His Temptress | 20

"Apa perlu kutemani?" tanya Zia ketika membuka pintu kamar Ewan, sementara Lidya membawa secangkir kopi buatannya. Ketika Lidya tidak menjawab, Zia tersenyum maklum, "Kalau kau ingin aku meninggalkanmu sendirian..."

"Bisakah kau menunggu di depan pintu Zia? Aku hanya akan memberikan kopi ini dan aku akan langsung pulang," ucap Lidya walaupun ia sendiripun tidak yakin apakah ia sanggup meninggalkan kamar Marshall tanpa merasa sedih.

"Baiklah, aku berada tepat di depan pintu kalau kau membutuhkanku."

Lidya mengangguk sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Dan ketika Zia menutup pintu di belakang tubuhnya, Lidya merasa semua ini salah. Mungkin seharusnya ia menerima ajakan Zia untuk menemaninya. Mungkin seharusnya... genggaman Lidya pada kopi mengetat ketika memikirkan kemungkinan kalau bisa saja Marshall bangun.

Aku membutuhkanmu...

Ucapan Marshall itu seolah menjadi penenang bagi seluruh ototnya yang tegang. Iya, Lidya hanya perlu mengingat apa yang harus dilakukannya, dan demi siapa. Dengan pemikiran seperti itu, Lidya memajukan langkahnya dan berhenti tepat disamping tempat tidur. Ia meletakkan kopi tepat di atas nakas, dan melihat Marshall tertidur dengan sebuah ponsel disamping telinganya.

Ia duduk di pinggir tempat tidur berusaha tidak bersuara, namun matanya masih tetap memandang pria yang tertidur diatas kasur seolah-olah ingin mengingat setiap detik yang bisa diambilnya. Perlahan, tangan Lidya terulur dan merapikan rambut Marshall yang menutupi pelipisnya, lalu ia mengambil ponsel yang ada disebelah kepala pria itu.

Lidya tersenyum kecil dan menggeleng, "Kebiasaan. Bukankah sudah sering kali kuperingatkan, jangan meletakkan ponsel disebelahmu ketika tertidur?"

Dan yang didapatkan Lidya hanyalah jawaban berupa erangan pelan dari pria besar disampingnya. Lidya kembali tersenyum dan kali ini ia mengelus tangan besar Marshall dengan gerakan perlahan. "Jangan menyakiti dirimu, Marshall." Kemudian Lidya menghapus setitik air mata yang hampir jatuh, dan ketika menatap pria itu kembali, ia tersenyum sambil terkekeh pelan walaupun air matanya masih saja mengalir. "Bukankah biasanya kau akan mengatakan dengan percaya diri kalau kau tidak pernah mabuk?"

"Kau tidak pernah mabuk, Marshall. Dan kalau kau mabuk..."

"Kalau aku mabuk, berarti saat itu aku sudah kehilangan kontrol diriku sendiri, Dee. Jadi, aku membutuhkanmu untuk kembali membuatku sadar. Kau mengerti 'kan?"

"Marshall, aku sedang tidak bisa berada disisimu untuk membuatmu mendapatkan kembali kontrolmu..." Lidya berbisik pelan sambil menggenggam tangan Marshall dengan gemetar, "So please, please... s'il vous plaît ne pas mal vous-même."

Jangan sakiti dirimu.

Lima menit kemudian, Lidya memutuskan untuk bangun karena ia tidak mau sampai Marshall bangun dan melihatnya disana. Pria itu tidak akan senang, karena Lidya tahu apapun yang terjadi dan seperti apapun perasaan pria itu, Marshall tidak menunjukkannya kepada-nya.

Saat Lidya hendak bangun, mendadak tangannya ditarik dengan kasar hingga membuat tubuhnya berbalik dan wajahnya berada dekat dengan wajah Marshall, bedanya kali ini mata pria itu terbuka dan Lidya bisa melihat jelas mata hijau Marshall. Kemudian pria itu berkata, "savoir si temps cette vous volonté laisser Je à nouveau?"

Apakah kali ini kau akan meninggalkanku lagi?

Tapi itu hanya sejenak, karena setelah berkata seperti itu mata Marshall menutup dan melepaskan genggaman tangan Lidya. Sementara itu Lidya menelan saliva-nya dan bibirnya bergetar.

Lidya tidak pernah benar-benar sanggup menghilangkan keberadaan pria itu walaupun telah berulang kali melakukannya, dan kemudian ia akan bangun dalam tidurnya dengan tangan meraba sesuatu disampingnya. Ketika Lidya sadar orang yang dicarinya tidak berada disampingnya, ia menangis dan kemudian menangis lagi hingga tertidur.

Permasalahannya, untuk sekarang Lidya harus berada disamping Harletta, karena wanita itu adalah satu-satunya saudara yang dimilikinya. Maka dari itu ia harus memilih Harletta dibandingkan Marshall, bukankah itu arti sebuah keluarga? Karena keluarga akan selalu memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan...

Perlahan Lidya mendekati wajah Marshall dan mengecup kening pria itu yang tertutup anak rambut, berbisik pelan untuk menjawab pertanyaan pria itu. "Je jamais vraiment pas laisser votre côté, Marshall."

Aku tidak pernah benar-benar meninggalkan sisimu, Marshall.

Never was, and never did.

Ketika Lidya membuka pintu, ia melihat Zia masih berdiri di depan pintu dan tersenyum kepadanya. "Sudah selesai?" tanya Zia lembut tanpa bersikap menghakimi atau mencoba menginterogasinya.

"Terima kasih, Zia."

Zia menggeleng, "Kau baik-baik saja, Dee?" tanya Zia ketika melihat bekas air mata di wajah wanita itu. Ketika tidak mendapat jawaban dari Lidya, Zia menghela nafas panjang. "Sampai kapan kau mau meneruskan kebohongan ini, Dee? Kalian sama-sama terluka karena kebodohan kalian sendiri, tahu?"

Lidya tidak menjawab.

"Jaga dia untukku, Zia." Lidya menatap Zia dengan pandangan penuh harap, ia tersenyum pelan. "Dia yang sekarang..." Lidya menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya, "...bukanlah dia yang sebenarnya."

"Lalu seperti apa Ewan yang sebenarnya?"

Suara bariton yang penuh dengan penekanan itu membuat Lidya dan Zia mengarahkan pandangannya kearah suara itu. Lidya menatap pria bertubuh tinggi dengan aura dominasi yang begitu kental tengah bersandar di tembok dengan kedua tangan didepan dadanya. Yang pertama kali memanggil nama pria itu adalah Zia, "Gabe? Apa yang kau lakukan disini?"

"Itu pertanyaan bodoh, Zia," jawab Gabe.

Gabe menegakkan tubuh dan mulai berjalan kearah mereka, Lidya bisa melihat pria itu tersenyum namun dalam senyumnya seolah-olah ada sesuatu yang seharusnya ia takuti. Dan ketika Gabe berada tepat dihadapan Lidya, pria itu tersenyum miring dan berkata, "Aku tidak tahu kalau perempuan sepertimu bisa masuk ke dalam kediaman Russell dengan mudah."

"Aku sudah meminta ijin," jawab Lidya pelan.

"Gabe, dia sudah meminta ijin padaku dan—" Zia berusaha menjelaskan keberadaan Lidya namun Gabe mengangkat tangannya dan ia memutuskan untuk menghentikan usahanya.

Mata Gabe tidak lepas dari Lidya, dan tanpa ekspresi Gabe mengulurkan kepalan tangannya dan memukul dinding yang ada disamping Lidya dengan sangat keras. Mata Gabe berubah menjadi tajam, aura dominasi yang dimiliki pria itu seolah menguak melalui setiap pori-pori yang dimilikinya.

Gabe berusaha mengatur nafasnya agar tetap santai, walaupun sekarang ia melihat Lidya dengan pandangan benci. "Aku tidak tahu apa yang sedang kau mainkan, Miss Presscott." Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Lidya dan berkata dengan dingin, "Tapi jauhi Ewan. Jauhi dia."

"..."

"Kau sudah meninggalkannya, kalau begitu pergi dan jangan pernah kembali." Gabe mengencangkan kepalan tangannya ditembok seolah meremas sesuatu. "Jangan seenaknya pergi dan mendadak kembali hanya untuk menghancurkannya lagi."

Lidya meremas tangannya dengan erat di samping tubuhnya.

"Jangan kau pikir bisa mempermainkan Ewan—lagi." Gabe berdesis marah, "Dulu kau bisa menghancurkannya dan mungkin dulu tidak ada satupun orang yang akan melindunginya, Miss prescott."

"..."

"Tapi sekarang dia punya kami. Kalau kau berani menyakitinya, menyentuhnya atau bahkan berani kembali hanya untuk menghancurkannya lagi. I'll crush you. Aku akan mengejarmu sampai ke ujung dunia, sampai ke neraka dan aku akan membuatmu menyesal karena pernah kembali lagi, Miss Prescott."

Zia berdiri dibelakang Gabe dan berbisik pelan, "Please, Gabe. Semua ini ada alasannya, semua ini—"

"You think, i care, Zia?" Gabe mengucapkannya dengan tegas tanpa menoleh kearah Zia, "Sentuh dia, dan aku akan membunuhmu. Aku tidak peduli walaupun kau pernah menjadi yang terpenting baginya, kalau Ewan sampai disakiti, aku akan menyakiti orang itu kembali. Aku bahkan tidak peduli apakah kau wanita atau bukan. Do you understand, Miss Prescott?"

"Aku..." Lidya meremas tangannya lebih erat dari sebelumnya, kemudian ia menyadari kalau apapun yang dikatakannya, ia tetap saja orang yang sudah menyakiti Marshall.

"Jangan memberi alasan dihadapanku, Ms. Prescott. Karena aku tidak seperti Ewan yang berbaik hati untuk menerima sampah masa lalu kembali atau menerima alasan sialan-mu itu. Dia tidak pantas untuk kau dapatkan, masih banyak wanita yang lebih pantas untuk mendapatkannya. Walaupun seluruh wanita di dunia ini sudah punah, kau adalah wanita terakhir yang berhak untuk bersamanya."

"..."

"Aku tidak pernah benar-benar membenci seseorang, dan tidak pernah benar-benar menjadikan orang musuhku. Tapi sejak aku tahu kau adalah orang yang memiliki andil paling besar dalam menyakitinya, selain ayahnya." Gabe mendekatkan wajahnya dan menggeram, "Maka aku menjadikanmu musuhku."

"Pergi dan jangan ganggu dia lagi. Sudah cukup selama lima tahun ini dia terluka karena tingkahmu, Miss Prescott."

Ketika Gabe menjauhi tubuh Lidya, ia menegakkan tubuh dan berkata untuk yang terakhir kalinya. "Dia bukan lagi Marshall yang kau kenal, jauhi dia dan biarkan dia melanjutkan hidupnya. Kalau kau bilang dia tidak berarti apa-apa, maka bagi kami, kau sama tidak berartinya Miss Prescott."

"Kau bukan apa-apa bagi Ewan yang sekarang, Mrs. Prescott."

TBC | 06 JULI 2017

Repost | 17 Maret 2020

V.O.M.M.E.N.T?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top