His Temptress | 49
Ewan mengutuk dirinya sendiri karena sudah bersikap sekasar itu kepada Dee, bahkan tidak sampai semenit setelah mereka bercinta. Ia mengacak rambutnya dengan kesal, seharusnya ia bisa mengatakan semua itu dengan lebih baik. Ewan tidak pernah berniat untuk melukai wanita itu. Ia hanya... tidak yakin apakah wanita itu mencintainya atau tidak.
"Aku tidak pernah mencintaimu, Marshall."
Ucapan wanita itu bagaikan bel kematian baginya, suara itu terus mengalun dibenaknya selama lima tahun terakhir ini. Ewan tidak tahu bagaimana perasaan wanita itu, tapi Ewan tahu bagaimana perasaannya sendiri. Dan hal itulah yang membuatnya frustrasi.
Dengan kesal, Ewan berjalan masuk kedalam mansionnya. Mungkin kalau ia kembali sebentar, pikirannya akan lebih waras. Dan setelah itu, mungkin ia bisa kembali lagi ke pantai, menemui Dee dan meminta maaf atas perlakuan brengseknya barusan.
Ketika memasuki kamar yang ditempati mereka, Ewan duduk di sisi tempat tidur yang biasa ditempati oleh Dee. Ia meraba permukaan tempat tidur itu, lalu menghela nafas panjangnya. Ewan merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menelungkupkan kepalanya diatas bantal yang digunakan oleh wanita itu semalam, menghirup dalam-dalam aroma Dee yang menguar dari bantal tersebut.
Ewan bisa saja memaafkan apa yang sudah dilakukan oleh Dee, tapi ingatan itu tidak bisa dilupakan dengan mudah. Mungkin banyak orang yang berkata, ingatan yang buruk sudah sepantasnya dibuang ke tempat sampah, atau dilupakan. Tapi tidak ada satupun orang yang tahu, bahwa Ewan sudah mencobanya selama lima tahun.
Di sela-sela pemikirannya, matanya terpaku pada laci nakas yang terbuka sedikit. Perlahan Ewan membuka laci nakas tersebut, mengambil buku yang ada di dalamnya.
Buku? Ewan mengernyit tidak mengerti karena ia tidak pernah meletakkan buku apapun didalam laci, Ewan berani bersumpah walaupun ia tidak sering menempati mansion ini, ia pasti tahu kalau pernah meninggalkan sesuatu di mansion ini. Tapi nyatanya, Ewan tidak pernah meninggalkan apapun.
Jemari Ewan membuka halaman tengah yang diganjal oleh sesuatu, dan ia cukup terkejut ketika melihat foto dirinya bersama dengan Dee, ketika mereka masih bersama. Ewan ingat, ini adalah foto 'first kiss' mereka, satu-satunya ciuman yang Albert ambil diam-diam dan memberikan kepadanya saat ulang tahunnya.
Ia membalikkan foto tersebut di mana terdapat tulisan tangannya, Mata hijau Ewan melembut ketika membaca tulisan tangannya sendiri dan menyadari bahwa tulisannya telah ditambahkan dengan tulisan tangan Dee. Ewan mengenal tulisan itu, walaupun sudah lima tahun berlalu, Ewan tidak mungkin melupakan tulisan itu.
"The smell of the beach and the sun always refreshing my feelings. But the scent of "Him" is always able to refresh all my soul. My sun, My moon and My-Marshall." (Aroma pantai dan sinar matahari selalu mampu menyegarkan perasaanku. Tapi aroma-nya selalu mampu menyegarkan seluruh jiwaku. Matahariku. Bulanku, dan Marshall-ku.)
Ewan menarik nafas panjang, jantungnya berdetak kencang dan ia membuka beberapa halaman yang ditulis dengan seenaknya, hingga jemarinya berhenti pada tanggal dua bulan yang lalu. "I've give you my world, and will never taking my word back." (Aku telah memberikanmu duniaku, dan tidak akan pernah mengambil kata-kataku kembali.)
Dan tepat ketika Ewan hendak menutup buku tersebut, ia melihat tulisan kecil yang sengaja di tulis pada sudut halaman depan. Sebuah tulisan yang sepertinya tidak ingin terbaca namun tetap ditulis dengan kecil.
"Can I get back to you in another life?"
Ewan langsung menutup buku tersebut, memasukkannya kembali kedalam laci nakas. Ia menghirup udara sebanyak mungkin. Sebenarnya apa yang membuat Ewan menahan wanita itu dengan kesepakatan terkutuk? Kalau dia memang membencinya, seharusnya Ewan mengenyahkan wanita itu dari kehidupannya. Tapi nyatanya, Ewan tidak melakukannya.
Akui saja kalau kau mencintainya, dan perasaan itu tidak pernah hilang dari sudut hatimu, Wellington. Tangan Ewan terkepal. Sebenarnya Ewan ingin kembali ke pantai, mencium wanita itu dan membuat Dee mengatakan hal yang sebenarnya kepada dirinya. Tapi Ewan tidak akan melakukannya.
Ia ingin, Dee yang mengatakan sendiri kepadanya, bukan karena kesepakatan terkutuk atau karena rasa takut. Ewan ingin... Dee sendiri yang meraihnya. Karena itulah Ewan tidak mencari tahu, karena itulah Ewan tidak berusaha menggali apa yang sebenarnya pernah terjadi pada wanita itu, padahal Ewan tahu kalau ia bisa mendapatkan informasi itu hanya dalam sekejap.
Tapi Ewan menahan dirinya. Ini bodoh, ia tahu. Tapi Ewan tidak tahu lagi bagaimana mencintai wanita itu sekaligus memberikan pelajaran kepada wanita itu. Ewan marah tapi tidak pernah membencinya. Ewan terpuruk, tapi tidak pernah berniat membalas dendam. Ia hanya ingin Dee merasakan sedikit kemarahannya. Ia ingin terus berpura-pura bahwa wanita itu tidak pernah ada didalam hatinya.
Sama seperti apa yang pernah dikatakan oleh Dee kepadanya lima tahun yang lalu, bahwa Ewan tidak pernah berperan penting di dalam kehidupannya. Lalu apa yang dirasakannya? Diam-diam Ewan menghela nafas panjang. Semua karena kecewa...
Karena dihari itu, Ewan telah memberikan segalanya yang dimilikinya. Kepingan harapan untuk membangun sebuah keluarga, Ewan memberikannya secara langsung kepada Dee. Berharap mereka akan bahagia di suatu tempat kecil, di mana tidak ada satupun yang bisa mengganggu mereka. Tidak ada masa lalu, tidak ada masalah keluarga, hanya ada dia dan wanita itu.
Hanya itulah yang diinginkan Ewan lima tahun yang lalu...
Lalu, Ewan menyadari tubuhnya bergerak sendiri. Ia tidak lagi duduk ditepi tempat tidur, melainkan berjalan cepat menelusuri jalan setapak yang tadi dilewatinya, setengah berlari seolah mengejar sesuatu. Langkahnya membawanya kembali ke Dee yang tengah duduk di sofa pantai.
Walaupun Ewan tidak melihat wajah wanita itu secara langsung, Ewan tahu kalau punggung kecil itu telah menahan rasa sakit. Berulang kali Ewan menarik nafas lalu membuangnya kembali. Satu kesempatan lagi, Wellington. She deserve it, isn't she? Ia berdiri disamping wanita itu dan wanita itu seolah larut dalam pikirannya sendiri sehingga tidak menyadari keberadaannya. Jadi, Ewan memanggilnya dengan suara pelan.
"Agapi Mou..."
°
Lidya awalnya hendak menikmati kesendiriannya hingga Marshall kembali. Ia tahu kalau pria itu kesal, tapi Marshall akan kembali. Ia selalu mempercayai hal itu, jadi Lidya berharap di lain waktu, ia akan lebih mengontrol perasaannya sehingga tidak akan terjadi lagi hal seperti hari ini. Ia tidak akan membawa masa lalu kalau memang Marshall tidak menyukainya.
Namun pikirannya seolah menghilang begitu saja ketika mendengar suara lirih itu memanggilnya, Lidya tidak tahu apa artinya namun ia tahu kalau Marshall memanggilnya. "Agapi Mou..."
Lidya mendongak, bibirnya terbuka seolah ingin bertanya. Namun tanpa mengucapkan apapun, pria itu langsung mengulurkan tangan dan menariknya hingga berdiri. Ada sesuatu yang salah, tapi Lidya tidak mengetahuinya. Apapun itu, Lidya bisa melihat bahwa mata hijau itu berubah menjadi teduh namun tidak terbaca.
Setelah ia berdiri sejajar dengan pria itu, sejenak mereka tidak mengucapkan ataupun mengeluarkan sepatah katapun. Yang mereka lakukan hanyalah terdiam dan mendengarkan suara deburan ombak yang semakin kencang. Hingga pada akhirnya, tangan Ewan yang menggenggam tangan Lidya mengelus telapak tangan kecil itu dengan gerakan lembut. "Ada sesuatu yang tidak bisa kuungkapkan, Agapi Mou. Dan hal itu berasal darimu."
Lidya menegang.
"Maafkan sikap burukku tadi." Ketika Lidya tidak mengucapkan apapun, Ewan berkata, "Tidak seharusnya aku menyakitimu dengan ucapan mengenai kesepakatan kita. Aku hanya... tidak suka kau membahas masa lalu atau menanyakan hal yang tadi kau tanyakan. Kau tahu kenapa Agapi Mou?"
Lidya menggeleng.
"Karena aku tidak tahu jawabannya. Karena aku bahkan tidak mengerti apakah aku bisa menjawab pertanyaanmu, sedangkan aku tahu betul bahwa aku masih belum bisa menjawab pertanyaanmu." Lidya menggigit bibirnya ketika mendengar penuturan pria itu. "Aku tidak ingin berbohong kepadamu, Agapi Mou."
Jemari Ewan terangkat dan mengelus permukaan bibir Lidya dengan lembut. Gerakan itu seolah menghentikan gerakan Lidya yang tengah menggigit bibirnya sendiri. "Jangan digigit," bisik Ewan. Lalu perlahan membuka bibir Lidya dengan tangannya seraya mengelusnya kembali. "Aku tidak suka kalau kau melukai dirimu sendiri."
"Aku akan menambahkan persyaratan dalam kesepakatan kita, Agapi Mou."
Lidya mengangkat kepalanya dan menatap Ewan dengan tatapan aneh. Mata hijau Ewan seolah memakunya, jemari pria itu yang bebas, terangkat dan mengelus rambut Lidya yang berantakan. "Jangan pergi dari sisiku tanpa memberitahuku sama sekali."
"Marshall..."
"Kalau kau bisa berjanji dan menepati kesepakatan itu, aku akan berusaha kembali menjadi Marshall-mu yang dulu."
Tubuh Lidya menegang. Ia menatap Ewan dengan tatapan yang tidak bisa diartikan pria itu. Namun Ewan menatap Lidya dengan tatapan teduh yang membuat Lidya ingin menangis keras-keras. Lalu dengan pelan pria itu berkata, "Aku tidak bisa janji kalau hubungan kita bisa kembali seperti dulu dengan cepat. Tapi aku akan berusaha untuk memahamimu, menghormatimu dan bersikap baik kepadamu. Aku akan berusaha untuk membiarkanmu memasuki hatiku sekali lagi, Agapi Mou."
Air mata Lidya menetes. Hatinya seolah mengembang dan ratusan kupu-kupu meledak diperutnya, namun ia malah menangis, padahal ini sama sekali bukan hal yang menyedihkan.
"Dan kali ini aku janji, bahwa kita akan baik-baik saja, Agapi Mou..." Ewan menunduk dan menyatukan kening mereka, mata hijaunya memaku mata coklat milik Lidya, lalu ia melanjutkan ucapannya. "...selama kau menepati kesepakatan kita, aku akan berusaha menjadi Marshall-mu yang dulu. We'll be alright."
Lidya tidak membutuhkan hubungan yang stabil atau pernikahan yang mewah. Apa yang selama ini dibutuhkan hanyalah Harletta. Selama ini, ia menyakini bahwa hanya ibunya dan Harletta yang diinginkannya. Lalu pria itu datang... Marshall datang dan merubah seluruh keyakinannya.
Dan Lidya tahu apa yang diinginkannya sekarang bertambah, ia tidak menginginkan apapun. Ia tidak menginginkan cincin pertunangan yang hanya ada beberapa didunia. Ia tidak menginginkan mansion besar dengan staff yang selalu siap sedia. Tidak... selama bersama Marshall, ia tidak menginginkan apapun. Bahkan ketika ia kelaparan, kehausan, kesakitan, hanya nama pria itu saja yang mampu membuat segala-nya menghilang. Nama pria itu selalu mampu membuatnya lebih kuat. Dan hal itulah yang menyakitinya...
Satu hal yang selama ini menyakitinya, bukan karena ia harus melawan segala masalah dan kepelikan ini seorang diri. Tapi karena... Lidya menyadari bahwa ia telah menyakiti pria yang telah menjadi pusat dunianya.
Dalam jeda yang panjang, Ewan akhirnya bertanya dalam satu kalimat yang pasti, "Pilih jawabanmu, Agapi Mou. Leave or stay?Katakan kalau kau setuju dan kita bisa memulainya bersama." Ketika Lidya tidak mengucapkan apapun, Ewan bertanya sekali lagi. "Leave or stay, Agapi Mou? Take your choice..."
TBC | 8 agutus 2017
Repost |16 April 2020
P.s : Contoh jalan setapak di mansion milik Ewan (Gak gtu mirip tapi miripin aja ya. Gak nemu soalnya :( )
P.s.s : Contoh kamar mereka (Abaikan kalau gak mirip )
Ketjup manja, ketjup manis segala kecup-kecupan untuk kalian *naik burung merak*. Girls, sorry banget akhir-akhir ini aku jarang bales komen kalian. Bukan karena uda mulai sombong ya, gak kok. Cuma akhir-akhir ini aku lagi gak gtu sempet buka WP lama-lama diakibatkan kepadatan di kerjaan yang gak manusiawi sama sekali. Mohon maaf, nanti kalau uda mulai manusiawi, aku bacain satu-satu ya. Jangan cape komen di lapak DEwan ya!! Cheers,
-Nath-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top