His Temptress | 42
Ewan duduk di balik meja kerjanya, dengan dokumen ditangannya. Dokumen yang beberapa hari lalu diberikan oleh Alfredo, ia masih belum sempat membacanya. Ia mulai menelaah isi dokumen tersebut yang isinya lebih menggambarkan seperti apa keadaan Harletta sekarang, baru saja matanya beranjak ke baris kedua, mendadak ponselnya berdering.
Tanpa melihat siapa yang menelepon, Ewan langsung mengangkatnya. "Wellington," ucap Ewan cepat-cepat. Lalu ketika ia mendengar suara yang dikenalnya, Ewan langsung mengangkat alisnya. "Terry?"
"Halo, Bos. Sedang sibuk dengan olahraga malammu?" kekeh Terry.
Ewan mendengus. "Di sana jam berapa memangnya, sampai kau menyempatkan diri untuk menghubungiku?" Ewan menutup dokumen dihadapannya, ia menyandarkan punggungnya di kursi. "Bagaimana hasilnya?"
"Aku sudah memberikan hasil laporanku kemarin, dan kau bahkan tidak bisa menyempatkan diri untuk menghubungiku, Ewan?"
"Aku baru saja melihat laporanmu, Tes. Jadi, ada apa?"
"Terry! Don't even dare to change my name, bastard."
Ewan terkekeh pelan, ia memutar kursi dan melihat pemandangan malam dari balik jendela. Perlahan Ewan berdiri, tangannya ditumpukan pada jendela dan dengan tegas ia bertanya, "Bagaimana keadaannya?"
"Bukan bom, Ewan." Ewan bisa mendengar Terry menghela nafas. "Wanita itu tertembak sebanyak dua kali. Pertama di dada, kedua di perut. Luka kedua tidak ada apa-apanya, luka pertama-lah yang patut dikhawatirkan."
"Dua kali tertembak?"
"Iya. Simon sedang mencari tahu rekaman kejadian, kita tidak bisa mencari tahu dari pihak CIA karena sepertinya kejadian itu terjadi di ruang tertutup. Dan Jake Prescott memiliki hubungan dengan beberapa pengusaha besar jadi rekaman itu dirahasiakan." Ewan mendengar langkah kaki dari seberang telepon, lalu ia mendengar helaan nafas dari Terry. "Menurut hasil laboratorium, koma yang dialami oleh Harletta mungkin ada hubungannya dengan racun pelemah jantung."
"Ada lagi?" tanya Ewan pelan.
"Aku akan mengabarimu lagi. Oh iya, aku lupa menanyakan hal ini kepadamu." Ewan menunggu Terry melanjutkan ucapannya. "Apakah kau pernah melihat luka di tubuh Lidya?"
Kali ini Ewan mengernyit. "Luka apa?"
"Luka apapun. Mungkin goresan, tembakan, atau apapun."
"Sepertinya tidak."
"Kau yakin?" tanya Terry. "Karena menurut laporan yang kudapatkan, dia pernah terluka saat membawa Harletta ke rumah sakit. Yah, kalau wanita itu tidak terluka, mungkin laporan yang kudapatkan salah. Okay, aku hanya melaporkan itu saja kepadamu. Aku akan kembali bekerja kalau begitu."
"Ter," panggil Ewan.
"Yes, sir?"
Sejenak Ewan terdiam sementara jemari tangannya terkepal. Dan dalam hitungan beberapa detik, Ewan berkata kepada Terry dengan nada dingin. "Ambil data perusahaannya. Dia punya perusahaan cabang di Yunani dan Spanyol bukan? Aku menginginkan pemalsuan data, buat data seolah-olah perusahaan Jake Prescott yang melakukannya. Dan sebarkan berita tersebut ke pemerintahan Inggris dan Duta Spanyol."
"Kau menginginkan perusahaan Jake Prescott hancur?"
"Tidak." Ewan memasukkan sebelah tangannya kedalam saku. Mata hijaunya berkilat ketika melihat pemandangan malam didepannya. "Memangnya selama ini, bagaimana prinsip yang kukatakan padamu, Terry?"
"Hancurkan perlahan-lahan agar mereka tahu kalau mereka sedang berhadapan dengan siapa," jawab Terry. Lalu pria itu mendesah, "Kau sedang marah, Ewan? Kau tidak terbiasa melakukan-"
"When I told you to do something, Terry-"
Sebelum Ewan menyelesaikan ucapannya, Terry memotong ucapan pria itu dengan melanjutkan bait kalimat yang hendak diucapkan oleh Ewan. "...Then I must do it. Okay, I get it. 2 months dan aku akan memastikan kau mendapatkan apa yang kau inginkan Ewan."
"Good. Kabari aku kalau ada masalah."
"Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh seluruh staff andalanmu, Wellington. That's why you hire us."
Setelah Terry memutuskan sambungan teleponnya, Ewan memasukkan kembali ponselnya kedalam saku dan beranjak keluar dari ruangannya. Dan hendak kembali ke ruang depan, dimana Lidya masih tertidur pulas.
°
Marah? Ewan lebih dari sekedar marah. Ia murka.
Ewan tahu luka yang dimaksud oleh Terry. Karena ia melihat luka itu dimalam ketika mereka bercinta, walaupun Ewan ingin menanyakan luka yang ada pada punggung Lidya, ia memaksa dirinya untuk tidak melakukannya. Sebab Ewan tidak ingin Lidya mengetahui betapa besar ia memperdulikan wanita itu.
Ini adalah salah satu bentuk hukuman yang diberikannya kepada Lidya. Dan ia benar-benar melakukannya.
Perlahan Ewan mengulurkan tangan dan mengelus sisi wajah Lidya, dulu Lidya selalu tersenyum, selalu penuh dengan percaya diri dan aura yang positif. Dan lima tahun... Ewan sadar, sekarang wanita itu selalu menunjukkan wajah sendu, tanpa senyuman memikat yang sering dilakukannya.
Ketika Ewan menunduk untuk mengecup kening wanita itu, pikirannya mulai bertanya-tanya, untuk apa Lidya melarikan diri dari ayahnya sendiri dan kenapa... Karena Ewan tahu betapa Lidya mencintai ayahnya, wanita itu selalu membangga-banggakan ayah dan juga Harletta. Padahal Ewan tahu mereka berdua sama sekali tidak memiliki hubungan darah.
Bibir Ewan membentuk senyuman ketika mengingat ucapan yang dilontarkan oleh wanita itu saat Ewan berkata bagaimana bisa ia menyayangi Harletta padahal tidak memiliki keterikatan apapun. "Cinta tidak berarti harus memiliki keterikatan, Marshall. Aku menyayanginya, bukan hanya karena dia adalah saudaraku, tapi dia adalah keluargaku. Tanpa hubungan darah, dia tetap saudara yang aku cintai."
Ewan menghela nafas dan meneguk kopi dari atas meja. Sebelum kembali menghampiri Lidya, ia membuat dua kopi. Satu untuknya, dan satu untuk Lidya.
Aroma kopi tersebut menyeruak, sementara itu Ewan menyandarkan kepalanya pada sisi kepada Lidya, berusaha menghirup aroma wanita itu yang telah bercampur dengan aroma kopi. Harum.
"...Marshall...?" bisik Lidya pelan.
Ewan menoleh dan mendapati kelopak mata Lidya bergerak-gerak, lalu terbuka dan tatapan mereka bertemu. Ewan mengulurkan tangan dan mengusap puncak kepala Lidya dengan lembut. "Tidur nyenyak?" tanya Ewan.
Ketika Ewan menyadari Lidya hendak bangun dari sofa, Ewan dengan sigap langsung membantu wanita itu duduk, tanpa melukai telapak kakinya yang terluka. Sementara itu, Lidya mengerjap-kerjapkan kedua matanya untuk memfokuskan pandangannya. Lalu saat sadar, ia menyadari Ewan sudah duduk dibelakang tubuhnya dan membiarkan tubuhnya berada dipangkuan pria itu. "Ma...Maaf.." bisiknya sambil berusaha mengangkat tubuhnya.
Namun tangannya ditahan oleh Ewan.
Tatapan Ewan menyipit dan memaku tubuh Lidya sehingga ia tidak berani menggerakkan tubuhnya sama sekali. "Berani bergerak, I will slap you butt-very hard, Dee."
Ucapan Ewan membuatnya tidak berani menggerakkan tubuhnya sama sekali. Dan Lidya hanya mengangguk patuh. Untuk beberapa menit Lidya merasa aneh dengan sensasi yang menggelitik perutnya, ia merasa berdebar-debar dan jutaan kupu-kupu seolah terbang diperutnya ketika telapak tangan Marshall yang besar, mengelus pahanya, sementara tangan pria itu yang lain melingkar di pinggangnya.
Ini adalah posisi yang dulu sering mereka lakukan. Dan berapa lama Lidya memimpikan posisi itu terjadi lagi padanya? Satu tahun? Dua tahun? Tidak... Lidya telah memimpikan hal ini selama lima tahun terakhir.
Lidya menarik nafas panjang. Lalu ia merasakan rambut pria itu menggelitik tengkuknya,dan Lidya begitu terkejut ketika ia mendengar suara Marshall yang begitu halus dan pelan berada tepat di telinganya. "Dee, apa aku sudah menerapkan peraturan ketiga untukmu?"
Peraturan ketiga? Lidya mengernyit pelan, berusaha mengingat peraturan apa saja yang pernah diberikan oleh pria itu. Ketika tidak ada peraturan ketiga yang diingatnya, Lidya menggeleng. "Tidak. Aku rasa... tidak ada."
"Good, kalau begitu, ini peraturan ketigamu."
Ewan menarik bahu Lidya hingga wanita itu terlentang diatasnya, kepala wanita itu bersandar pada ujung sofa seolah telentang pasrah untuknya. Dan kepala mereka berhadapan. Lalu jemari Ewan yang tadinya melingkar di pinggang wanita itu, mulai merayap turun dan meremas paha telanjang halus itu. Ia membelai dengan halus, perlahan bergerak ke bagian sensitive Lidya dan mengusapnya disana. Ewan tersenyum ketika mendengar erangan parau dari wanita itu.
Jemari mungil Lidya mencengkram lengan Ewan yang merayap masuk kedalam gaunnya dan membelai titik sensitivenya. "Please... don't..." Sialan. Lidya mengutuk dirinya sendiri karena bersuara seperti wanita murahan yang halus belaian.
"Peraturan ketiga ini bodoh... dan aku tidak akan melakukannya, Marshall. This stupid thing-"
"Memangnya apa peraturan ketiga yang kuberikan kepadamu? Padahal aku sama sekali belum mengatakan apapun," jawab Ewan memotong ucapan wanita itu. Namun tangannya masih membelai bagian sensitive wanita itu yang semakin lembab dibawah belaiannya. Ia mengecup cuping telinga Lidya dan berkata, "Apa peraturanku?"
"Morning sex? This stupid, Marshall! I wouldn't do it. Please, kita bisa membicarakan hal ini baik-baik. Aku tahu kesepakatan kita, tapi aku sedang-"
"Kau memang harus melayaniku dimanapun yang aku inginkan, Bee." Ewan terkekeh saat tahu apa yang ada dipikiran wanita itu, lalu kembali menatapnya. "Tapi bukan itu peraturan yang hendak kuberikan kepadamu."
Lidya mengernyit tidak mengerti.
Kemudian jemari Ewan turun dan membelai betis wanita itu. Sementara kepalanya menunduk kearah paha telanjang wanita itu dan mengecupnya disana. Ia menjilatnya sekilas dan mengecupnya kembali. Lalu Ewan berkata pelan, "This sexy thigh and feet are mine, and I don't allow it to get hurt."
Tubuh Lidya bergetar ketika lidah pria itu menelusuri paha-nya dan semakin turun ke kakinya, nafas Lidya tersentak saat jemari pria itu dengan lihai membelai telapak kakinya yang terluka. Oh Tuhan...
"Your body is mine, Bee. I didn't let it hurt a bit. This is the third rules for you." Ewan kembali menegakkan tubuhnya. Ia memerangkap wanita itu dalam tatapannya, lalu dengan tegas dan terdengar berbahaya, Ewan melanjutkan ucapannya. "You shouldn't let your body hurt. Not even a single scratch."
"A-Aku terluka bukan karena aku menginginkannya. Ini semua..." Lidya berusaha menyelesaikan ucapannya namun sangat sulit dilakukannya karena mata hijau itu terlihat begitu memabukkan. "...Ini semua karena kecelakaan. Aku-"
"Do you think I'm care?
"Marshall..."
Ewan kembali menunduk dan kali ini ia mengecup bibir Lidya, ia membelai bibir itu dengan lidahnya dan meninggalkan rasa hangat disana, lalu ia mengigit lembut bibir bawah wanita itu. Dan berkata, "If you dare to break this rule... I will give you a punishment."
Lidya meneguk saliva-nya.
"A sweet and painful punishment, until you will not dare to repeat it again. And instead, you will not be able to walk out of the room for a whole week." Ewan kembali mengecup bibir Lidya dan bertanya, "Is it clear enough, Bee?"
TBC | 30 Juli 2017
Repost | 09 April 2020
V.O.M.M.E.N.T? A lot of Voment please??? *kedipmanja*
This scene... Nay or yay? LOL
Btw, happy birthday Aprillyani3371
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top