His Temptress | 30

Para Voter dan komentator serta para spamer-ku. Kambek sini. Happy baper :)

"Jadi, sekarang bagaimana kita membuat Ewan melunak?" tanya Ana dengan pertanyaan logisnya. Ia mengendikkan bahu dan terkekeh, "Ewan dan Banteng memiliki persamaan. Itulah bagian tersulit bagi kita sekarang, bisakah kita membuat para lelaki yang mengerjakan tugasnya?"

"Ana, alasan Gabe menyuruhmu untuk ikut andil dalam rencana ini adalah karena ia tahu bahwa hal ini tidak mudah untuk dilakukan," tegur Zia. Ia tersenyum. "Begitu pula dengan Max. Kita adalah solusi dari rencana Gabe. Suamimu harus membayar kami dengan sangat mahal."

"Lakukan saja yang kalian suka dan aku tidak akan mengeluh," jelas Ana sambil tertawa.

Saat mereka masih membicarakan mengenai apa yang akan mereka lakukan, mendadak mereka bertiga mendengar teriakan dan juga suara langkah kaki yang terdengar nyaring. Ketika pintu ruang tengah terbuka dengan kasar, mereka melihat Ewan dengan rambutnya yang berantakan, mata pria itu tidak fokus dan kemeja yang dikenakan Ewan terlihat berantakan.

Sementara itu Ewan menoleh kekiri dan kekanan seraya berjalan mendekat kearah mereka. Penglihatannya masih belum fokus dan ia terlihat kacau serta bingung. "Ana? Zia?" tatapannya terarah kepada Nathalie dan ia mengernyit, "Nathalie? Apa yang kau lakukan disini?"

"Aram belum memberitahu kalau kami datang?" tanya Nathalie. Ia beranjak mendekati Ewan dan mengusap puncak kepala pria itu dengan sayang, "Kau terlihat kacau, Ewan..."

Ewan mengusap matanya dengan punggung tangan, ia mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali untuk memfokuskan penglihatannya namun gagal. Perlahan, Nathalie menepuk kepala Ewan sekali lagi dan berkata, "Dia ada di belakang, atau mungkin ada di kamarnya."

Ewan berhenti mengusap matanya. Kali ini ia menatap Nathalie dengan tatapan nanar. "She loves you, Ewan-until now."

"She didn't ever mention it, Nath." Ewan menelan saliva-nya, matanya berubah menjadi tajam. "Dia tidak pernah sekalipun mengatakan hal itu, Nath... tidak sekalipun."

"Dia hanya butuh waktu..."

"Time for what?" tanya Ewan bingung. Ia mengacak-acak rambutnya dengan gelisah. "Time for what, Nath? Dia tidak membutuhkan waktu untuk menerimaku. Dia tidak perlu-"

"Bukan kau yang ditakutkannya, Ewan. Aku sudah mendengarnya dari Gabe." Nathalie mengusap lengan Ewan dengan gerakan lembut secara berulang. "Dan aku setuju dengan ucapan Gabe. Kalau dia meninggalkanmu, buat dia tidak bisa lagi meninggalkanmu."

Ana maju dan menepuk pundak Ewan, "Kalau dia bilang tidak menginginkanmu, buat dia menarik kembali kata-katanya. Bukankah kau sendiri yang bilang kepada kami Ewan? Untuk memberikan kesempatan kepada dirimu sendiri."

"Kesempatan sekali dalam seumur hidup," lanjut Zia setuju. "Dia mencintaimu dan aku berani menyakinkanmu mengenai hal itu, Ewan."

"Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan meninggalkanku. Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan mengatakan hal yang menyakitkan. Kalau dia-" Ewan tidak melanjutkan ucapannya. Ia mengepalkan kedua tangannya dan mendadak merasa ada sesuatu yang aneh dengan dadanya. "Sekarang, aku tidak lagi menginginkannya," ucapnya tegas.

Nathalie menggenggam tangan Ewan dengan erat seolah memberikan tenaga kepada pria itu. Lucu karena Nathalie bertubuh lebih kecil dari Ewan dan pria itu tidak terlihat seolah-olah memerlukan tenaga. Namun Nathalie tetap melakukannya, "Kiss her and make your choice, Ewan Wellington."

Awalnya Ewan merasa bodoh dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Nathalie karena ia tidak mengerti. Ewan merasa mendadak dirinya berubah menjadi idiot. Namun ketika Nathalie mendorong tubuhnya pelan kearah pintu, ia menoleh kearah wanita itu sejenak. "Kali ini kau yang harus membuat keputusan untuk dirimu sendiri, Ewan."

Dan seolah tersihir, Ewan berlari menuju pintu. Ia tetap berlari mengitari taman dibelakang mansionnnya. Tanaman hijau disana memang sengaja dibuat untuk menyesatkan seseorang, agar tidak ada orang jahat yang berusaha masuk kedalam kediamannya. Ewan menyukai ketenangan, walaupun ia tidak benar-benar menikmati waktunya di rumah ini.

Tadinya, Ewan membeli rumah ini karena menginginkannya. Karena rumah ini tampak sempurna, tapi Ewan merasakan hal yang berbeda dari rumah ini. Ewan tidak merasakan apapun ketika masuk kedalam rumah ini. Tidak ada kehangatan. Tidak ada rasa sentimental. Tidak ada dia.

Ewan tidak tahu dimana Dee sekarang, mungkin wanita itu sudah pergi, mungkin melarikan diri. Saat Ewan terbangun dari tidurnya dan mendapati wanita itu sudah tidak ada disampingnya, sebagian dirinya menjadi panik dan ada banyak kemungkinan yang dipikirkan Ewan dan ia membenci hal itu.

Ketika Ewan melangkahkan kakinya ke salah satu tanaman pagar yang begitu tinggi, sebuah taman yang dibuat sengaja melingkar dengan beberapa bunga menghiasi tanaman hijau itu, ia mendengar suara tangisan. Dengan cepat ia melangkah masuk kedalam maze tanaman itu dan berhenti disalah satu bilik tanaman.

Di sanalah ia menemukan Dee.

Wanita itu meringkuk di pojok bilik, memeluk kakinya dan membiarkan kepalanya terbenam diatas pangkuannya seolah menahan agar isak tangisnya tidak terdengar. Perlahan Ewan melangkahkan kaki dan berhenti di belakang wanita itu. Tangannya terulur dan mengusap rambut pirang itu dengan halus, untuk sejenak Ewan bisa mendengar hentakan nafas wanita itu yang terasa kasar ditelinganya.

Ewan berlutut di belakang Lidya dan bertanya, "Dasar Crybaby. Sekarang apa lagi yang membuatmu menangis?"

°

Crybaby...

Ketika Lidya mendengar panggilan itu, ia langsung menghentikan tangisannya. Lidya mendongak dan memutar tubuhnya. Tatapannya terpaku pada mata hijau dihadapannya, mata hijau yang begitu disukainya, mata hijau yang terlihat begitu meneduhkan. Mata hijau yang... Air mata Lidya mengalir lagi sementara bibirnya berucap, "...Marshall..."

"Hem?"

"...Marshall..."

"Hem?"

Lidya terisak perih dan kembali memanggil nama tersebut, "...Marshall... Marshall..." bisiknya berulang kali sambil menutup mata. Ia terus terisak dan kembali berkata, "Marshall...Air mataku... tidak mau berhenti..."

Ia berharap ini semua mimpi, karena hanya didalam mimpi saja Lidya bisa melihat Marshall kembali mencintainya. Dan hanya di dalam mimpi saja ia bisa mengatakan apa yang ingin diucapkannya, dan hanya di dalam mimpi saja... Marshall tidak akan memperlihatkan punggungnya.

"Aku berusaha tidak menangis karena kau bilang tidak suka melihat air mataku. Karena aku memiliki status yang sama dengan wanita yang lain tapi aku tidak boleh menangis..." isak Lidya, "...tapi air mata ini tidak mau berhenti... aku sudah berusaha..."

Ewan tidak bergerak dari tempatnya berlutut. Ia ingin mendengar Lidya mengucapkan perasaannya lebih banyak lagi. "Aku selalu berusaha... aku berusaha, Marshall... aku berusaha dan aku jatuh karena usahaku itu."

Ewan melihat Lidya menangis dan terisak dengan menyedihkan. Seingatnya, Lidya tidak pernah menangis. Setelah wanita itu meninggalkannya, Lidya tidak pernah menangis dihadapannya. Wanita itu... seberapa banyak air mata yang ditahannya? Pikiran itu membuat Ewan merasa sedih, ia merasa sangat gagal.

"Marshall..." bisik Lidya sekali lagi. Ketika ia membuka matanya, Lidya berkata pelan dan lirih, "...Aku jatuh Marshall... aku sakit..." Ia menutup matanya dan terisak lagi, sesekali ia menarik nafas hanya untuk mencoba bernafas normal. Akhirnya dengan suara sesengukan Lidya berbisik, "...jangan benar-benar mengabaikanku..."

Kali ini Ewan menghembuskan nafas lelah. Ia tahu sudah berlaku kasar pada Lidya selama beberapa hari ini hanya untuk mengungkapkan rasa kecewanya. Ia tahu sudah menyakiti wanita itu. Ewan membiarkan jarinya terulur untuk menghapus air mata Lidya, ia mengusap air mata yang terus mengalir itu dan mengecup kedua mata yang tertutup itu seolah mengatakan untuk berhenti menangis.

Ketika Lidya membuka mata, ia masih merasa kabur akibat air mata.

Namun ketika ia melihat Ewan merentangkan tangan dihadapannya, ia tidak berpikir dua kali. Kali ini ia tidak lagi berpikir, ia tidak ingin membiarkan akal sehatnya mengambil alih. Lidya langsung bergerak maju dan masuk kedalam pelukan pria itu, kemudian ia menangis lagi dan lagi. Benar-benar berharap kalau semua ini hanya mimpi, karena kalau kenyataan, Marshall akan marah padanya. Marshall akan mengatakan hal yang menyakitkan lagi.

Iya bukan?

Lidya memberikan sedikit jarak. Ia mendongakkan wajahnya dan melihat Ewan masih mengelus kepalanya. Lalu pria itu kembali menariknya kedalam pelukan pria itu kembali, sesekali mengusap tengkuknya dan meletakkan dagu pria itu diatas kepalanya.

Tidak lama kemudian, Lidya bisa mendengar bisikan Marshall-nya yang biasa. "Apa yang harus kulakukan agar kau berhenti menangis, Dee?"

"...Air mataku..." bisik Lidya pelan.

"Segalanya akan baik-baik saja," bisik Ewan mengecup puncak kepala Lidya lembut dan kembali berkata, "Kita akan baik-baik saja, Dee. Stop crying, parce que si tu pleures, pas seulement vous qui ressent la douleur. Je me sens aussi la douleur, Dee."

Karena kalau kau menangis, bukan hanya kau yang merasakan sakit, aku juga merasakannya, Dee.

Lidya mempererat pelukannya, ia beringsut lebih dekat, seakan-akan tidak ingin kehilangan Ewan-Marshall-nya. "Je ne voulais pas vraiment te faire du mal, Marshall." Lidya mencengkram kerah kemeja Marshall, menutup matanya dan kembali berkata, "si j'avais le choix, je choisirais toutes les possibilities, aussi longtemps cela ne vous fait pas mal."

Aku tidak benar-benar ingin menyakitimu, Marshall. Kalau aku memiliki pilihan lain, aku akan memilih semua kemungkinan yang ada, asalkan tidak menyakitimu.

Sejenak mereka hanya berpelukan dan saling menghirup aroma satu sama lain. Hingga akhirnya Ewan melepaskan pelukan mereka. Ewan mendorong tubuh Lidya hingga punggung wanita itu bersandar pada tanaman dibelakangnya, ia memiringkan kepalanya dan mencium Lidya.

Satu-satunya ciuman manis setelah lima tahun, dan satu-satunya ciuman yang terjadi bukan untuk menyakiti melainkan untuk mengobati. Satu-satunya ciuman yang mereka butuhkan, bukan hanya karena gairah, tapi karena saling membutuhkan. Leur premier baiser. Ciuman pertama mereka.

Ewan membelai bibir Lidya dengan bibirnya, mengusap dan kembali membelainya. Ia merasakan apa yang diberikan oleh Lidya kepadanya dan ia tahu... bahwa firasatnya benar. Firasat yang ada dibawah alam sadarnya dan firasat yang selama ini ditekannya. Ketika bibir mereka berpisah, Ewan menutup matanya seraya menghirup nafas Lidya dan dengan pelan seolah berbisik ia berkata, "je connais."

I know...

TBC | 15 Juli 2017
Repost | 29 Maret 2020

V.O.M.M.E.N.T?

2.5k vote and 1.5 k comment? easy for you geenggss. Iya kan? :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top