His Temptress | 34
"Jadi, kau memutuskan untuk meninggalkannya sekarang?" tanya Max. Ketika ia melihat Ewan tidak menjawab, ia berkata, "Kalau begitu lepaskan semuanya. Lepaskan Harletta dan usir wanita itu dari rumahmu, Ewan."
Kepala Ewan terangkat dan kali ini Max bisa melihat gurat luka dimata hijau pria itu. Max tahu kalau Ewan tidak akan melakukan hal itu. Max berdiri dari tempat duduknya, memasukkan tangan kedalam saku dan kembali berkata, "Kau sadar satu hal tidak, Ewan?"
"Apa?" tanya Ewan.
Max tersenyum kecil. "Kau tidak pernah menempati rumahmu lebih dari satu hari, dan kau bahkan tidak pernah membiarkan satu wanitapun masuk kedalam teritori-mu. Apalagi rumahmu yang di Las Vegas. Kau tidak pernah memberikan ijin kepada mereka untuk memasuki rumah itu atau sekadar lewat Ewan."
"Aku membiarkanmu memasuki teritori-ku, Max."
"Kau tahu kalau hal itu tidak sama dengan apa yang sedang kumaksudkan, Ewan." Max menggeleng pelan. "Tanpa kau sadari, kau masih menginginkannya, Ewan."
Aku tahu.
Perlahan Max berjalan menuju pintu, sebelum keluar dari ruangan Ewan, ia kembali berkata sekali lagi untuk menyadarkan Ewan. "Dan kau memberikannya ijin untuk menjelajahi rumah-mu, teritori-mu dan tempat dimana kau mengunci semua perasaanmu, Ewan. If you get my code, kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan."
Setelah kepergian Max, Ewan terdiam. Ia tahu apa yang diinginkan hatinya, tapi masalahnya ia tidak bisa melakukan hal itu. Ewan belum bisa sekali lagi mengambil keputusan sekarang ini. Mungkin Max benar, seharusnya ia tahu apa yang harus dilakukannya. Mungkin Max juga benar saat memberikannya masukkan untuk melepaskan semuanya.
Tapi Ewan tidak bisa melakukannya.
Dan Ewan tidak tahu apa yang merasukinya, tapi yang ia tahu sekarang ia harus kembali. Ke tempatnya semula... satu-satunya tempat yang selalu dirindukannya.
Tanpa memikirkan apapun lagi, Ewan mengambil ponselnya dan berlari keluar dari ruangan kerjanya. Ia bahkan mengabaikan teriakan serta panggilan dari beberapa staff-nya. Yang ingin dilakukan Ewan sekarang adalah kembali.
◦
Satu jam kemudian, Lidya memegang foto yang membawa nostalgia itu dengan erat. Ia keluar dari ruangan dan melihat Alfredo tengah berdiri didepannya. Pria setengah baya itu tersenyum lalu mengulurkan lap hangat kearahnya. "Anda pasti lelah setelah menangis, saya sudah menyiapkan lemon hangat untuk menghangatkan tenggorokan anda."
"Al..." bisik Lidya pelan.
Alfredo mendekat, memberikan lap hangat itu. Tangan besar Alfredo mengelus puncak kepalanya dengan gerakan lembut. "Apa ada sesuatu yang harus saya lakukan?" tanya Alfredo lembut.
"Iya..." bisik Lidya.
Ia mengangkat kepalanya, tangannya menggenggam lap hangat itu dengan erat. Sementara hatinya memutuskan sesuatu. Iya, seharusnya ia memang melakukannya. Kalau memang ini adalah jalan tersulit untuk kembali, Lidya akan tetap melakukannya. "Aku ingin kembali, Al. Aku harus kembali..." bisiknya pelan.
"Tuan pasti sedang dalam perjalanan kembali, atau nanti malam tuan pasti akan—"
Lidya menggeleng cepat, menghentikan ucapan Alfredo. Ia menarik nafas dan mengangkat kepalanya. Tangannya memegang foto tersebut seolah berusaha menguatkan hatinya, "Aku harus kembali, Al."
"Tuan Marshall akan—"
"I will not wait him, Al." Lidya tersenyum dan membalikkan tubuhnya. Ia menghapus air mata dari sudut matanya dan membisikkan ucapan itu untuk dirinya sendiri, terlepas apakah Alfredo akan mendengarnya atau tidak. "karena dia sudah menunggu selama lima tahun..."
Lidya berlari keluar dari ruangan, ia mengenakan sepatunya dengan cepat dan kembali berlari keluar mansion. Iya, kali ini ia tidak akan membiarkan Marshall menunggu lagi, kalau Marshall menolaknya, menghindarinya dan berlari darinya. Lidya tidak boleh merasa sakit hati... kau tahu kalau ini semua akan terjadi bukan?
Apa pilihanmu, Dee? Menyakitinya atau membiarkan kebenaran membuatnya hancur?
Didepan pintu masuk, Lidya mengangkat kepalanya sekilas dan merasakan tanda-tanda hujan. Namun kali ini ia tidak memperdulikannya dan dalam hati ia menjawab pertanyaan Harletta kepadanya. Aku masih ada pilihan kedua, Har. Aku akan berada disampingnya ketika kebenaran itu menghancurkannya.
Kau akan menyakitinya.
Iya, aku akan menyakitinya namun aku tidak akan meninggalkannya. Kalau kenyataan menyakitinya, aku adalah orang terakhir yang akan meninggalkannya. Aku... tidak bisa lagi pergi dari sisinya, Har..
Dengan pemikiran seperti itu, Lidya berlari. Ia mengeluarkan ponsel, menyalakan map. Dengan cepat ia mengetikkan beberapa kata kunci yang mengandung Ewan Wellington. Setelah menemukan salah satu klub terbesar di Las Vegas, yang ternyata tidak jauh dari sini. Ia kembali berlari, Aku harus kembali...
◦
Ewan tahu ini semua akan menyakitinya.
Ia tahu kalau semua ini terasa gila, ia juga tahu kalau rasa kehilangan itu serta rasa takut itu akan terus ada disudut hatinya. Seberapa banyak pun ia mencoba untuk melupakannya, Ewan tidak bisa melakukannya. Bukan karena ia tidak pernah mencoba, Ewan sudah mencoba ribuan kali. Ia sudah sering kali mencari tentang Lidya walaupun ia sedang bersama sahabatnya.
Disaat ia menghabiskan malam-malamnya bersama wanita one night stand-nya. Ia terus mengingat wanita itu. Berapa banyak pun botol rum yang dihabiskannya, wajah wanita itu terus melekat dibenaknya. Berapa banyak pun waktu yang dihabiskannya dengan membeli properti seakan-akan hal itu adalah penting, ia tetap memikirkan wanita itu.
Dan walaupun ia memamerkan kepada para sahabatnya mengenai sesuatu yang dimilikinya. Vila, apartemen, pulau, rumah, pesawat jet serta barang berharga lainnya, tapi Ewan tahu orang pertama yang ingin ia beritahu adalah dia.
Dia, dia dan selalu dia. Itulah masalahnya, Ewan terlalu mencintainya untuk bisa membencinya. Ewan terlalu lemah untuk bisa melihat air matanya. Dan Ewan terlalu mencintai senyum-nya sehingga hal itu menjadi kelemahannya. Aroma wanita itu adalah kelemahan terbesar Ewan dan keberadaan wanita itu adalah apa yang dibutuhkan Ewan selama ini.
Hanya dia dan akan selalu dia...
◦
Hujan mulai turun dan membasahi kemeja yang dikenakan Ewan. Namun ia tidak memperdulikan hujan yang tengah turun. Ketika ia hendak menyebrang, mendadak sebuah porche berhenti didepannya, dan disusul dengan ferrari merah. Ewan menoleh dan menyadari itu adalah mobil Max dan Gabe. Ia mengernyit bingung, sementara Max membuka kaca jendelanya dan tersenyum. "Butuh tumpangan?" tanya Max.
"Kau—"
Sebelum Ewan menyelesaikan kalimatnya, Gabe membuka kaca jendelanya dan tertawa, "Lima tahun kita berteman dan aku tidak pernah melihatmu basah-basahan seperti ini, Ewan."
"Enyah kalian," ucap Ewan namun ia tersenyum kecil.
"Kami selalu ada disampingmu, Ewan," ucap Max yang tengah menatap Ewan dengan tatapan serius. "We're never leave you behind."
"That's why, kau butuh menjadi egois sesekali. Bukan hanya menjahili kami," timpa Gabe. Ia mengeluarkan tangannya dari kaca jendela sehingga lengannya basah karena hujan. "Sesekali berbuat bodoh dengan mempercayai sekali lagi, Ewan."
"Karena kali ini otak cerdasmu tidak dibutuhkan dalam pengambilan keputusan ini, Ewan," lanjut Max.
Sebelum mereka berdua menanyakan sekali lagi apakah Ewan membutuhkan tumpangan, tatapan Ewan terarah keseberang jalan. Ia melihat wanita itu berdiri disana dengan kemeja basah yang melekat ditubuh mungilnya. Wanita itu tengah melihatnya, dan dibalik semua itu Ewan merasa sesuatu merasuk didalam hatinya.
Tanpa mengalihkan pandangannya, Ewan berkata kepada Gabe dan Max, "Aku tidak membutuhkan tumpangan kalian, karena aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan..."
Lalu ia berlari menyebrangi jalan.
Lidya menatap Marshall yang tengah berlari menyebrangi jalanan. Ia mengikuti langkah pria itu dengan berlari menyebrangi jalan. Tepat saat lampu jalanan berubah menjadi merah, Lidya berada tepat didepan Marshall. Tanpa pikir panjang Marshall merengkuh Lidya kedalam pelukannya, dan Lidya pun melakukan hal yang sama. Ia memeluk tubuh Marshall dengan erat.
Sejenak mereka hanya diam tanpa kata, berusaha menyerap kehangatan tubuh satu sama lain dibawah guyuran hujan kota Las Vegas. Tepat ketika lampu merah berubah menjadi kuning, Gabe dan Max saling tersenyum dari balik kursi kemudinya. Tanpa pikir panjang, mereka berdua langsung menancapkan gas mobil, kearah kedua orang yang tengah berpelukan tanpa memikirkan lampu trotoar yang sudah berubah menjadi hijau.
"Aku salah," bisik Lidya. Ia mengurai pelukan mereka, "Aku meninggalkanmu bukan karena tidak mencintaimu, Marshall. Kali ini..." Lidya menarik nafas dan mengerjap-kerjapkan matanya yang terkena hujan. "Kali ini, Marshall..."
"Shhh..." bisik Marshall. Tangannya menghapus jejak air hujan dari wajah Lidya.
Lidya menggeleng. "Kali ini, Marshall... ijinkan aku yang mendobrak masuk kedalam hatimu. Kali ini biarkan aku yang berjuang seperti saat pertama kali kau yang berjuang..."
Kali ini Marshall terdiam, ia melihat betapa Lidya menarik nafas dengan susah. Dan kali ini wanita itu berkata, "Ijinkan aku sekali lagi memperbaiki apa yang salah diantara kita..."
"Aku menginginkan 'kita' lagi, Marshall. Dan kali ini aku tidak akan membiarkanmu berjuang sendiri, kali ini aku yang akan membuatmu mencintaiku, sekali lagi..."
Sekali lagi biarkan aku berjuang...Namun Lidya tidak bisa melanjutkan ucapannya lagi karena saat ini mata hijau Marshall seolah memerangkapnya, merengguk seluruh nafasnya sehingga yang bisa dilakukan Lidya hanyalah terdiam dan menatap sepasang mata hijau itu.
Perlahan Marshall menunduk, tangannya menangkup wajah Lidya dan sesekali mengelusnya lembut. Lalu bibirnya mendarat di atas bibir wanita itu, dengan gerakan lembut ia mulai mengecup Lidya. Ia berbisik kecil, "Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi..."
"Jangan biarkan aku pergi lagi..." bisik Lidya pelan.
Marshall mengecup Lidya dalam satu ciuman yang panjang dan penuh tekanan. Ketika bibir mereka berpisah, Marshall berkata, "Kau tidak pernah benar-benar pergi, Dee..."
Itu benar. Hanya keegoisan dan kekeras kepalaannya saja yang membuat Lidya tidak mengakui hal itu, bahwa sebenarnya ia tidak pernah benar-benar meninggalkan Marshall. Ia tidak pernah benar-benar sepenuhnya membiarkan kenangan manis mereka terhapus begitu saja. Lidya menggangguk, kali ini ia berjinjit dan mencium Marshall. Marshall-nya.
Marshall merengkuh tubuh wanita itu dan membalas ciuman itu. Nafas-nya kembali...
Sementara itu, Gabe menghentikan mobilnya tepat dibelakang Ewan dengan posisi melintang sementara Max menghentikan mobilnya tepat dibelakang Lidya, posisi mobil mereka digunakan untuk menyelamatkan pasangan itu dari kecelakaan yang mungkin terjadi.
Dan suara klakson mobil menggema dibalik guyuran hujan. Gabe dan Max keluar dari mobil dan tertawa. Gabe berjalan kearah Max, menopangkan tangannya di kap mobil Max lalu berkata, "Ini pertama kalinya, Max," bisik Gabe,"Pertama kalinya aku melihat Ewan bahagia."
"Dia tidak pernah benar-benar bahagia dalam lima tahun ini, Gabe," ucap Max.
"Tepatnya, dia tidak pernah benar-benar menjadi dirinya sendiri," bantah Gabe. Ia duduk diatas mobil kap Max dan merebahkan tubuhnya sementara klakson dari mobil lain yang berhenti karena aksi yang dilakukan Max dan Gabe terus menggema namun mereka berdua tidak menghiraukannya. "Sebentar lagi, kita pasti dipanggil oleh pihak polisi."
"Tidak sebanding dengan apa yang kita lihat. Yang mana yang kau pilih, Gabe?" Max tersenyum kearah Gabe, "Surat tilang atau senyum Ewan?"
"Apa kau perlu bertanya, Brother?"
He is more than anything...
TBC | 21 Juli 2017
Repost | 2 April 2020
V.O.M.M.E.N.T?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top