His Temptress | 17
Pagi-pagi sekali Lidya mendapatkan pesan dari Zia untuk segera ke salah satu kedai coffee yang ada di pinggiran Las Vegas. Apa yang membuat Lidya terkejut bukan karena Zia mengajaknya untuk minum kopi di sana, melainkan karena nama kedai tersebut. Dessert Wind Coffee.
Ia pernah ke kedai tersebut bersama Marshall. Dan pergi ketempat itu hanya akan membuat kenangan mengenai pria itu semakin keluar, tapi Lidya juga tahu kalau ia tidak datang maka itu sangat tidak adil dengan Zia. Apalagi setelah apa yang dilakukan wanita itu kepadanya. Bagi Lidya, Zia Russell merupakan salah satu wanita terbaik yang sangat peduli dengannya.
Ketika Lidya memaksakan dirinya untuk masuk kedalam kedai kopi D.W, matanya tertuju kepada pria yang berada di ujung ruangan. Jantungnya berdetak dengan kencang, dan tanpa sadar kakinya melangkah mendekati pria itu.
Lidya mengulurkan tangan kearah punggung Ewan, tangannya langsung berhenti diudara ketika seorang pegawai dengan rok yang terlalu pendek mendekati pria itu terlebih dulu, dan berkata, "Your coffee Mr. Wellington."
"Thanks." Ewan menjawab waitress tersebut tanpa mengalihkan pandangannya pada tablet-nya.
Dengan cepat Lidya menggenggam tangannya kembali dan meremasnya dengan sangat keras. Ia ingin menangis, berkali-kali ia mengerjapkan matanya, berharap air matanya tidak akan keluar. Lidya sangat merindukan Marshall dan hanya Tuhan yang tahu berapa besar semua ini menguras energinya.
Jangan dekati dia, Dee. Kau sudah memutuskannya bukan?
Tepat ketika Lidya memutuskan untuk membalikkan tubuhnya, seorang waiter membawa nampan ditangannya dan tanpa sengaja berjalan didepannya sehingga mau tidak mau ia mundur, dan kakinya tidak bisa menopang tubuhnya dengan baik. Tubuhnya limbung dan bokongnya mendarat sempurna diatas keramik dingin.
Lidya meringis pelan, sementara waiter itu menatap Lidya dan langsung berkata, "Maafkan saya, Miss."
Belum sempat Lidya membalas ucapan pria itu, mendadak tubuhnya diangkat dengan begitu cepat dan ia bisa mendengar suara yang berada diatas kepalanya. Suara yang begitu dingin dan penuh dengan penekanan. "Watch your step! Memangnya matamu diciptakan untuk apa?!"
"Ma-maafkan saya, Mr. Wellington!"
Waiter itu menunduk untuk meminta maaf dan langsung pergi dari tempat itu, seolah-olah hanya itu yang bisa dilakukannya untuk terhindar dari amukan Ewan. Setelah kepergiaan waiter itu, jantung Lidya berdetak dengan sangat cepat namun ia tidak bisa menggerakkan satupun tubuhnya.
Ia bisa merasakan tubuhnya ditahan oleh tangan yang begitu hangat, kehangatan yang selalu diingatnya. Tubuhnya terkulai disamping tubuhnya, sementara tangan Ewan masih melingkar di perutnya.
Terima kasih...
Lidya tahu dia harus mengatakan hal itu, namun kata-kata itu seolah tertahan di ujung lidahnya. Mendadak Lidya merasa tubuhnya dibalik, dan saat Lidya sadar, Ewan telah berlutut dihadapannya. Tubuhnya diputar dan disentuh dengan lembut, seolah-olah pria itu mencari luka ditubuhnya.
Kemudian ketika Lidya sadar dari keterkejutannya, lengan hangat itu sudah tidak lagi memeluknya. Lidya mengangkat wajahnya dan kali ini mendapati mata hijau milik Ewan yang menatap tajam kearahnya, tatapan dingin yang selama ini tidak pernah ditunjukkan kepadanya.
Ewan memasukkan kedua tangannya kedalam saku dan berkata dengan dingin, "Jangan menggoda waiter, karena mereka tidak akan mau repot-repot meladenimu, Miss Presscott."
"Aku—"
Sebelum Lidya mengatakan apapun, Ewan sudah berjalan mendahuluinya seolah-olah tidak peduli dengan apa yang hendak dikatakannya. Dan saat itu, Lidya langsung berkata pelan. "Terima kasih... Marshall..."
Langkah Ewan terhenti sejenak, dan tanpa ia menoleh kebelakang, ia berkata dengan dingin. "Lain kali kalau kau ingin meminta perhatian, lakukanlah di lain tempat dan jangan berada di hadapanku. Memuakkan."
Ucapan itu memang menyakitkan, membuat Lidya merasa sangat sedih tapi apakah kalian akan menganggapnya bodoh kalau Lidya berkata dia bahagia? Karena setidaknya walaupun ucapan kasar itu dikatakan kepadanya, pria itu masih peduli padanya... Marshall, masih mau menatapnya...
Apakah... ia sangat bodoh kalau berpikir seperti itu?
Ketika sosok Ewan sudah benar-benar menghilang dari hadapannya, barulah Lidya membalikkan tubuhnya dan menyadari bahwa kopi yang dipesan oleh pria itu masih mengeluarkan asap panas.
Perlahan Lidya duduk tepat dimana Ewan duduk.
Ia tidak melakukan apapun. Lidya hanya duduk dengan tatapan terarah pada kopi yang ada diatas meja. Kemudian ia mengulurkan tangan dan menangkupkan cangkir hangat itu, dan tanpa sadar air matanya mengalir. Ia tidak ingin menangis tapi air matanya seolah keluar begitu saja.
Lima tahun... bukankah ia sudah memainkan drama ini selama lima tahun? Dan kenapa baru sekarang ia merasa bahwa segalanya tidak ada akhirnya? Kenapa... baru kali ini ia merasakan kenyataan bahwa ia tidak bisa lagi melakukan hal ini. Ia tidak bisa lagi... menekan perasaannya, lagi dan lagi...
"Hangat..." bisik Lidya ketika panas dari cangkir itu mulai meresap kedalam kulitnya. "Kopi ini masih belum dingin, Marshall..."
"Kenapa kau selalu menghirup kopi di pagi hari?" tanya Dee saat itu.
Kesukaan pria itu adalah menikmati aroma kopi dipagi hari, walaupun tidak diminumnya atau hanya diminum seteguk, Marshall akan menikmati aroma kopi pekat itu hingga rasa hangat dari cangkir tersebut menghilang. Katanya, itu adalah caranya untuk menikmati pagi—menikmati aroma kopi dan merasakan kehangatan.
Dan Lidya ingat bagaimana pria itu akan menjawab pertanyaannya. Marshall akan mengecup ujung hidungnya, sementara matanya menutup. Lalu bibir pria itu akan mengecup keningnya dan beralih ke telinganya.
Selama lima menit pria itu hanya akan terus melakukan hal itu. Dan Lidya tahu kalau Marshall selalu merindukan hawa hangat seseorang karena Marshall tidak pernah merasakan satupun pelukan dari orangtuanya. Tidak satu kalipun. Lidya juga tahu, setelah lima menit kemudian Marshall akan membuka matanya, dan mata hijaunya akan menatapnya dengan pandangan lembut, selembut padang di Hallstatt yang pernah dikunjunginya saat Lidya pergi ke Austria.
Begitu hijau, begitu lembut dan begitu menenangkan.
Lidya ingat, ketika pria itu membuka mata, Marshall akan tersenyum dan berkata, "Sekarang aroma kopi tidak akan lengkap tanpa dirimu, Dee." Marshall mengecup bibir Dee sekali dan kembali berkata, "Hal terbaik untuk dilakukan saat pagi hari adalah aroma kopi dan keberadaanmu disampingku."
"Jadi, kalau ada aku, harimu akan terasa sempurna ya?"
"Iya, kalau hanya aroma kopi, itu masih belum cukup. Kau adalah paket serta aroma yang paling penting untuk membuat pagi-ku menjadi sempurna, Dee..."
Ketika rasa hangat di cangkir tidak lagi meresap dikulitnya, Lidya merasakan keinginan yang sangat besar untuk terisak. Alih-laih melakukannya, tanpa sadar Lidya berbisik dengan suara parau tepat diatas pantulan cairan kopi yang pekat itu, seolah-olah ia berkata kepada dirinya sendiri, "Apakah selama lima tahun ini, aroma kopi-mu terasa sempurna?"
TBC | 03 Juli 2017
Repost | 14 Maret 2020
V.O.M.M.E.N.T?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top