His Temptress | 29

Di ruang tengah, Lidya tidak mengucapkan sepatah katapun sementara dua wanita yang akhirnya diketahuinya sebagai Anastasia dan Nathalie berada tepat dihadapannya bersama Zia. Lidya tidak tahu apa yang hendak dibicarakan oleh mereka, sementara itu jantungnya berdetak seperti orang gila.

Bahkan ketika Alfredo telah menyiapkan teh untuk mereka pun, tidak ada satupun diantara mereka yang memulai pembicaraan.

"Jadi, siapa kau?" tanya Nathalie membuka pembicaraan, tangannya bersidekap dan ia tersenyum manis. "Siapa kau bagi Marshall?"

Lidya tidak menjawab. Mendadak ia merasa lumpuh, bibirnya terasa kelu. Bukan karena pertanyaan siapa dirinya, tapi karena panggilan sayang yang dilontarkan oleh Nathalie untuk Marshall. Dengan pemikiran seperti itu, Lidya mengetatkan genggamannya pada pangkuannya dan tanpa sadar, ia meremas ujung gaunnya.

"Aku..." Lidya menelan rasa pahit ketika melanjutkan ucapannya,"...hanya mantan kekasihnya."

"Oh, jadi sekarang kau bukan siapa-siapa bagi Marshall, begitu maksudmu?"

Nathalie mengucapkannya dengan nada riang, tapi bagi Lidya ucapan itu benar-benar menyakitinya. Ucapan itu seolah menamparnya kembali kedunia nyata, bahwa ia memang bukan siapa-siapa bagi Marshall. Dengan cepat Nathalie melanjutkan ucapannya lagi, "That's good. Karena kalau kau memiliki hubungan khusus dengannya, aku pasti akan patah hati."

"Nath!" tegur Zia.

"Kenapa?" tanya Nathalie dengan nada polos, "Kami memang memiliki hubungan, Zia. Aku pernah berciuman dengannya dan kami juga memang memiliki hubungan khusus." Nathalie menatap Lidya dengan sengaja dan berkata, "Bagi Marshall, aku adalah sesuatu baginya. Begitupun denganku, bagiku keberadaan Marshall sangat penting."

Ketika Lidya tidak mengucapkan apapun, Nathalie bangkit dan berjalan mendekati Lidya yang masih duduk tegak dengan tatapan terarah kepadanya tapi Nathalie tahu kalau wanita itu tidak benar-benar menatapnya. Ia berdiri tepat dibelakang Lidya, menundukkan kepala dan dengan sengaja berkata, "Aku tahu dia hanya main-main denganmu, jadi tolong puaskan dia seperti yang diinginkannya."

"Dia... bukan pria yang seperti itu..." bisik Lidya pelan.

"Iya, tapi Marshall yang kau kenal adalah Marshall yang begitu setia menunggumu. Marshall yang kau maksud mungkin adalah pria yang pernah mencintai seseorang dengan bodoh," jelas Nathalie. Ia tersenyum dan bertanya, "Jadi, Marshall mana yang sedang kita bicarakan? Marshall-mu atau Marshall-ku?"

"Nath, kau sudah keterlaluan," tegur Ana yang duduk disamping Zia.

Zia menatap temannya dan menghela nafas lega, "Cobalah untuk membuat Nathalie berlaku dengan agak logis, Ana. Nampaknya dia sudah—"

"Bukan hanya Marshall-mu, kita sudah sepakat bukan?" Ana bangkit dengan mata menyipit dan mendengus keras-keras, "Itu juga Marshall-ku. Marshall kita. Lupa?"

"Fine, itu adalah Marshall kita. Tapi tetap saja Marshall akan lebih memilih aku Ana dan kita semua tahu itu," jelas Nathalie sambil tersenyum lebar. "Karena kami saling mengerti satu sama lain." Nathalie sengaja mengeraskan ucapannya agar Lidya mendengarnya, "Dan ketika bibir kami bersentuhan, kami tahu kalau kami saling membutuhkan..."

"Stop it, both of you! Apa kalian semua sudah kehilangan akal?!" Tanya Zia bingung melihat kelakuan kedua temannya. "Lidya itu—"

Tanpa menghiraukan ucapan Zia, dan tanpa sadar, Lidya bangkit. Ia merasa seseorang tengah menguji kesabarannya. Ia merasa sepertinya seseorang tengah memaksanya sampai diambang batas kesabarannya. Lidya menarik nafas yang terasa menyakitkan, ia berusaha untuk tersenyum seperti biasa.

Lidya tahu kalau apa yang diucapkan oleh Nathalie bukan bohong belaka. Ia tahu kalau dimata wanita itu tersimpan rasa cinta yang mungkin hampir besar seperti yang dirasakannya. Dan ia seharusnya duduk diam dan bereaksi seolah tidak peduli, ia harusnya melakukannya seperti lima tahun yang lalu ketika ayahnya mengarahkan senjata kepadanya dan ia tidak peduli.

Ia seharusnya—

Tapi alih-alih melakukan hal itu, Lidya malah membalikkan tubuh kepada Nathalie dan tanpa sadar berkata dengan suara tegas, "Dia bukan Marshall kalian! Berhentilah meng-klaim dirinya!"Air mata Lidya tumpah dan berteriak sekali lagi, "Dia..."

Nathalie mengangkat alisnya dan bertanya, "Dia?"

"Dia..." Lidya tidak bisa melanjutkan ucapannya sama sekali. Dia hanya Marshall-ku. Saat itu Lidya tahu kalau ia harus pergi dari tempat itu, tanpa menunggu lebih lama, Lidya memutar tubuhnya dan berlari keluar. Kemanapun. Ia ingin pergi kemanapun selain menetap disisi mereka. Karena semua ini menyakitkan... sangat menyakitkan.

"Aku tidak mengerti kenapa kau bertindak seperti itu, Nath!" tegur Zia ketika Lidya sudah tidak ada lagi di tempat itu. "Kita kesini bukan untuk membuat segalanya menjadi lebih runyam. Kita datang untuk—"

"Membantu Ewan," lanjut Nathalie.

"Iya. Dan apapun yang baru saja kau lakukan, itu tidak membantu Ewan." Zia mengernyit, "Dan apa-apaan dengan panggilan Marshall? Aku bahkan tidak pernah mendengarmu memanggil Ewan seperti itu."

"Memang tidak."

Zia mengernyit tidak mengerti, Ia menghela nafas panjang. "Demi Tuhan, semuanya akan menjadi lebih rumit dari sebelumnya Nath. Kau sudah membuat Dee salah paham, dia pasti berpikir kalau kau adalah kekasih Ewan dan kau sedang menegaskan kalau dia bukanlah siapa-siapa dalam hidup Ewan."

"Aku memang berusaha membuat dia salah paham, Zia."

Tawa Ana meledak dan ia memegangi perutnya, "Oh Tuhan, aku sungguh bersyukur tidak ada Aram disini. Karena kalau pria itu ada disini, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh pria itu. Dan tadi apa yang kukatakan? Marshall-ku?" Tampang Ana memucat dan ia melihat kesekeliling ruangan, "Gabe tidak akan mendengarnya, bukan?"

"Kau baru memikirkan hal itu sekarang, Ana?" tanya Zia takjub.

"Aku hanya iseng karena akting Nath sangat hebat. Tapi aku tidak akan ikut-ikutan kalau sampai diruangan ini ada kamera pengintai dan CCTV itu sampai ditangan...suamiku," bisik Ana. Ia memeluk tubuhnya sambil menelan saliva-nya. "Kalau sampai Gabe tahu, aku bisa habis ditangannya."

Zia memutar bola matanya, tangannya mengibas kesembarangan arah dan kini tatapannya terarah kepada Nathalie yang duduk dengan santai disofa yang tadinya diduduki oleh Lidya. "Jelaskan apa maksudmu, Nath? Kita sudah sepakat untuk membantu Ewan, karena itulah aku menceritakannya kepadamu. Dan sekarang apa yang kau pikirkan?!"

"Aku membantu wanita itu untuk bersikap lebih dewasa, aku membantu wanita itu untuk tahu dimana posisinya." Nathalie bangkit. "Dia bukan siapa-siapa, kalau dia mau menjadi lebih, maka yang harus dilakukannya adalah berusaha, Zia."

"Tapi bukan seperti ini caranya, Nath..."

"Inilah caranya," tegas Nathalie. "Aku tidak tahu apa yang terjadi dimasa lalu mereka, tapi aku bisa melihat kalau wanita itu masih mencintai Ewan. Aku bisa merasakannya, Zia. Dan kalau kau berpikir untuk meminta Ewan untuk mengejarnya kembali, aku tidak setuju. Aku tidak akan pernah setuju membantumu untuk menyuruh Ewan merendahkan harga dirinya sekali."

"Mereka saling mencintai dan kalau tidak ada salah satu dari mereka yang mengalah, tidak akan ada masa depan bagi mereka dan kau pasti tahu hal itu, Nath," jelas Zia pelan.

Nathalie mengangguk.

"Mungkin kau benar, tapi mungkin kau juga salah, Zia. Kau hanya terlalu baik, kau hanya ingin mereka kembali bersama dan tidak lagi menyakiti satu sama lain. Aku mengerti," ucap Zia. "Tapi Lidya adalah satu-satunya wanita yang harus menghilangkan keras kepalanya. Dia adalah satu-satunya orang yang sudah menyakiti Ewan dan hanya dia-lah satu-satunya yang bisa mengembalikan Ewan seperti dulu."

"Nath..."

"He's a good man, Zia. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya dan kalau sampai ada yang melakukannya, aku akan berada dibarisan terdepan untuk menjaganya." Nathalie menatap Zia dengan senyum manis. "Ketika aku merasa hatiku hancur, Ewan mampu menerangi hatiku. Dia mengambil retakan hatiku dan mengembalikannya kepadaku, Zia. Dan ketika aku merasa segalanya telah usai, Ewan selalu mampu membuatku merasa lebih baik. Dia membuatku selalu merasa bahwa aku masih memiliki harapan."

Perlahan Zia mendekati Nathalie, begitupun dengan Ana. Kemudian mereka berpelukan, dan Nathalie tersenyum, "Bagiku, Ewan adalah pria terpenting dalam hidupku selain suamiku sendiri. Dia..."

"...adalah sebuah penerang berjalan," ucap Zia, Ana dan Nathalie bersamaan.

Dan hal itu membuat mereka tersenyum lebar. Nathalie mengusap lengan Zia dan berkata, "Kita akan membuat mereka kembali, Zia. Jangan khawatir. Selama cinta mereka masih ada... mereka selalu memiliki kesempatan untuk memperbaiki apa yang salah..."

Tapi itu adalah hal tersulitnya, karena bahkan yang bisa mereka lakukan hanyalah menyakiti diri sendiri, lagi dan lagi. Dan Nathalie tahu bahwa segalanya tidak akan sesuai dengan apa yang diinginkannya.

"For our Ewan..." bisik Nathalie kepada kedua temannya.

Zia tertawa dan membalas, "Our idiot and hopeless romantic Ewan."

"For our annoying Ewan."

TBC | 15 Juli 2017
Repost | 28 Maret 2020  
V.O.M.M.E.N.T?

HAHAHA PARA VOTER DAN KOMENTATOR AYO KELUAR, BABANG EWAN KAMBEK *naik rajawali sambil nunggu komentator dan spamers* :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top