His Temptress | 36

"Jadi, kau akan melepaskannya?" tanya Max ulang. Karena sudah lima belas menit ia bertanya, namun Ewan tidak menjawab pertanyaannya. Max memajukan tubuhnya dan bertanya, "Kau melamun, Ewan?"

Ewan tersentak dari lamunannya. Ia menoleh kearah kiri dan kanan, kemudian Ewan menyadari kalau ia masih berada di dalam ruangan kantornya. "Apa... Apa yang barusan kau katakan?" tanya Ewan bingung.

"Ewan?" tanya Max. "Kau kenapa?"

Ewan menoleh sekali lagi ke seluruh ruangan dan ia tidak melihat hujan sama sekali, ia tidak melihat wanita itu dihadapannya. Terlebih lagi, ia menyadari kalau barusan ia hanya bermimpi. Mimpi sesaat karena ia terlalu lelah dengan semua masalah ini?

Ewan menghela nafas panjang. Ia merasa sudah gila.

Ia menatap kearah Max dengan bingung, "Aku tidak menginginkannya lagi, Max. Aku ingin dia mengerti kalau aku bukan orang yang sama, aku ingin dia tahu kalau bukan hanya dia saja yang ada didalam kehidupanku."

"Apakah itu yang benar-benar kau inginkan, Ewan?"

Ewan tidak tahu.

Ia menghela nafas kembali. Kali ini ia merasa sangat bodoh dengan ucapan yang baru saja diucapkannya. "...Aku tidak tahu..." bisik Ewan pelan. Bodoh kalau ia berpikir Max tidak mendengarnya, pada kenyataannya Max mendengar bisikan lirih itu. 

"Kalau kau tidak menginginkannya lagi, kami semua bisa membuat wanita itu menjauh darimu, Ewan." Max menekankan tangannya keatas meja. "Tapi pada kenyataannya semua tidak seperti itu. Iya kan?"

Ewan menatap Max.

"Aku sudah lebih bisa mengatasi perasaanku sekarang, Maxie." Ewan menarik nafas berulang kali sebelum kembali berkata, "Seberapa besar aku menginginkannya, dia tidak perlu mengetahuinya, Max. Aku akan mendapatkannya kembali, kali ini dia yang akan berlari kearahku, bukannya aku, Max."

Ketika Max ingin mengucapkan sesuatu, mendadak pintu terbuka lebar dan Ewan langsung menatap Eugene yang masuk tiba-tiba. Ia mengernyit kearah Eugene. "Gene, ada apa?" tanya Ewan.

"Aku tidak ingin mengganggumu. Tapi kau harus lihat ini." Eugene berjalan maju melewati Max sambil membawa surat kabar ditangannya. Kemudian meletakkannya diatas meja. "Berita ini sudah menyebar, Ewan. Aku baru mengetahuinya lima belas menit yang lalu. Dan pihak Daily news menolak untuk menarik berita itu."

Ewan mengambil surat kabar itu dan membacanya.

'Benarkah Ewan Marshall Wellington merupakan hasil dari perselingkuhan yang dilakukan oleh Maria Wellington?'

Dengan penasaran Max ikut membaca artikel itu juga dan matanya terbelalak. "What the—" Max tidak melanjutkan ucapannya. "Apa mereka sudah gila?!"

"Berita ini sudah menyebar, Ewan, dan kau harus mengklarifikasi berita ini agar tidak membuat namamu buruk," tegas Eugene.

Max langsung mengambil ponsel dari sakunya, mencari kontak Kane dan menghubunginya. Ketika sekretarisnya itu menjawab telepon, Max langsung berkata, "Segera cari tahu siapa yang memberikan informasi mengenai Ewan kepada Daily News dan aku ingin berita itu dimusnahkan. Kau mengerti Kane?"

"Baik, Max," jawab Kane cepat, sebelum Max memutuskan sambungan telepon.

Lalu Max kembali menatap Ewan yang terlihat seolah tidak peduli. "Kane akan mengurus hal ini, aku akan menghubungi Aram dan Gabe kalau masalah ini menjadi lebih buruk. Lebih baik kau—"

Ewan kembali menghempaskan tubuhnya diatas kursi, ia tersenyum lebar dan dengan tenang berkata, "Sudah, abaikan saja berita itu." Ewan bersidekap, mata hijaunya tampak tidak peduli, "Pulanglah Max. Zia lebih membutuhkanmu daripada aku."

"Aku akan mengurus hal ini," ucap Max.

"Tidak perlu. Aku tahu siapa yang melakukan hal ini," jawab Ewan. Tatapannya beralih kepada Eugene,"Aku tidak akan mengklarifikasi apapun. Daily News bisa melakukan apapun yang mereka suka."

"Ewan, kau tahu betapa seriusnya hal ini bukan? Ayahmu akan semakin gencar menghinamu!" bentak Max kesal. "Dan bisnismu—"

"Kenapa dengan bisnisku?"

Sejenak Max dan Ewan hanya bertatapan. Ewan bangkit dari kursinya, matanya menutup sejenak dan ketika terbuka kembali, Max sadar Ewan dulu telah kembali. "Apapun yang dilakukan ayahku, dia tidak akan pernah bisa mengusik bisnisku, Maxie. Dan kalau seluruh dunia memberitakanku sebagai anak haram, memangnya kenapa?"

"Aku pemilik klub terbesar didunia." Ewan memasukkan tangan kedalam sakunya, dan kembali berkata, "Dan aku bisa membuat orang yang menghinaku, berlutut tepat dibawah sepatuku, Maxie."

Ewan berjalan mengitari meja, ia berhenti di sisi Max dan menepuk pundak sahabatnya itu lalu kembali berkata,"Jangan khawatirkan aku, Max."

"Aku tidak ingin mengkhawatirkanmu, kalau saja kau bisa mengkhawatirkan sedikit situasi yang ada." Max menahan lengan Ewan yang hendak beranjak, "Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?"

"Tidak ada."

"Ini semua ada hubungannya dengan wanita itu?" tanya Max. Ia mengeratkan genggaman tangannya. "Jangan bilang kalau dia terlibat dengan semua ini, Ewan. Dia masih membutuhkan bantuanmu jadi dia tidak mungkin menghancurkanmu."

"Aku tahu."

Ewan menarik tangannya, matanya lurus kearah pintu. Ia tersenyum kecil dan berkata kepada Max. "Jangan khawatirkan masalah ini. Toh ini semua hanya berita, lama-lama berita itu akan hilang dengan sendirinya—sama seperti biasanya, Maxie."

-Kantor  pribadi Ewan di salah satu klub di Las Vegas-

°

Lidya duduk diatas lantai hampir selama satu jam terakhir sambil memegang foto ditangannya. Lidya merasa sudah gila, ia bahkan melamunkan dirinya keluar dari ruangan dan mengejar Marshall, meminta maaf dan—Apa? Dan pria itu menerimanya kembali?

Ini bukan di dalam novel drama picisan yang selama ini kau baca, Dee. Ia menarik nafas untuk kesekian kalinya, kemudian bangkit dan berjalan keluar ruangan. Di sana Alfredo berdiri dan tersenyum. "Teh siang anda sudah siap."

"Thanks Al." Lidya memasukkan lembar foto itu kedalam sakunya, "Al..." panggil Lidya.

"Iya, miss?"

"Tolong jangan katakan apapun mengenai aku yang masuk kedalam ruangan ini. Karena Marshall pasti tidak akan menyukainya." Lidya menatap Alfredo pahit dan berusaha tersenyum kecil. "Tidak ada pria yang dengan senang hati mengetahui wanita dari masa lalu-nya, yang jelas-jelas sudah menyakitinya malah mengetahui kelemahan pria itu."

Sebelum Alfredo mengatakan apapun, Lidya berkata, "Aku selalu melihat Marshall sebagai manusia biasa, Al. Dan tidak pernah sekalipun aku menginginkan dia berubah menjadi sosok yang berbeda."

"Tapi Al..." Lidya memaksakan seulas senyum, dan menahan desakan air mata yang hampir keluar dari sudut matanya. "Ada kalanya, kita harus memilih. Untuk bahagia atau menghadapi kenyataan."

"Dan anda memilih..."

"Pilihan yang sudah kuambil lima tahun yang lalu..." bisik Lidya. "...adalah pilihan yang kuambil dengan kesadaran penuh. Ketika aku meninggalkannya tepat dihari pernikahan kami, tepat didepan altar dengan begitu banyak keluarga yang menjadi saksi..." Lidya menatap Alfredo dengan tatapan nanar yang tidak dapat diartikan, "adalah pilihan yang harus kupilih, Al."

Alfredo membungkuk sopan. "Kalau begitu saya mengerti dimana posisi saya seharusnya berada, miss. Maafkan kelancangan saya."

Ketika Lidya berjalan didepan Alfredo, diam-diam Lidya merasa hatinya hancur. Kalau ada pilihan lain... Lidya pasti sudah mengambilnya. Tapi sayangnya tidak ada pilihan lain. Lidya sadar, segala yang sudah terjadi tidak akan pernah bisa diperbaiki. Dan segala yang sudah hilang, tidak bisa lagi kembali.

-Mansion Ewan di Las Vegas (Yang sedang ditinggali Dee & Ewan)-

TBC | 23 Juli 2017
Repost | 04 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top