His Temptress | 40

Nathalie dan Ewan duduk diatas pasir dengan tatapan terarah pada deburan ombak dihadapannya. Ewan berpaling menatap Nathalie, tangannya terulur dan berusaha merapikan rambut pirang Nathalie yang berantakan karena angin. Selagi ia melakukannya, Nathalie menoleh dan tersenyum lembut. "Feel better?" tanya Nathalie.

"Thanks, Nath. Well, Aku seharusnya tidak menganggu waktumu. Aku hanya..." Ewan menghela nafas lalu ia mengacak-acak rambutnya. "Mungkin aku sudah gila, Nath."

"Hei, kita sudah sepakat mengenai hal ini bukan?" Nathalie meraih Ewan, mengecup pipi pria itu dan berkata, "Kau teman baikku, Ewan. Ingat saat aku yang berada di posisimu? Kau melakukan apapun yang kau bisa untuk membuatku 'feel better'."

Ewan menatap Nathalie dan tersenyum lembut. "Aku senang melakukannya untukmu, Nath."

"Dan aku juga senang melakukannya, Ewan. Aku tidak merasa terpaksa menemanimu atau mendengar ceritamu setiap hari. Yah, walaupun kau sama sekali tidak melakukannya." Nathalie terkekeh, ia mengelus pipi Ewan dengan sayang. "Aku sayang padamu, Ewan. Dan aku tidak merasa keberatan kalaupun kau membutuhkanku setiap hari. Aram akan mengerti."

"Dia akan membunuhku kalau tahu aku sudah mengajak istri tersayangnya dalam pertemuan sembunyi-sembunyi ini," kekeh Ewan. Ia menarik Nathalie mendekat lalu memeluknya erat. "Seharusnya kita bersama saja waktu itu, Nath."

"Sayangnya semua itu tidak mungkin. Iya kan?" Nathalie menepuk punggung Ewan. "Kau sendiri tahu itu. Aku bukan dia, Ewan dan kau bukan Aram."

Untuk semenit, mereka sama sekali tidak melakukan apapun selain berpelukan. Hanya suara deburan ombak dan semilir angin yang berbicara. Ewan tidak benar-benar mengatakannya, ia tidak bermaksud mengatakannya. Ia hanya... feel lost?

Ewan menutup mata, dan berbisik pelan. "Aku merasa seperti seorang bajingan, Nath." Ewan tertawa miris, "Kali ini aku benar-benar bajingan. Iya kan?"

"Kau memang bajingan, Ewan dan tidak akan pernah berubah," jawab Nathalie.

"Hei, memangnya kau tidak bisa mengatakan sesuatu yang bisa membuat hatiku menjadi lebih baik?" Ewan mengurai pelukan mereka dan pura-pura merasa tersinggung. "Suami-mu juga bajingan, Nathalie. Malah lebih dari aku."

Mereka tertawa, Nathalie meletakkan kepalanya diatas bahu Ewana dan berkata, "Dulu, Aram memang lebih bajingan daripadamu, Ewan." Perlahan Nathalie menjauh, ia memegang tangan Ewan erat dan berkata lagi, "Aku tidak tahu apa yang sedang menimpamu, aku tidak bisa bilang wanita itu benar-benar bersalah, Ewan, karena aku tidak tahu akar permasalahan kalian. Tapi-"

"Selalu ada alasan dibalik keputusan, Ewan. Jangan pernah lupakan itu."

"Menurutmu aku harus memaafkannya?" tanya Ewan pelan.

Nathalie tersenyum dan menggeleng. "Memaafkannya dengan mudah? Tidak. Memberi pelajaran kepadanya? Iya. Yang harus kau lakukan adalah memberitahunya bahwa dia tidak bisa melakukan hal itu lagi kepadamu, Ewan." Lalu Nathalie memukul pundak Ewan dengan keras, "Jangan memasang wajah sedih seperti itu! Kemana Ewan Wellington yang selalu bisa membuat orang jatuh cinta dengan kelakuanmu yang selalu gila itu?"

Kemudian Nathalie kembali mengamit lengan Ewan, meletakkan kembali kepalanya diatas bahu pria itu. "She's yours, Ewan. Buat seperti itu, kalau kau takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya, kau bisa membuatnya tidak bisa hidup tanpamu."

"Masalahnya tidak semudah itu. Andaikan melupakan semudah seperti saat aku jatuh cinta padanya, maka aku tidak akan seperti ini, Nath."

Tentu saja Nathalie tahu, tidak mudah untuk melupakan goresan yang diberikan oleh orang yang mereka cintai. Ini bukan luka berdarah yang jika diobati akan langsung mengering. Tidak... luka yang tidak berdarah ini seolah tidak memiliki goresan, namun membekas. Dan masalahnya, mereka tidak bisa memutuskan kapan bekas luka itu akan menghilang.

Kali ini Nathalie hanya bisa berharap, waktu bisa memulihkan luka Ewan. Dan diam-diam dia menambahkan, "Aku berharap wanita itu dapat menyembuhkanmu, Ewan. Sama saat kau memintaku untuk memberikan kesempatan kepada Aram untuk menyembuhkanku dulu. Aku juga berharap kau memberikan kesempatan kepada wanita itu untuk mengeringkan lukamu."

°

Dari jauh Lidya menatap kemesraan Marshall dan Nathalie yang tengah berpelukan satu sama lain. Ia bahkan bisa melihat betapa Marshall begitu memuja wanita itu. Ia tidak menangis, belum... Karena Lidya tahu ia tidak boleh menangis. Ia yang sudah melepaskan Marshall dan kalau Marshall memilih wanita lain, ia tidak boleh menjadi wanita egois yang malah membenci pria itu.

Tidak.

Marshall berhak untuk bahagia. Lalu ucapan Nathalie bergema ditelinganya. "Aku sangat memujanya, mungkin aku salah satu wanita yang memuja Marshall." Kalau Marshall bahagia, kenapa tidak? Pria itu berhak bahagia setelah bertahun-tahun ayahnya menyakiti perasaannya.

Perlahan Lidya membalikkan tubuhnya. Tadi, ia berlari dengan cepat tanpa sepatu. Ia hanya takut ada sesuatu yang terjadi pada Marshall. Ia berencana untuk... apa? Lidya bahkan tidak tahu dimana letak kantor pria itu. Jadi kenapa ia keluar? Kenapa ia malah berlari seperti orang gila seolah-olah semua ini berarti baginya?

Lidya menatap telapak kakinya yang terluka akibat gesekan batu. Tadi ia tidak merasa sakit sedikitpun. "Padahal tadi aku tidak merasakan apapun..." bisik Lidya pelan.

Ia mulai berjalan kembali kearah yang tadi dilewatinya. Sepuluh blok dari sini adalah mansion Marshall yang ditinggalinya. Dengan menahan perih, Lidya mulai memaksakan kakinya untuk berjalan kembali. Telapak kakinya sakit, tapi ia juga merasakan sakit dibagian yang lain. Hatinya...

Ia merogoh saku-nya dan mengeluarkan lembar foto Marshall dan dirinya. Sejak ia menemukan foto ini, ia membawanya kemanapun ia pergi. Dan pada sore hari ketika ia mendengar Marshall akan pulang, Lidya akan meletakkan foto ini kedalam buku yang ada dilaci nakasnya.

Ini terlihat bodoh, Iya, Lidya tahu. Tapi ia tidak bisa menghentikannya. Dengan cepat ia memasukkan kembali lembar foto itu, dan kembali berjalan.

Jangan merasakan apapun, Dee. Jangan memikirkan apapun...

°

Ketika Lidya hendak menyebrang, mendadak sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya. Jendela kaca mobil tersebut turun dan ia melihat Alexander Margen, salah satu tangan kanan ayahnya tengah menatap kearahnya. Tubuh Lidya langsung membeku ketika tatapan mereka bertemu.

Sejenak yang bisa dilakukan Lidya hanyalah diam mematung.

Kemudian ia melihat gerakan mulut pria itu, yang sengaja ditujukan kepadanya. "Pembunuh." Lalu mobil tersebut berlalu dari tempat itu. Tanpa membuang waktu, Lidya langsung menyebrangi jalan, berlari mengitari sepuluh blok untuk mencapai mansion Marshall. Ia bahkan mengabaikan rasa sakit ditelapak kakinya yang begitu kuat menusuknya.

Pembunuh.

Air matanya mengalir, jantungnya berdetak dengan kencang ketika mendengar ucapan itu. Bahkan ketika ia masuk kedalam ruang depan mansion Marshall, jantungnya masih berdetak dengan sangat kencang hingga menyakitkan. Ia merasa jantung dan paru-parunya tidak bekerja dengan baik. Lidya merasa sesak nafas dan sakit disaat yang bersamaan.

Alfredo yang terkejut melihat kedatangan Lidya langsung menuruni tangga dan bertanya, "Apa yang terjadi, Miss?" namun Lidya tidak menjawabnya. Perlahan Alfredo berjalan kearah Lidya. Kali ini ia menepuk pundak wanita itu hingga tubuhnya terlonjak karena kejutan kecil itu. Alfredo mengernyit, "Ada apa?" tanyanya lagi.

Hal yang wajar untuk dilakukan adalah Lidya seharusnya menjawab pertanyaan Alfredo, ia seharusnya bilang kalau segalanya baik-baik saja. Tapi tidak ada yang bisa diucapkannya, dan mendadak air mata Lidya menetes begitu saja.

Seluruh tubuhnya bergetar kencang, sementara Alfredo menekan pundak kecil itu seolah berusaha menenangkan. Ia menunduk untuk mendengar gumaman Lidya yang seperti bisikan. Dan ketika ia mendengarnya, tubuh Alfredo mematung. "Marshall... Marshall..."

"Ada apa, miss? Apa ada yang mengganggu anda?" tanya Alfredo.

Lidya menggeleng. Ia mengangkat tangan dan menekan kepalanya dengan sangat kencang. "I'm not murderer, Marshall... Please-" Lalu Lidya merasakan seluruh kekuatannya hilang.

Setelah mendengar bisikan yang membuatnya cukup terkejut, tubuh Lidya limbung kedepan. Alfredo dengan cepat menangkap tubuh gontai Lidya. Perlahan, ia membopong tubuh Lidya ke salah satu sofa yang ada di ruang depan.

Alfredo tahu kalau ia tidak seharusnya mencampuri urusan mereka, ia adalah pelayan yang profesional. Sikap profesional-nya inilah yang membuatnya masih bertahan pada keluarga Wellington. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak mencampuri urusan majikannya, tapi ketika melihat wajah Lidya yang terlihat begitu sendu dan menyadari majikannya terlihat sangat tersiksa setiap malam.

Ia tahu, bahwa Alfredo harus membuang sikap profesional yang dijunjungnya itu.

Setelah membaringkan tubuh Lidya diatas sofa dan meletakkan kain hangat dikening wanita itu, Alfredo berjalan ke taman belakang. Ia mengambil ponsel dari saku dan menghubungi majikannya. "Ini saya, Sir. Ada yang harus saya beritakan."

Alfredo menarik nafas pelan.

"Miss Lidya pingsan secara mendadak. Dan..." Alfredo kembali menarik nafas dan kali ini ia menjilat bibirnya yang terasa kering. "Saya merasa ada yang salah disini, sir. Sesuatu yang sangat salah telah terjadi pada Nona Lidya."

TBC | 28 Juli 2017
Repost | 08 April 2020

V.O.M.M.E.N.T?

P.s... Sssttt 🙊 chapter 40 kesukaan miss K loh. Siapa yang suka Lidyanya kesakitan sengsara kaya gini☝️

- With love Nath & Miss K -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top