His Temptress | 25

"Bicara," perintah Eugene kepada salah satu pria pirang yang lebih muda. Pria itu tidak mengatakan apapun karena tengah menggigit bibirnya sendiri untuk menahan rasa sakit. Namun Eugene seolah tidak peduli, ia mendekatkan ponsel kearah pria itu dan berkata sekali lagi dengan nada dingin. "Atasanku membutuhkan bukti kalau kalian mengincar dokumen yang disembunyikan oleh Harletta. Bicara."

"Aku tidak akan menjelaskan untuk yang kedua kalinya, fuck you!"

Eugene tertawa. Ia berjalan ke meja terdekat dan mengambil sebuah pisau kecil yang masih terdapat darah disalah satu sisinya. Eugene kembali mendekat kearah pria itu dan berbisik pelan. "Kau akan melakukan tepat seperti yang kusuruh, Tanzil."

Tanpa menunggu jawaban dari Tanzil, Eugene langsung menusukkan pisau yang digenggamnya tepat diatas paha Tanzil yang sudah terluka akibat penyiksaan yang dilakukan Eugene lima menit yang lalu. Ia menusukkan pisau, Tanzil berteriak kesakitan dan menangis, belum selesai sampai disana, Eugene memutar pisau itu seolah berusaha mengoyak daging yang tertancap pada pisau tajam tersebut.

Teriakan kesakitan dan juga tangisan memilukan terdengar begitu jelas diruangan yang kedap suara itu. Eugene mendekatkan ponselnya sekali lagi ke bibir Tanzil dan dengan dingin berkata, "Speak now."

"Pre-Prescott me-menginginkan nona Har-Harletta—"

Eugene menggerakkan pisau yang masih menancap itu dan berdesis, "Ucapkan yang benar!"

Kemudian Tanzil langsung berteriak dalam satu tarikan nafas," Tuan Prescott menginginkan dokumen yang dicuri oleh nona Harletta. Dokumen itu akan digunakan oleh tuan Prescott untuk menjatuhkan Robert Wellington dan mendapatkan seluruh kerajaan bisnis Wellington!!!"

Setelah Tanzil berteriak dan menjelaskan, Eugene menarik ponselnya dan meletakkannya kembali ke telinganya sendiri. "Clear enough, Ewan?" tanya Eugene sambil berjalan menjauh dari Tanzil.

"Aku akan segera kesana, Gene."

"Aku tidak terlalu mengharapkan kedatanganmu, Ewan," ucap Eugene sambil mengelap noda darah yang terdapat pada tangannya dengan sebuah lap yang ada dimeja. "Tapi aku akan menunggumu."

Sebelum mematikan sambungan ponselnya, Ewan berkata, "Tanyakan lagi informasi penting lainnya, mengenai apa hubungannya Lidya dengan semua ini dan dokumen apa yang sedang dicarinya. Mengerti?" Dan setelah jeda selama tiga detik, Ewan berkata lagi, "Jangan siksa dia sampai mati. Aku menginginkan pria itu hidup sampai aku tiba, Gene."

"Tergantung dengan seberapa cepat dia mampu bekerja sama, Ewan."

Ewan terkekeh pelan dan berkata, "Aku tidak pernah menyuruhmu untuk membunuhnya, Gene. Jangan melakukannya sampai kusuruh, Do you understand?"

"Aku hanya menerima perintah yang pertama, Ewan. 'Lakukan apa yang harus kau dan Fenton lakukan.' Dan karena Fenton sedang mengerjakan pekerjaan yang lain, aku-lah yang melakukan apa yang harus kulakukan Ewan. Itu adalah perintahmu."

"Pokoknya jangan sampai dia mati."

Kemudian sambungan terputus. Eugene meletakkan ponselnya diatas meja dan kembali mendekat kearah Tanzil yang sudah bergetar, seluruh darah menyucur dari lengannya dan juga paha-nya. Eugene mengangkat alisnya dan berkata, "Kau tidak akan mati sebelum atasanku datang bukan? Jangan membuat semua ini menjadi rumit Tanzil. Karena kalau kau mati sebelum Ewan datang, dia akan menyusahkanku dengan pekerjaan lainnya. Lagipula seharusnya kau bersyukur karena menghadapiku, bukannya dia."

Eugene menoleh kearah dua sandera lainnya dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi, "Kalian mengerti bukan? Perintah dari Ewan adalah kalian tidak boleh mati sebelum dia datang. Jadi..." Eugene mengelus kepala pria berambut merah yang umurnya terlihat lebih muda, "Kalian berdua mengerti bukan?"

Dan Eugene mendapatkan jawaban berupa anggukan kepala dari dua pria lainnya, tiga termasuk Tanzil yang tidak lagi memikirkan siksaan apa lagi yang akan diterimanya. Karena ia tahu kalau pria bernama Ewan Wellington masih menginginkan mereka hidup.

Setidaknya mereka belum akan mati sekarang...

°

Satu jam kemudian Ewan masuk kedalam klub-nya dan segera ke basement bawah tanah dimana pencarian informasi dilakukan. Di sana Ewan melihat Eugene bersandar sambil meminum kopinya sementara di ujung ruangan terdapat tiga pria yang terikat sempurna diatas kursi dan salah satu dari mereka terlihat hampir mati karena kehabisan darah.

Ewan berdecak dan menggeleng. "Aku sudah bilang jangan sampai mereka mati sebelum aku datang, Gene."

"Salah kau sendiri kalau sampai melihat mayat mereka ketika kau datang, Ewan." Eugene menegakkan tubuh dan meletakkan cangkir kopinya diatas meja. "Satu jam," ucap Eugene ketika melihat jam tangannya, lalu ia mendengus, "Really Ewan? Kau membutuhkan satu jam hanya untuk berkendara kesini?"

"Aku sedang berada di Las Vegas, Gene."

"Itu bukan alasan." Ketika Ewan mendekati Eugene, Ewan hanya mendelik kearah pria yang terluka. Eugene tahu alasan Ewan mengangkat alisnya ketika menatapnya, tanpa mendengar pertanyaan dari atasannya, Eugene langsung berkata, "Namanya Tanzil. Sepertinya dia salah satu orang kepercayaan Prescott."

Dengan santai Ewan berjalan kearah pria yang bernama Tanzil. Pria itu terlihat lemah dengan keringat yang membasahi wajahnya. "Apa alasanmu membawa kabur Harletta?"

Pria itu tidak menjawab. Matanya seolah-olah tidak fokus karena darah yang sudah mengalir hampir satu jam lebih. Ewan berkacak pinggang dan menatap Eugene, "Inilah kenapa aku bilang jangan sampai dia mati Gene."

Eugene mengangkat bahunya. "Bangunkan saja dia. Ada air garam disana," ucap Eugene menunjuk sebuah ember yang ada di meja. "Kau yang bangunkan atau aku?"

"Keluar, Gene. Aku bisa menyelesaikannya."

"Lebih baik aku saja yang melakukannya, Ewan," ucap Eugene sambil melangkah kearah pria itu. Eugene tahu kalau pria bernama Tanzil itu tidak mungkin selamat begitu Ewan yang melakukan 'pencarian informasi' ini. "Ewan, kau duduk saja diruanganmu. Aku hanya membutuhkan sepuluh menit untuk—"

Tangan Ewan terangkat dan Eugene berhenti melanjutkan ucapannya. "Kau membutuhkan sepuluh menit, aku hanya membutuhkan dua menit untuk mendapatkan informasi itu, Gene."

"Iya, tapi kalau aku membiarkanmu yang melakukannya, orang ini tidak akan bernyawa lagi Ewan. Jadi biarkan aku atau Fenton yang melakukannya," jelas Eugene. Tangannya menahan bahu Ewan yang hendak mendekati Tanzil.

Ewan menatap wajah Eugene dengan tatapan yang tidak terbaca, kemudian berkata dengan suara dingin yang ahli. "Keluar dari ruangan ini sekarang juga, Gene. Kau bisa kembali dua menit lagi."

"Ewan..."

"Keluar, Eugene." Ewan mengendikkan bahu untuk mengenyahkan tangan Eugene dan kemudian menambahkan satu kata yang menjadi ultimatum untuk tangan kanannya itu. "Sekarang, Gene."

Setelah Eugene keluar dari ruangan, Ewan berjalan selangkah dan berhenti dihadapan Tanzil. Dengan nada dingin yang terlatih, Ewan bertanya, "Apa alasan kalian memburu Harletta?"

Tanzil tidak menjawab.

"Dokumen apa yang dibawa oleh Harletta hingga kalian mengejarnya terus menerus?" tanya Ewan lagi. Ketika pria itu tidak menjawab, Ewan melanjutkan ucapannya. "Apa ada hubungan antara dokumen itu dengan Lidya?"

Tanzil tidak menjawab.

Mata Ewan terarah pada pisau yang masih menancap pada paha Tanzil, tanpa ancang-ancang atau pemberitahuan, tangan Ewan terulur menggenggam gagang pisau tersebut dan menariknya dengan cepat. Cairan berwarna merah keluar seperti semburan air, teriakan Tanzil membahana sementara dua pria lainnya menutup mata mereka erat-erat karena rasa takut yang menusuk tulang.

Namun Ewan terlihat tidak peduli. Begitu pisau dijatuhkan, Ewan menunduk, menjumput rambut belakang pria itu hingga kepalanya mendongak kearahnya. Ewan bisa melihat pria itu menangis karena rasa sakit.

Kalau awalnya Tanzil bersyukur bahwa setidaknya Ewan Wellington masih menginginkan dia hidup, maka ia salah besar. Seharusnya ia memilih mati ketika Eugene hampir membunuhnya untuk mendapatkan informasi.

Ewan tersenyum miring dan berkata, "Aku tidak peduli apakah aku bisa mendapatkan informasi itu. Aku bisa saja mendapatkan informasi itu setelah membunuhmu, Tanzil."

Tubuh Tanzil bergetar ketakutan. Ia ingin mengucapkan sesuatu namun lidahnya terasa kelu. Ia sudah berteriak hampir satu jam dan membuat lehernya terasa sakit. Perlahan Ewan mundur dan mengambil sebuah besi panjang diatas meja, ketika tubuhnya berhadapan pada Tanzil, besi panjang itu menghantam kepala Tanzil dengan begitu keras hingga tubuhnya terjatuh bersama dengan kursi yang terikat bersama tubuhnya.

"Akan kuulangi pertanyaanku, apa ada hubungan dokumen itu dengan Lidya?"

Ewan berlutut mengarahkan besi panjang itu diatas paha Tanzil yang terluka dan menekannya disana. "Lebih baik kau anggukkan kepalamu Tanzil, karena aku tidak akan memperpanjang keberuntunganmu lebih lama."

"Pikirkan baik-baik apakah menjaga informasi itu lebih penting dibandingkan menyelamatkan nyawamu sendiri?" tanya Ewan. Ia merogoh saku dan mengambil ponselnya, "Atau... kematian gadis ini mampu membuatmu membuka mulutmu?"

Ewan memperlihatkan foto seorang gadis yang baru berumur tujuh tahun kepada Tanzil dan mata pria itu langsung terbelalak. Kepala Tanzil menggeleng dengan rasa takut yang begitu besar, ia rela dibunuh hingga jasadnya tidak dapat ditemui lagi, tapi Tanzil tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri kalau anaknya terluka karena kesalahannya sendiri.

"Ja-jangan—"

"Ada atau tidak?" tanya Ewan menegaskan pertanyaannya.

Karena tidak bisa menjawab, Tanzil menggeleng. Ia menangis tanpa suara dan baru kali ini merasa kalah. Dengan kekuatan terakhirnya ia menjawab," Tuan Prescott hanya menginginkan Harletta kembali. Apapun yang terjadi dokumen itu harus ditemukan, termasuk melukai Nona Lidya."

"Harletta sudah tidak bisa bergerak dan kalian masih mencari cara untuk menyakitinya?" tanya Ewan tidak mengerti.

"Karena hanya nona Harletta yang tahu tempat dokumen itu. Nona Lidya berkata dokumen itu sudah dibakar oleh nona Harletta namun tuan Prescott tidak mempercayainya." Tanzil menelan salivanya sambil menutup matanya. "Katanya dokumen itu adalah satu-satunya bukti nyata untuk menjatuhkan perusahaan Wellington. Yang diinginkan oleh Tuan Prescott adalah kehancuran Robert Wellington."

Ewan menarik nafas, tangannya yang memegang gagang besi kini mengarah pada kepala Tanzil. Dengan bisikan penuh ancaman, Ewan berkata, "Jauhi Lidya Prescott. Kalau kalian sampai menyentuhnya, kalian akan berhadapan denganku."

Ia menarik rambut Tanzil hingga pria itu terpaksa berlutut, lalu melanjutkan ucapannya dengan suara yang begitu dingin hingga menusuk tulang. "Kalau aku sampai melihat kalian mendekatinya lagi, I'll haunt you. I'm not going to kill you, Tanzil. Karena kau akan merasakan kesakitan yang begitu besar hingga kau akan memohon kepadaku untuk membunuhmu. Tapi aku tidak akan membunuhmu... hingga kau akan merasakan bagaimana rasanya hidup dalam neraka—neraka yang sebenarnya."

Ewan melepaskan genggamannya dan berdiri tegak. Lalu menatap dua pria yang lain dengan pandangan dingin. Sebelum ia meninggalkan ruangan, Ewan berkata, "Sampaikan ucapanku kepada Tanzil kalau kalian masih bernyawa ketika kembali nanti."

"She's mine. And i will kill everyone who tries to touch her. Eventhough only her hair." Ewan memasukkan kedua tangan kedalam saku, "Don't force your luck, because the fact, i could kill you all easily."

TBC | 12 Juli 2017

Repost 24 Maret 2020

V.O.M.M.E.N.T?

Anw maap kalau Ewan mendadak keliatan kyk pembunuh gini hahahaha :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top