His Temptress | 43

When you disappear, my world turns into a colorless world.

-Ewan Marshall Wellington-

Ewan membopong tubuh Lidya dan mulai berjalan menuju mobil yang diparkir dihalaman depan. Ketika ia meletakkan tubuh Lidya kedalam kursi penumpang, mendadak Alfredo bertanya, "Anda hendak kemana, Sir?"

"Kami tidak akan kembali selama tiga hari kedepan, Al," ucap Ewan.

Tanpa menunggu ucapan dari Alfredo, Ewan langsung masuk di balik mesin kemudi, menyalakan mesin dan mulai menjalankan mobilnya. Lima menit kemudian, ketika mereka sudah berada jauh dari Mansion, Lidya menatap Ewan dengan takut-takut. Marshall or Ewan?

Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Jauh dari dalam hati, Lidya takut dengan sikap Ewan sekarang, karena ia tidak bisa menebak bagaimana perasaan pria itu. Lidya meremas jemarinya yang ada dipangkuannya. Setelah seluruh keberaniannya terkumpul, Lidya menatap kearah Ewan. "Kita... mau kemana?"

"Ke suatu tempat."

"Kemana?" tanya Lidya sekali lagi.

Ewan menoleh kearahnya, menyunggingkan senyum sensualnya dan berkata, "Kau akan tahu segera setelah kita sampai."

Tahu pria itu tidak ingin menjawab, Lidya tidak lagi menanyakan hal tersebut. Lidya menghela nafasnya dan menggerakkan kakinya yang masih terbalut perban. Lalu Lidya menyadari Ewan menurunkan setengah kaca jendela disampingnya, perlahan Lidya menyandarkan kepalanya pada jendela, dan merasakan semilir angin yang mengacak-acak rambutnya.

Mendadak kendaraan berhenti. Lidya langsung membuka mata dan menoleh kearah Ewan yang kini tubuhnya menyamping kearahnya. "A-ada masalah?" tanya Lidya pelan.

Tanpa banyak bicara, Ewan langsung menunjuk kedua kaki Lidya dan bertanya, "lift your legs and place it in my lap." Lidya tidak melakukannya karena ia tidak mengerti maksud ucapan pria itu. Lalu Ewan melepaskan kacamata hitamnya yang menampilkan mata hijaunya yang berkilat kearah Lidya. Ia mengulurkan tangan dan menarik kedua kaki wanita itu dari pijakan kaki ke pangkuannya. "Lean back, Dee."

Lidya mengikuti permintaan pria itu, ia menyandarkan punggungnya kearah jendela yang terbuka setengah. Lalu mobil dinyalakan kembali dan Ewan melajukan mobil dengan cepat, sementara itu Lidya memejamkan matanya, merasakan semilir angin menerpa kepala yang membuat pikirannya jernih.

Untuk sejenak mereka sama sekali tidak bicara. Dan Lidya tidak ingin menghancurkan moment ini. Iya, ia sudah terlalu banyak menghancurkan moment mereka selama ini dan kali ini Lidya tidak ingin melakukannya. Begini saja sudah lebih dari cukup, batin Lidya.

-abaikan jeansnya 😂😂😂- segalanya uda sama kecuali itu jeans 😂😂

°

Ewan mematikan kendaraan, ia menatap Lidya yang masih memejamkan mata. Ia menyadari wanita itu tengah tertidur karena efek aspirin yang dipaksa Ewan agar Lidya mau meminumnya. Dengan lembut Ewan mengelus kaki wanita itu yang tidak terbalut apapun.

Matanya tertuju pada perban yang melekat erat di telapak kaki Lidya. Ia menghela nafas panjang seolah tidak suka.

Lalu ia mengulurkan tangan ke belakang kursi mobil, mengambil sekotak P3K yang disiapkannya. Ewan kembali membersihkan luka di telapak kaki Lidya, sebelum menyirami luka itu dengan alkohol, Ewan mengangkat salah satu kaki Lidya dan mengecup tepat di luka itu. "Get well. Your owner really likes to run on the sand. Do you know?"

Setelah melakukan itu, Ewan menyiram sedikit alhokol di luka tersebut dengan hati-hati, kemudian melilitkan perban kembali di sekeliling kakinya.

Ewan dengan hati-hati kembali mengeluarkan Lidya dari mobil, ia membopong wanita itu. Ada rasa kepemilikan yang begitu besar ketika melihat wanita itu memakai jas-nya, namun Ewan berusaha menepisnya kuat-kuat.

Hari ini Ewan membawa Lidya ke salah satu rumah peristirahatannya yang ada di daerah Las Vegas. Cukup terpencil, mansion yang dimilikinya disini bergaya mediterania dan terlihat sangat tenang. Ewan membelinya dari Daniel Lezzada, salah satu rekan bisnisnya. Alasan Ewan membelinya adalah karena tempat ini memiliki danau dibelakang mansion, danau yang sangat besar. Bodoh memang, tapi Ewan membelinya karena mengingat danau Perancis yang sering ia habiskan bersama Lidya.

Ia tersenyum kecil ketika melihat perahu kecil berada di pinggir danau dan diikatkan dengan seutas tali. Ewan melangkah keatas dalam perahu tersebut, merebahkan tubuh Lidya disana, lalu melepaskan tali tersebut dari pijakan kayu yang ada di pinggir danau.

Perlahan Ewan mendayungkan perahu hingga ke tengah. Kemudian ia ikut berbaring disebelah Lidya, dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya, ia menarik tubuh Lidya keatas tubuhnya, membiarkan kepala wanita itu berada di dadanya. Ketika ia melakukan hal itu, Ewan mendengar keluhan dari bibir Lidya, dan Ewan tertawa. "Sleepyhead. Kau bahkan tidak sadar kalau kau sudah berada di tengah danau?"

Semilir angin yang tenang menerpa mereka berdua, Ewan mengetatkan pelukannya seolah berusaha menjauhkan angin tersebut dari tubuh Lidya. Tahu tidak bisa melakukannya, Ewan menarik tubuh Lidya sedikit keatas hingga kepala wanita itu berada di lekukan lehernya. Setidaknya, tubuhnya bisa mengeluarkan panas sehingga Lidya tidak akan terlalu kedinginan.

Dan Ewan mulai memejamkan matanya, mengikuti Lidya yang sudah tertidur.

°

Sejam kemudian, Lidya mulai membuka matanya dan menyadari tubuhnya berada diatas tubuh Marshall. Ia berusaha bangkit namun Lidya melihat kedua tangan Marshall tengah melingkar di pinggangnya, seolah mengurungnya.

Ia kembali meletakkan kepalanya diatas dada Marshall, mendengar detak jantung pria itu. Kepalanya ditolehkan ke sekelilingnya, menyadari kalau mereka berada di tengah danau tenang yang tidak ada siapa-siapa, hanya ada mereka berdua dengan pemandangan hijau disekeliling mereka.

Lidya mengulurkan tangan, mengusap rahang Marshall dengan gerakan pelan. Memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya, mengecup pipi pria itu. Lalu ia bangkit, tangannya di topangkan pada dada pria itu, sementara itu tangannya mengusap helaian rambut yang terjatuh di pelipis Marshall.

Lalu Lidya terkekeh saat melihat reaksi Marshall, pria itu mengernyitkan alisnya dan menggoyang-goyangkan kepalanya kekiri dan kekanan, seolah-olah merasa terganggu dengan helaian rambutnya sendiri. Jemari Lidya menelusuri permukaan wajah Marshall, hanya sekarang ia bisa mereguk seluruh ketampanan yang dimiliki oleh pria itu. Lidya merasa hanya sekarang ia bisa memuaskan diri dengan apa yang ada di hadapannya.

Ia menunduk dan mencium bibir Marshall. Tuhan tahu betapa ia merindukan kelembutan pria itu. Pada dasarnya, Marshall bukanlah pria yang tidak setia. Lidya ingat, ketika mereka sedang berjalan di hiruk pikuk kota Lyon di Perancis, Marshall tidak sekalipun melirik wanita lain-sesuatu yang selalu dilakukan pria lainnya.

"Kenapa?" tanya Marshall saat menyadari Lidya terdiam disampingnya.

Ketika Marshall menghentikan langkah mereka, ia sadar Lidya tengah merengut. Jemarinya terulur kearah rambut wanita itu yang terikat dengan satu jepitan besar dipuncak kepala. Dengan gesit Marshall mengambil jepitan rambut itu, mengacak-acak rambut Lidya yang halus hingga terurai sempurna. "Kenapa kau terlihat marah? Ada yang salah?" tanya Marshall sambil menjumput rambut panjang Lidya dan menciumnya.

Lidya memukul perut Marshall dengan lembut. "Aku tidak suka kalau wanita lain melirikmu."

"Itu tandanya mereka punya selera yang bagus. Seharusnya kau senang kalau mereka melakukannya." Ketika Lidya hendak memprotes, Marshall terkekeh, menarik tangan Lidya dan mengecup bibirnya cepat. "Itu tandanya, kau beruntung memilikku dan tidak akan melirik kearah pria lain."

"Dan kau tidak akan melirik kearah wanita lain?"

"Tidak."

Lidya mengangkat alisnya tidak percaya, ia tersenyum kecil dan kembali memukul perut rata Marshall dengan pelan. "Liar... Bagaimana dengan wanita berdada besar? Kau pasti tertarik untuk-"

Sebelum selesai mengatakan sesuatu, Marshall meremas dada Lidya dengan lembut dan mengangkat dadanya keatas sehingga terlihat lebih besar dari ukuran sebenarnya. Bibir Lidya terbuka ingin memprotes, namun Marshall sudah mencium wanita itu lagi untuk menutup mulutnya, kemudian berkata, "You have a very fit breast in my hand. If I have you, Dee, There is not a single other woman who can make me look away from you."

"Even if they can, they have to work very hard to make me that way. Do you believe in me now, Bee?"

"My name is Dee, Perfect joker!"

"Dee is your nickname. Bee is your nickname from me. Bee is honey, that special word is too mainstream and I'm tired of using that. Do you want to complaint?"

Lidya menjawabnya dengan senyuman lebar.

Ketika mengingat saat-saat masa lalu, Lidya selalu tersenyum. Dan kali ini pun, ia kembali tersenyum. Lidya meletakkan kembali kepalanya diatas dada Marshall dan berbisik, "No, Marshall. I don't want to complaint about anything..."

As long as you are next to me.

TBC | 30 Juli 2017
Repost | 10 April 2020

V.O.M.M.E.N.T? Please, give me a lot of vomment gaaesss *kecupmanja*

Now, sudah tahu apa arti Bee bagi Ewan? Kemarin kan banyak yang nanya kenapa jadi Bee, di part ini udah di jelaskan kalau Bakwan gak mau yang mainstream ya. Dan kalian tahu sendiri gimana Ewan kan? Dia emank suka ganti nama orang seenaknya. Staff kantornya yang namanya Terry aja diganti jadi Tes. LOL

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top