His Temptress | 19
"Aku berharap dapat merasakan hangatnya kopi lagi, walaupun hanya di dalam mimpi..."
Lidya masih menggenggam erat ponsel yang ada di tangannya. Hatinya hancur...Ia menutup mata sejenak dan merasakan serpihan hatinya kembali hancur, bukan karena pria itu baru saja menghancurkan perasaannya. Tapi karena akhirnya ia tahu, seberapa besar dirinya telah menghancurkan pria itu...
Ia menatap Harletta yang masih menutup mata, ia berlutut di samping tempat tidur Harlett. Lidya menundukkan kepalanya hingga menempel pada keramik dingin itu, air matanya telah mengalir membasahi wajahnya, namun ia tidak peduli.
Lidya bahkan tidak peduli kalau sekarang ia harus berlutut pada seluruh orang yang dilewatinya. Ia terisak dengan begitu pedih, kemudian berkata dengan lirih, "Maafkan aku..."
"Aku berusaha tidak merindukan masa lalu, hingga terasa menyakitkan."
Ucapan Marshall mengalun dengan begitu kencang ditelinganya, dan ucapan yang sarat akan kekecewaan itu seolah membunuhnya, menikamnya tepat di dada kemudian menariknya begitu saja. Lidya merasa... seseorang telah menusuknya dan membiarkannya berdarah.
"Aku tidak bisa kehilangan dia, Har..." Ketika Lidya sudah bisa bernafas dengan normal, ia mengangkat kepalanya namun dengan posisi tubuh masih berlutut. "Aku menyayangimu, Harletta. Tapi aku mencintainya..."
Harletta tidak menjawab.
"Dan dia membutuhkanku..." Lidya menarik nafas berat dan mulai terisak lagi, kali ini lebih kencang hingga bergema diruangan tersebut, "Dia membutuhkan-ku dan aku membuangnya. Aku menghancurkan hatinya yang telah lama dihancurkan keluarganya, Har. Aku... sudah menghancurkan senyumannya."
Ia tahu betapa kata-kata terakhir saat ia meninggalkan Marshall telah menghancurkan pria itu. Tapi Lidya juga tahu, kata-kata yang diucapkannya adalah kebohongan. Kebohongan besar yang menghancurkan mereka berdua, walaupun ia sudah mengetahui hal itu, tetap saja Lidya tidak bisa berbalik arah.
Lidya tidak bisa kembali memilih Marshall...Ia tidak bisa lagi mengembalikan waktu, karena hati yang sudah hancur tidak semudah itu untuk dikembalikan...
Setelah mengatakan hal itu, Lidya bangkit dan berjalan satu langkah. Ia menunduk tepat di atas Harletta, mendaratkan sebuah kecupan dikening saudaranya itu hingga air matanya menetes pada salah satu sisi wajah Harletta. Kemudian Lidya berbisik pelan, "Aku akan kembali."
Lalu Lidya mengambil jaket dan tas kecilnya, sebelum keluar dari ruangan.
◦
Zia mendapatkan pesan dari Lidya untuk yang pertama kalinya.
Padahal ketika siang tadi ia bertemu dengan wanita itu, Zia masih belum bisa membuat Lidya menerima sarannya untuk kembali kepada Ewan. Tidak... wanita itu terluka tapi tetap keras kepala untuk mengakui kalau hatinya sudah tidak sanggup lagi menjauhi Ewan.
Ketika Max tertidur, Zia keluar dari kamarnya dan segera bergegas keruang depan. Tepat saat ia membuka pintu depan, ia melihat Lidya berdiri disana dengan tubuh setengah basah akibat keringat di sekujur tubuhnya. Lidya tersenyum kepada Zia dan berkata, "Bolehkah aku masuk?"
Zia membuka pintunya untuk Lidya, wanita itu berjalan ke dalam, dengan cepat membuka sepatunya dan mendadak berbalik kearah Zia, "Bolehkah aku meminjam dapurmu?"
"Ada apa Dee?"
"Kopi. Aku ingin membuat segelas kopi..." bisik Lidya sambil menelan saliva yang terasa keras. Ketika ia mengangkat wajahnya untuk menatap Zia, ia berkata pelan, "Marshall, menginginkan segelas kopi..."
Zia menatap Lidya dengan tatapan bingung, karena ia tidak mengerti dengan filosofi kopi yang sedang diucapkan oleh wanita itu.
Lalu Lidya menarik nafas, menyeka wajahnya dengan lengan bajunya. Ia menggigit bibirnya sejenak sebelum berkata pelan kearah Zia yang masih mematung dihadapannya. "Kau pernah bertanya, apakah sudah sampai seperti ini pun aku masih tidak mau kembali padanya?" Lidya menarik nafas dan kembali berkata, "Jawabanku adalah tidak. Dan kau tahu maksudku Zia?"
Zia menggeleng.
"Karena ini adalah hukuman memang harus aku terima," bisik Lidya pelan. Ia mengepalkan tangan disisi tubuhnya, sementara matanya menerawang ke ruangan yang gelap gulita dihadapannya. "Karena ini tidak sebanding dengan apa yang sudah ia rasakan. Karena rasa sakit ini..." Lidya menunjuk kearah dadanya, menggigit bibrnya dan melanjutkan ucapannya. "Tidak ada apa-apanya dengan apa yang dirasakan oleh Marshall..."
Zia memeluk Lidya dan membiarkan wanita itu terisak kecil. "Ewan adalah pria yang kuat dan tidak mudah terluka, Dee. Kau harus percaya itu..."
"Dia sudah cukup terluka selama ini, Zia. Aku tidak bisa melihatnya dilukai oleh ayahnya, lagi dan lagi." Lidya memeluk Zia dan menarik nafasnya yang terasa berat. "Tapi aku tidak bisa melukainya, Zia... aku tidak bisa terus bersikap kalau aku tidak peduli."
"Jadi apa yang mau kau lakukan?"
Lidya mengurai pelukannya, menghapus airmatanya, kemudian berkata, "Bantu aku untuk membuat kopi sempurna untuknya. Kalau aku tidak bisa berada disampingnya, setidaknya aku ingin membuat satu cangkir kopi yang bisa ia nikmati tanpa diriku..."
Satu cangkir kopi yang membuat pagi hari-nya sempurna.
◦
Zia mengantar Lidya kedalam dapur yang besar, dan bersidekap disisi meja kitchen island. Ia tidak mengerti apa hubungannya dengan pagi sempurna Ewan dan secangkir kopi namun untuk kesopanan ia tidak akan mempertanyakan apapun. Ia hanya tersenyum saat menatap Lidya dan bertanya, "Kau membuat apa, Dee?"
"Coffee."
"Dee, kopi tidak akan nikmat kalau sudah dingin, lagipula Ewan sedang tertidur dan tidak mungkin bangun saat pagi tiba. Ia mabuk, Dee." Zia menekankan penjelasannya namun ketika Lidya seolah tidak memperdulikan ucapannya, ia bertanya lagi, "Kau tahu kalau dia mabuk?"
Lidya membalikkan tubuhnya dan tersenyum penuh arti.
Perlahan Zia berjalan dan berhenti disamping Lidya. Ia tidak melihat apa yang salah dengan kopi yang dibuat oleh wanita itu. Satu gula, satu sendok susu cair dan kopi hitam seperti biasa. Zia tidak mengerti mengapa hal itu mampu membuat hari Ewan sempurna.
Yang diketahui Zia, Ewan hanya menghirup kopi tanpa meminumnya. Kesimpulan yang diambil oleh Zia, Ewan tidak menyukai kopi melainkan hanya menikmati aromanya, karena beberapa kalipun Zia dan Max mengajak Ewan minum kopi di kedai, pria itu tidak pernah meminum lebih dari satu teguk.
Jadi apa yang berbeda?
Sementara itu Lidya menuangkan air panas pada cangkir dan mengaduknya beberapa kali. Ia menutup mata dan melihat cairan kopi itu menyatu dengan gula dan susu yang dimasukkannya. Lidya menangkupkan cangkir kopi hangat itu seraya berbisik pelan, "arôme de café est chaud et ce n'est pas seulement un rêve, Marshall."
Cairan pekat itu membuat Lidya seolah terpaku, ia seakan melihat bayangan Marshall dari pantulan cairan itu bersama dengan senyuman yang pernah dilihatnya. Ia bahkan bisa melihat bagaimana pantulan cairan itu menggambarkan hari-hari bahagianya bersama pria itu.
Memancing bersama...
Berkuda bersama...
Bahkan mereka senang menghabiskan setengah hari waktu mereka hanya untuk tiduran di hamparan padang rumput dengan tangan saling bergenggaman. Dan ketika Lidya merasa bosan, Marshall akan tertawa dan mulai menggelitiki telinganya dengan rumput yang ada di sekeliling mereka. Dan ketika Lidya marah, Marshall hanya akan tertawa dan berkata, "vous jamais vraiment en colère contre moi, l'amour."
Kau tidak pernah benar-benar marah padaku, Cinta.
Dan air mata Lidya kembali menetes, bahkan ketika ia menutup mata. Ia memang selalu melakukannya ketika mengingat pria itu. Marshall-nya.
TBC | 05 Juli 2017
Repost | 16 Maret 2020
Hi everyone... Stay safe, be happy and re-read my story 😎 update everyday till end
- Ewan Marshall Wellington -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top