His temptress | 28
Tiga Jam yang lalu.
Lidya memeluk tubuhnya sendiri dan merasa cukup terpukul dengan perubahan diri Marshall, ia menggigit bibirnya dan memaksakan dirinya untuk tidak menangis. Kalau memang Marshall tidak menyukai tangisan, maka dia tidak akan menangis. Lidya akan menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata.
"Apa anda sudah siap untuk pergi?"
Langsung saja Lidya mendongakkan kepalanya dan melihat pria setengah baya berdiri disampingnya dengan sopan. Pria itu tersenyum dan menunduk hormat kepadanya, "Nama saya Alfredo, pelayan pribadi Tuan Marshall." Setelah memperkenalkan dirinya, Alfredo menegakkan tubuhnya dan tersenyum lembut. "Tuan Marshall menugaskan saya untuk mengantar anda ke rumah, tempat dimana seharusnya anda menunggu beliau."
"Rumah?" bisik Lidya lemah.
Alfredo mengangguk. "Rumah, dimana anda bisa beristirahat. Itulah maksud Tuan Marshall, beliau mengkhawatirkan kesehatan anda kalau masih terus dirumah sakit." Sebelum Lidya mengucapkan sepatah katapun, Alfredo sudah melanjutkan kalimatnya. "Jangan khawatirkan Nona Harletta, dia berada di tangan para ahli dan tentunya akan baik-baik saja, saya bisa menjamin hal itu."
"Di mana Mar—Maksudku Ewan."
Perlahan Alfredo menggenggam tangan Lidya dan mengajak wanita itu bangkit dari duduknya. Kemudian ia membawa Lidya keluar dari rumah sakit, menuju mobil hitam yang sudah dipersiapkan. "Tuan Marshall sedang memiliki pekerjaan yang sangat mendesak sekarang ini. Jadi, anda bisa menenangkan diri anda di sini," ucap Alfredo ketika mereka telah berada didalam mobil.
Mobil tersebut langsung melaju begitu mereka duduk didalamnya, seolah-olah telah diperintahkan sedemikian rupa.
Di dalam mobil, Lidya tidak berkata apapun. Ia tidak ingin tahu mengenai Marshall, ia sudah cukup mengetahui apa yang harus diketahuinya. Diam-diam ia menghapus air matanya dan menoleh kearah lain agar Alfredo tidak melihat air matanya. Dan ternyata pria itu telah melihat segalanya dari awal.
Alfredo menepuk pelan punggung tangan Lidya dan berkata, "Tuan Marshall mungkin sudah menyakiti anda dengan kata-kata pedasnya. Tapi percayalah, dia masih belum berubah."
"Dia sudah berubah," bisik Lidya kepada Alfredo. Ia tersenyum miris dan berkata, "Marshall yang aku kenal sudah tidak ada. Dan seperti yang dikatakannya, Marshall yang sekarang bukanlah Marshall yang dulu. Yang ada dihadapanku hanyalah sosok Ewan."
"Tuan Marshall sudah tidak memiliki ibu." Alfredo menutup matanya sekilas dan mulai bercerita. "Mungkin anda sudah mengetahui hal ini. Tapi seberapa besar yang anda ketahui? Tuan Marshall tidak dianggap sebagai manusia oleh ayahnya sendiri, bagi Tuan Robert, keberadaan Tuan Marshall sama seperti perusahaan yang dimilikinya. Sebuah property yang ada dan dirawat dengan hati-hati agar bisa berguna sewaktu-waktu."
Alfredo membuka matanya dan tersenyum ketika Lidya menatapnya dengan pandangan tdiak suka. "Ketika Tuan Marshall akhirnya jatuh cinta, beliau terlihat lebih hidup dibandingkan sebelumnya. Kalau sebelumnya Tuan Marshall bisa tersenyum, kali ini Tuan Marshall bisa tertawa dalam arti yang sesungguhnya. Dan ketika hari pernikahannya..."
"Dia hancur dalam hal yang sebenarnya," ucap Alfredo. "Tuan Robert mempermalukan Tuan Marshall dihadapan seluruh keluarga Wellington, dan saat itulah Tuan Marshall memutuskan untuk membuang segalanya."
Tangan Lidya mengetat dipangkuannya, sementara hatinya menahan rasa sakit yang perlahan-lahan kembali lagi. "Jangan salah paham, saya tidak menyalahkan anda Nona Prescott."
Mendengar namanya dipanggil, Lidya mendongakkan kepalanya dan ia melihat Alfredo tersenyum. "Saya tahu siapa anda."
"Aku..."
Ketika mobil berhenti, Alfredo membuka pintu dan membantu Lidya keluar dari mobil. Saat ia menutup pintu mobil, Alfredo berbisik pelan dan hanya Lidya yang mendengarnya, "Kalau anda tidak pernah mencintainya, setidaknya bisakah mencoba untuk tidak melukai Tuan Marshall?"
Lidya terdiam.
"Karena selama ini Tuan Marshall sudah kehilangan banyak. Mungkin saya terlalu kasar dalam meminta kepada anda, tapi hanya itu saja yang bisa saya minta kepada anda. Bisakah mencoba untuk sekali saja memperlakukannya layaknya manusia?"
Air mata Lidya turun ketika mendengar ucapan itu.
"Bagaimanapun, Tuan Marshall hanyalah pria yang memiliki segudang kelemahan dan segudang cinta dibalik sikapnya yang seenaknya. He's a good man, Miss Prescott."
°
Mata Lidya terbuka dan ia merasakan air matanya mengalir. Dan ketika ia membuka mata, Lidya melihat Marshall berada disampingnya. Pria itu tertidur dengan kepala bersandar pada sofa sementara tubuhnya bersandar pada sisi sofa yang lain.
Marshall...
Lidya mengulurkan tangannya, mengusap kening pria itu dan merasakan hembusan nafas teratur dikulit tangannya. Ia menggigit bibirnya kencang-kencang dan merasakan asin. Ia melepaskan pelukannya pada tangan Marshall dan turun dari sofa, lalu berlutut disamping tubuh Marshall.
Ia tidak melakukan apapun, selama lima menit yang dilakukan Lidya hanyalah meresapi keberadaan pria itu. Kemudian ia mengangkat tangan Marshall dan mengecupnya, ketika ia mendongak, Lidya berkata lirih, "Indeed, He's a good man, Al."
That's why, I wouldn't let anybody hurt him.
Dulu Lidya terus berkata kepada dirinya sendiri kalau melihat pria itu marah kepadanya atau membencinya sekalipun terasa lebih menyenangkan dibandingkan melihat pria itu sedih. Dan sampai sekarang pun, Lidya masih berusaha menanamkan hal itu dipikirannya. Tapi ketika ia melihat pria itu benar-benar marah kepadanya, Lidya merasa hancur.
"God..." Lidya memeluk tubuhnya dan menunduk dalam-dalam agar isak tangisnya tidak terdengar pria itu, lalu ia melanjutkan ucapannya dalam diam. God, you know how much I love him...
Ia langsung menghapus air matanya beberapa menit kemudian, karena Lidya akan terus mengingat ucapan Marshall hari ini kepadanya. Jangan menangis. Iya, Lidya tidak akan menangis lagi, apalagi dihadapan Marshall.
Ketika sedang sibuk menghapus air matanya, mendadak pintu ruang perpustakaan terbuka lebar. Sinar matahari menyeruak masuk, Lidya mendongak dan melihat kearah pintu tersebut. Tiga wanita cantik dan anggun masuk kedalam ruangan tersebut, hak tipis mereka seolah menggema dan membuat suara yang terdengar begitu merdu ditelinganya.
Salah satu dari mereka adalah Zia Russell—ia mengenalnya. Zia terlihat menakjubkan dengan one piece terusan berwarna peach yang kontras dengan kulitnya yang putih, sedangkan salah satu dari mereka berambut pirang sama sepertinya. Wanita itu terlihat begitu manis dan lembut, "Ewan sedang tertidur ya?" tanya wanita itu dengan senyum masih tersungging dibibirnya.
Dan wanita ketiga yang terlihat cantik dalam balutan pakaian musim panasnya yang santai mengeluarkan suara, "Aku akan meminta Alfredo untuk menyiapkan teh dan cemilan untuk kita." Setelah mengatakan hal itu wanita tersebut keluar dari ruang perpustakaan.
Lidya sadar kalau ia belum menjawab pertanyaan wanita itu, jadi ia menjawabnya dengan kikuk. "Eh, aku... aku bisa membangunkannya kalau kalian mau," ucap Lidya salah tingkah.
Wanita itu tersenyum dan menggeleng, "Jangan, aku selalu suka saat-saat dia sedang tertidur." Kemudian wanita itu melirik kearah Zia dan berkata, "Kita bicara diruang tengah saja ya, Zia?"
"Iya, itu lebih baik daripada mengganggu Ewan. Dan kalau dia bangun karena kita sibuk bergosip, Ewan pasti mengamuk seperti banteng," ucap Zia sambil terkekeh geli. Ia menatap Lidya dan berkata, "Teman-temanku ingin bicara denganmu, Dee. Kau ada waktu bukan?"
Lidya mengangguk bingung.
Ia mendongak menatap wanita berambut pirang itu dan bertanya, "Kau... siapa?"
Ketika Zia ingin mengucapkan sesuatu, wanita pirang cantik itu menahan tangan Zia dan memilih untuk mengatakannya sendiri kepada Lidya. "Aku salah satu wanita yang menjalin hubungan dengan Ewan."
Tubuh Lidya mematung dan matanya menatap wanita itu dengan rasa terkejut yang tidak ditutupi. Sementara wanita itu masih tersenyum lembut kearahnya. "Aku Natalie," bisiknya pelan dan kemudian tertawa merdu, "Aku malu mengucapkannya kepadamu, tapi sepertinya aku termasuk salah satu wanita yang tergila-gila dengan Ewan."
"Natalie?" bisik Zia terkejut dan merasa bingung dengan ucapan temannya yang terlihat melantur. Zia tidak tahu apa yang sedang diucapkan oleh Natalie sekarang, dan melihat wajah Lidya yang pias, Zia tahu kalau ada yang salah disini.
Natalie mengibaskan tangannya keudara untuk membuat Zia diam, ia menatap Lidya dan berkata, "Bisakah kita membicarakan hal penting diruang tengah? Aku ingin tahu sampai dimana hubungan kalian dan bagaimana perasaanmu kepada Ewan." Sebelum Lidya menjawab apapun, Natalie sudah melanjutkan ucapannya, "Karena aku tidak mau keberadaanmu malah membuat hubunganku dan Ewan memburuk."
TBC | 13 Juli 2017
Repost | 27 Maret 2020
V.O.M.M.E.N.T?
Pasukan voter dan vomment siap keluar? Sayang kalian semua :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top