His Temptress | 31

HAI, PASUKAN VOTER, SPAMER, KOMENTATOR-KU YANG AKU DAN BABANG WAWAN SAYANG *POSE-ALA-TITANIC-DIATAS-BURUNG-MERAK* Mohon bantuan kalian lagi. :)

Masih dalam keadaan saling memeluk, Lidya melingkarkan kedua tangannya pada leher Ewan seolah enggan melepaskannya, sementara Ewan membopong wanita itu kembali ke dalam mansion.

Ketika mereka memasuki ruang tengah, ketiga wanita yang merupakan istri sahabatnya tidak ada disana. Bukannya lupa, tapi pikiran Ewan seolah terputus begitu saja. Ia berjalan dan berhenti di perbatasan ruang tengah dengan dapur dan berbisik lembut, "kau mau makan apa?" tanya Ewan lembut.

Lidya menggeleng.

"Tidak lapar?" tanya Ewan

Lidya mengangguk pelan namun tidak melihat kearah pria itu, ia meringkuk lebih erat dan menutupi wajahnya pada lekuk leher Ewan. Dan Lidya mendengar Ewan berkata lembut kepadanya lagi, "Jadi, kau mau makan apa? Aku bisa membuatkannya untukmu."

Lidya menggeleng.

"Tidak mau makan," bisik Lidya pelan. Ia lapar karena belum menelan makanan apapun sejak kemarin sore, tapi ia tidak mau makan. Lidya tidak mau melepaskan pelukannya pada Ewan, entah kenapa ia tidak mau melakukannya sekarang. "Begini saja sudah cukup..."

"Memelukku sudah membuatmu kenyang?" tanya Ewan. Ia menatap puncak kepala Lidya yang mengangguk dan kemudian dengan mudahnya ia terkekeh. "Aku memang nikmat, setara dengan Coq Au Vin yang membuat wanita ingin menikmatinya lagi dan lagi diberbagai kesempatan. Tapi kau tetap harus makan, Dee."

"Tidak mau..." bisik Lidya lagi.

Kali ini Ewan menurunkan tubuh Lidya ke lantai, tangannya perlahan memaksa dagu wanita itu untuk menatapnya. Sambil terkekeh Ewan menunduk dan menggigit puncak hidungnya hingga membuat Lidya mengernyit. "...kenapa kau menggigitku?"

"Crybaby, kau mau makan apa?"

"Aku bukan Crybaby!"

Ewan mengangkat alisnya tinggi-tinggi dan mengejek wanita itu seperti yang selalu dilakukannya dulu. "Kau menangis, sesegukan dan ingus-mu bertebaran dimana-mana." Ketika Lidya mengernyit, Ewan menunjuk kearah kemejanya yang basah. "Lihat, kemejaku sampai basah karena ingus dari Crybaby."

"Aku bukan Crybaby dan itu bukan ingus, Marshall!" gerutu Lidya, tangannya berusaha menghapus jejak basah yang ada di kemeja Ewan dengan cemberut. "Ini bukan ingus, ini air mata!" bisiknya pelan seolah-olah membela dirinya sendiri.

Tidak melewati kesempatan kecil itu, Ewan mengecup pipi Lidya. Wanita itu langsung mendongak dan menghentikan pekerjaannya menghapus jejak air mata dikemeja Ewan. Sejenak mereka bertatapan, dan kali ini Lidya bisa melihat mata hijau Marshall telah kembali. Mata hijau yang mengingatkannya pada pemandangan hijau yang mampu membuatnya tersesat. Dan ketika pria itu tersenyum...

Lidya memeluk Ewan kembali dan berbisik pelan, "Aku mau Potato Gratin..." Ia mendongak tanpa melepaskan pelukannya, lalu kembali berkata, "Mungkin Alfredo dan koki-mu bisa membuatkannya untuk kita?"

"Tidak. Mereka tidak akan membuatnya."

Lidya mengangguk mengerti. "Kalau begitu tidak perlu, aku akan menunggu sampai sarapan besok pagi saja."

"Mereka tidak akan membuatkan sarapan pagi, Dee."

"Kenapa?" tanya Lidya bingung. "Bukankah biasanya kau selalu sarapan pagi? Dan... bagaimana dengan kopi pagimu?"

"Aku sudah tidak lagi melakukan ritual pagiku selama lima tahun ini," jawab Ewan sambil tersenyum kecil. Ia menggenggam tangan Dee dan menuntunnya masuk kedalam dapur. Di dalam dapur, Ewan menarik sebuah kursi di depan Kitchen Island yang besar dan mempersilahkan Lidya untuk duduk.

Ketika wanita itu tidak mengerti, Ewan mengangkat tubuh wanita itu dan mendudukkannya diatas kursi tersebut. "Apa yang kau lakukan Marshall? Aku kira kita akan melewatkan makan malam?"

"Aku bilang Alfredo dan staff rumahku tidak akan membuatkan Potato Gratin untuk kita," ucap Ewan santai, ia membuka lemari es yang sangat besar dan berisi macam-macam masakan.

"Iya, aku mendengarnya dengan sangat jelas. Makanya-"

"Makanya, aku yang akan membuatkan Potato Gratin untukmu," lanjut Ewan memotong ucapan Lidya. Ketika Ewan mengeluarkan bahan makanan yang diperlukannya untuk membuat Potato Gratin, ia melihat wajah terkejut Lidya dan tersenyum jail. Ewan berjalan kearah wanita itu, meraih tengkuknya dan mengecup bibirnya singkat. "Jasaku sangat mahal..."

"Aku bisa membuatnya sendiri..." bisik Lidya disela-sela ciuman mereka.

"Tapi buatanku selalu lebih enak dibanding buatanmu," jawab Ewan. Ia tersenyum disela-sela kecupan kecil yang dilakukannya. Ketika ia menyudahi kecupan itu, ia tersenyum jail. "Lagipula memangnya kau ingat apa saja bahan yang diperlukan untuk membuat Potato Gratin? Kau bahkan tidak bisa membedakan bawang putih dengan bawang Bombay, Dee."

Lidya memukul lengan atas Ewan dan mengernyit kesal. "Aku bisa membedakan yang mana bawang putih dan Bombay! Aku hanya..." Lidya mendengus dan membuang mukanya kearah lain, "...hanya saja apa bedanya mereka? Toh, mereka sama-sama bawang yang sama-sama dipotong untuk makanan."

Ewan terkekeh dan puas dengan jawaban wanita itu. Ia mengacak-acak rambut Lidya dan berkata, "Duduk manis disini sampai aku selesai membuatkan Potato Gratin kesukaanmu itu."

"Aku bisa membantu. Aku bisa mengupas bawang, atau aku bisa membantumu mengupas kentang."

"Tidak, terima kasih."

"Marshall-"

"Terakhir kali kau membantuku, kau membuat kentang dengan lumuran darah. Dan terakhir kali kau membantuku mengupas bawang, kau bahkan tidak bisa membedakan yang mana bawang putih dan Bombay. Karena kau berpikir Bombay akan lebih wangi, kau memasukkan Bombay lebih banyak dibandingkan bawang putih." Ewan tertawa keras sambil memegangi perutnya. "Membantuku? Tidak, terima kasih. Kau sudah cukup membantuku dengan duduk tenang dikursi, Crybaby."

Wanita mana yang tidak tersinggung yang diejek sedemikian rupa. Tentu saja, Lidya kesal tapi ia juga harus menyadari kalau ucapan Ewan benar. Ia tidak bisa memasak, selama ini Lidya selalu memakan masakan rumah sakit karena Harletta tidak bisa memakannya, jadi ia lah yang menghabiskan makanan Harletta.

Puji Syukur, hal itu membuatnya tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan. Ia juga tidak perlu memasak karena itu adalah hal yang sangat mengerikan untuk dilakukan. Tanpa sadar, Lidya menopangkan kedua tangannya diatas meja dan tersenyum.

Ewan tidak suka memasak, pria itu tidak mau melakukan hal yang menyebalkan dan membuang-buang waktu seperti itu. Tapi dulu, ketika Lidya mengatakan ia sangat suka Potato Gratin buatan pria itu, Marshall selalu membuatkannya. Pria itu selalu memasakan makanan yang membuang waktunya itu tanpa mengeluh.

Tapi pria itu tidak tahu alasan yang sebenarnya.

Lidya sangat suka melihat pria itu memasak dan bergerak aktif di dapur. Apalagi ketika punggung tegap pria itu terlihat, dan bagaimana pinggul pria itu bergerak... Lidya tidak bisa membayangkan lagi hal yang lebih seksi dibanding melihat Marshall memasak.

Diam-diam ia menelan kepuasan yang sangat besar ketika melihat pria itu mulai mengupas kentang dengan lihai. Apakah mereka sudah kembali seperti semula? Apakah... ia sudah membuat keputusan yang benar dengan kembali pada Marshall? Pemikirannya itu membuat Lidya turun dari tempat duduknya, dan berjalan kearah Marshall.

Ketika pria itu memasukkan kentang kedalam air, Lidya memeluknya dari belakang. Seketika, Ewan menghentikan gerakannya. Ia mencuci tangannya, mengelapnya hingga kering dan membalikkan tubuhnya.

Pinggulnya bersandar pada counter, tangannya dilingkarkan pada pinggul Lidya dan menarik wanita itu mendekat kearahnya. Dengan lembut ia berkata, "Ada apa?"

Lidya menggeleng. Ia menunduk dan seketika merasa bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Inilah yang terjadi ketika emosimu mengambil alih akal sehatmu, sekarang Lidya tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia tidak tahu apakah harus kembali berpura-pura menjadi dingin, ataukah menjadi dirinya yang sebenarnya.

Seakan tahu dengan pemikiran wanita itu, Ewan mengangkat dagu Lidya dan dengan tegas berkata. "Jangan sekali-sekali memikirkan hal itu, Dee. Karena kali ini aku tidak akan mengijinkannya."

Lidya menatap Ewan, diam-diam merasa takut dengan semua perasaan ini.

"Aku tidak akan menanyakan pilihan yang diberikan kepadamu. Dan aku tidak akan menanyakan kejelasan hubungan kita." Ewan memeluk Lidya, mengecup puncak kepala wanita itu ringan, lalu berbisik pelan, "Aku hanya ingin seperti ini. Tanpa batasan. Tanpa kata-kata. Hanya kau dan aku, tidak ada masa lalu, Dee."

Lidya tidak menjawab, ia menarik nafas dalam-dalam dan menghirup aroma memabukkan dari tubuh Ewan.

"Kalau kau memintaku untuk meninggalkan Las Vegas sekarang juga, aku bisa mengabulkannya. Kau bisa meminta apapun padaku, tapi bukan dengan membiarkanmu bertahan pada pilihan yang pernah kau ambil," lanjut Ewan. Ia melepaskan pelukannya dan mengecup kening Lidya. "Potato Gratin?" tanya Ewan sambil tersenyum.

Lidya mengangguk.

Ewan mengangkat tubuh wanita itu dan mendudukkannya diatas counter, disebelah bahan makanan untuk membuat Potato Gratin. Ia berdiri dihadapan Lidya, tangannya memberi kode kepada Lidya untuk mendekat. Ewan tersenyum sambil menutup mata dan menujuk kearah bibirnya yang masih menyunggingkan senyum, "Kiss for Potato Gratin?"

Lidya tertawa, memukul lengan pria itu. Namun ia tetap melakukannya. Kepalanya diarahkan ke Ewan yang masih menutup mata. Perlahan ia mendaratkan ciuman di kening Ewan, lalu mata Ewan terbuka dan bertanya, "Di pipi?"

"For Potato Gratin," balas Lidya.

"Kau yakin?" tanya Ewan dengan senyum usilnya. Alisnya terangkat tinggi, dan Ewan menunjuk kearah bibirnya sekali lagi. "Kiss for Potato Gratin, Dee. Kiss yang benar, atau yang kau dapatkan adalah Skin Potato Gratin."

"Tidak ada menu makanan Skin Potato Gratin, Marshall."

"Aku bisa membuatnya."Jemari Ewan masih memberikan kode kepada Lidya untuk mengulang ciuman tersebut. "Aram bisa membuatnya, aku bisa memberikannya ide mengenai Skin Potato Gratin dan aku yakin dia akan dengan senang hati membuat pabrik baru khusus untuk ide ini. Kiss, Hem?"

"Jangan bercanda. Aku tidak akan menciummu didapur. Bagaimana kalau Alfredo melihat-"

"Dia pernah melihatku dalam keadaan naked dan tidak ada perasaan nafsu diantara kami, Dee." Jemari Ewan memberi kode lagi kearah Lidya dan ia berkata,"Sudah, jangan banyak alasan. Just kiss me already, Crybaby."

Kali ini Lidya benar-benar melakukannya. Mencium Marshall tepat di bibir, dengan tubuhnya masih duduk diatas counter, sementara pria itu berdiri dihadapannya dengan mata tertutup. Seharusnya ini memalukan, namun Lidya malah mengalungkan lenganya dan memperdalam ciuman mereka. Ia harusnya Cuma melakukan sekali, tapi ia melakukannya sebanyak tiga kali dan kecupan kecil di bibir Marshall sebanyak dua kali.

"Five Kiss for my Potato Gratin?" bisik Lidya disela-sela kecupan kecilnya.

Ewan masih menutup mata, namun bibirnya tersenyum. Sejenak ia meresap rasa Lidya dan betapa ia merindukan rasa itu. Lima tahun bukanlah waktu sebentar untuknya, bagi Ewan keberadaan wanita itu adalah sentuhan yang sangat sempurna untuk hari-harinya. La dernière touche qui a rendu sa vie parfait. The last touch that made his life perfect.

Kemudian Ewan memberikan jarak diantara mereka, ia menunduk bak pelayan yang sangat patuh terhadap atasannya, seorang butler yang sempurna. Ia menjawab, "Je vis pour vous server, Mademoiselle."

"Deal is deal, Marshall. I want my Potato Gratin."

"D'accord, Mademoiselle. A perfect Potato Gratin will served for you."

TBC | 16 Juli 2017
Repost | 30 Maret 2020

V.O.M.M.E.N.T?

P.s.s.s : Aku nggak bisa jabarinnya nih. Kalau kurang paham gimana posisi mereka di dapur, nih aku kasih mulmednya. Kurang lebih posisi mereka kayak gini... Uda ngerti kan? Jangan dibayangin ya? *nangis naik rajawali*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top