membuat Lidya berbaik hati untuk setuju kepadanya. Ketika wanita itu tidak melakukan hal yang diinginkannya, Ewan menghela nafas panjang sebagai tanda menyerah. "Baiklah, aku akan menjawabnya cepat dan kita akan segera pergi makan."

"Go ahead, superman. Jangan sampai teleponmu meledak disini," ejek Lidya sambil tertawa. Kemudian Lidya berjalan masuk kembali kedalam ruangan dan duduk di sofa tengah sambil tertawa melihat gerutuan yang keluar dari bibir Marshall.

Ewan berjalan kearah telepon dan mengangkat intercom tersebut dengan cepat. "Dengar, siapapun kau, aku peringatkan kalau kau sudah membuatku-"

"Jengkel?"

"Simon?" Ewan mengernyit dalam. "Apa yang kau lakukan?" Ketika ia mendengar Simon tertawa dari seberang telepon, Ewan mendengus keras-keras, "Kalau kau berniat membuatku jengkel, maka kau berhasil! Asshole, aku mau kencan, jelaskan apa keperluanmu!"

Terdengar tawa dari seberang telepon, dan hal itu membuat Ewan semakin kesal. "Mendengarmu jengkel seperti itu, membuatku tidak mau mematikan telepon dan ingin berlama-lama membuatmu jengkel Ewan."

"Aku akan mematikan telepon ini!"

"Oh, kau tidak akan melakukan hal itu Ewan, karena aku punya hadiah untukmu. Tidak mau mendengarnya?" Simon terkekeh ketika Ewan tidak mengucapkan apapun. "Maximiliian juga nampaknya ada hubungannya dengan semua ini."

"Aku tidak tertarik, nanti saja kau hubungi aku lagi Simon."

Tepat ketika Ewan hendak menjauhkan gagang teleponnya, Simon langsung berkata, "Ini berhubungan dengan kekasihmu. Wanita yang mampu membuat selangkanganmu berhenti bekerja ketika dia melangkah keluar dari pintu, dan satu-satunya wanita yang sanggup membuatmu tunduk hanya dengan senyumannya." Ketika Ewan tidak mengucapkan apapun, Simon terkekeh. Ia tahu kalau Ewan masih ada diseberang telepon. "Sudah kubilang kau pasti tertarik."

"Simon, jangan pernah bercanda dengan semua ini," ucap Ewan penuh penekanan. 'Aku tidak suka kalau kau membawa-bawa dia dalam leluconmu ini. Mengerti?"

"Kau tahu kalau aku bukan orang yang bisa bercanda." Simon tidak tertawa kali ini. Ia menghela nafas pelan sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku mendapatkan rekaman dari mansionmu yang sudah terjadi beberapa hari yang lalu, Ewan. Sebuah percakapan penuh cinta dari seorang ayah yang dengan tega mengancam putrinya sendiri." Simon berdecak. "Kalau kau mau tahu lebih baik kau keruanganku sekarang juga, Ewan. Atau aku akan membuang file ini. Oh iya, jangan ajak kekasihmu itu karena kau pasti tidak mau melihat dia shok dengan apa yang akan kuberitahu."

"Coba saja buang, dan akan kuhancurkan seluruh laboratorium yang kubangun untukmu di Manhattan." Ancaman Ewan tidak bisa dibilang berhasil karena Simon bukannya takut malah tertawa, "Aku serius dengan ucapanku, Simon."

"Iya, aku tahu kalau kau serius dengan ucapanmu, Ewan. Masalahnya, melihatmu jengkel sudah cukup membuatku puas. Kalau dibandingkan, wajah jengkelmu dan laboratoriumku..." Simon berusaha menimbang mana yang lebih menarik untuk dipilih." Well, aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk melihat pilihan pertama."

"Fuck you, Simon."

"Love you too, Brother!"

Ewan membanting telepon hingga terdengar sangat keras. Perlahan Lidya yang tadi duduk di sofa tengah langsung bangkit dan berjalan kearah Ewan. Lidya duduk dihadapan Ewan dan mengernyit bingung dengan suasana hati Ewan yang mendadak berubah menjadi buruk. "Ada masalah, Marshall?" tanya Lidya pelan.

"Tidak."

"Tapi wajahmu-"

"Baiklah, aku kesal karena Simon baru saja menelepon untuk hal yang sangat tidak penting," gerutu Ewan kesal. "Dan pria itu memang selalu tahu bagaimana caranya untuk membuatku kesal."

Ewan mendengus, menunduk dan mengecup puncak kepala Lidya lembut. Ia berulang kali mengusap daun telinga Lidya sebelum akhirnya mengangkat kepalanya menjauh. "Apa semuanya akan baik-baik saja kalau kau yang pergi duluan ke tempat makan? Ada hal yang harus ku-urus dan sepertinya akan memerlukan sedikit waktu."

"Tidak ada masalah di kantormu bukan?" tanya Lidya ketika menyadari wajah Marshall berubah menjadi mendung. "Apa ada hal buruk terjadi? Kebakaran di kantor cabang? Klub-mu terkena masalah?" Saat melihat Marshall kerap menggelengkan kepalanya, ia mulai kesal dan meninggikan suaranya."Kalau tidak ada masalah yang serius, seharusnya kau bisa menjawab pertanyaanku dengan suara, Marshall!"

Ewan tersenyum lebar, tangannya menarik lengan Lidya agar berdiri lalu menarik tubuh wanita itu kedalam dekapannya. "Marah?"

"Kesal!" ucap Lidya.

Jemari Ewan terangkat dan menarik kedua pipi Lidya kekiri dan kekanan hingga wajahnya menjadi melar karena perbuatannya itu. Senyum Ewan melebar ketika melihat wajah aneh Lidya yang terlihat begitu manis dimatanya. "Jangan kesal. Lihat, pipimu lagi-lagi memerah. Bukan blush on 'kan?"

Lidya menggeleng dengan susah payah, sementara tangannya berusaha menepis tangan Marshall yang masih menarik pipinya. "Kalau begitu... bakpau, aku akan menyelesaikan pekerjaanku dulu. Setelah itu, aku akan langsung bergegas menyusulmu di tempat makan. Okay?"

"Stop it! Wajahku bukan adonan kue, dan aku bukan bakpau!" Lidya berusaha mendorong tubuh Marshall yang gagal dilakukannya. Pria itu malah semakin kuat menarik pipinya hingga membuatnya kesal."Marshall!!"

Dengan cepat Ewan menunduk, jemarinya yang masih menarik pipi wanita itu berubah menjadi menekan pipi Lidya kedalam sehingga bibir Lidya terlihat seperti ikan. Ewan tertawa ketika mengecup bibir Lidya, lalu melepaskan jemarinya. Setelah mencium wanita itu, Ewan berkata, "Aku memesan tower burger untuk kita."

"Tower burger, my ass!"

"Ouch, kau kasar Agapi Mou. Kata-kata itu menusukku hingga ke hati." Ewan tertawa dan mengacak rambut Lidya lembut. "Kau bisa pergi sendiri atau ingin ditemani?"

Lidya kembali mendorong tubuh Ewan kesal dan memegangi pipinya yang sakit karena perbuatan pria itu. Ia menyipitkan matanya dan berpura-pura kesal, "Di mana tempatnya?" tanya Lidya.

Tapi Lidya tidak mendapatkan jawaban yang diinginkannya. Marshall malah berjalan kearah pintu sambil melipat lengan kemejanya hingga ke siku. Ia berjalan mengikuti pria itu dan masih bertanya untuk yang kedua kalinya, "Marshall, di mana tempat makannya?"

Marshall mengendikkan bahu seolah tak acuh dan mulai membuka pintu.

"Seriously, Marshall? Kau menyuruhku jalan duluan kesana sementara kau menyelesaikan pekerjaanmu yang katanya membutuhkan waktu sedikit itu. Jadi, bagaimana caranya aku kesana kalau tidak tahu dimana letak tempat makan itu?!"

Kali ini Marshall membalikkan tubuhnya, mata hijaunya berkilat jenaka dan tentu saja Lidya tahu apa arti dari kilatan mata hijau itu. Tatapan itu berbanding terbalik dengan 'jenaka', 'iseng' mungkin lebih tepat untuk dikatakan.

Sementara Lidya melipat kedua tangannya, Marshall malah menyandarkan bahu kanannya di daun pintu seraya memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. Mata hijaunya masih berkilat dan bibir Marshall kini tersenyum miring. Kemudian pria itu berkata dengan nada enteng, "Kata kuncinya adalah 'tower burger terlezat di Malibu'"

"WHAT?!"

Marshall memutar bola matanya diudara dan kembali berkata, "Baiklah, aku memberikan kata kunci keduanya. Tempat dimana aku makan malam bersama Maxie untuk pertama kalinya. Oh, jangan lupa, aku juga pernah menculik Aram dan memaksanya untuk menemaniku di tempat itu juga."

"Me-menculik?!" bisik Lidya tidak percaya.

"Sepertinya aku juga pernah menculik Gabe kesana." Ewan mengernyit, ia berusaha mengingat-ingat hal yang pernah dilakukannya. "Tidak, sepertinya hanya Aram dan Maxie saja. Karena saat itu Gabe sedang berlayar." Lalu Ewan kembali menatap Lidya yang masih tercengang dengan ucapannya barusan. "Kalau begitu, Good luck, Agapi Mou."

Yang tidak bisa dipercaya adalah Marshall melambaikan tangan kearahnya sambil tersenyum lebar seolah-olah pria itu menyemangatinya dalam pertandingan olahraga. Lidya menggeleng kepalanya tidak percaya, bahkan ketika punggung Marshall sudah tidak ada didepannya, Lidya masih menatap kedepan.

Tidak lama kemudian, Lidya mendengus keras, "Memangnya dia pikir tempat makan yang memiliki menu Tower burger hanya ada satu di Malibu?"

TBC | 15 Agustus 2017
Repost | 21 April 2020

PS : Maaf, aku belum sanggup masuk ke konflik. hahahaha... palaku berat banget beberapa hari ini, jadi kalian seneng-seneng dulu dengan keadaan mereka yang masih adem ayem ya. Mungkin besok atau lusa, kalian sudah bisa merasakan pait-paitnya dikit.

P.S.S : Spam dan komen yang banyak ya. Oh iya jangan lupa vote juga. di teken bintangnya ya, sayang :)

-Nath-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top