His temptress | 12
"Miss Harletta membutuhkan perawatan extra," ucap dokter dihadapannya. "Anda harus segera bergegas menyelamatkannya."
Lidya berdiri dihadapan dokter tersebut dengan pandangan kosong. Sekeras apapun sikap yang berusaha ditunjukkannya kepada semua orang kalau ia baik-baik saja, pada kenyataannya Lidya tidak merasa baik-baik saja sekarang.
Tidak ketika ia telah kehilangan segalanya dan bahkan 'dia' menganggap dirinya tidak berarti. Lidya menarik nafasnya perlahan, kedua tangannya memeluk tubuhnya. Ia menggigit bibir dalamnya lalu bertanya kepada dokter tanpa benar-benar menatap pria dihadapannya. "Berapa banyak waktu yang kumiliki?"
"Tiga bulan. Kalau bom tersebut tidak dilepas..." Dokter dihadapannya menunduk lalu menepuk bahu Lidya yang terkulai lemas dengan lembut."Kau harus selalu mempersiapkan hatimu hingga saat terburuk menimpamu, Dee."
"Bukankah kau bilang kita masih punya kesempatan?" Bisik Lidya pelan.
"Lima tahun, Lidya. Kita sudah menghabiskan waktu lima tahun dan seharusnya kau menyadari kalau tidak ada waktu lagi bagi kita semua." Jason menghela nafas, sebelum berjalan meninggalkan Lidya, Jason yang sudah menjadi dokter Harletta selama lima tahun terakhir akhirnya berkata,"Kau tidak bisa bersembunyi selamanya, Dee."
"Aku sudah melakukannya selama lima tahun, Jason. Lima tahun..."
"Dan kau sudah bertahan selama lima tahun, Dee, tapi lima tahun tidak membuat kakekmu menyerah untuk mendapatkan Harletta."
Lidya mengepalkan kedua tangannya dan dengan mata yang memancarkan amarah, ia menatap Jason,"Dia tidak akan menemukan Harletta. Dan aku tidak akan memberikan kakakku kepada pria itu, Jason."
"Aku tidak mengerti kenapa kau sangat menyayangi Harletta, padahal hampir seluruh keluarga Prescott tahu kalau kau dan Harletta tidak memiliki ikatan darah sama sekali." Jason menangkupkan wajah Lidya dan memperlihatkan wajah serius kepada wanita itu sebelum berkata,"Jangan relakan hidupmu, Dee. Kau sudah merelakan dua kebahagiaanmu dalam satu waktu hanya demi menyelamatkan Harletta."
"Dia kakakku..."
"Dia bukan kakak kandungmu."
Lidya menepis tangan Jason dan dengan marah ia berkata, "Lalu kenapa? Kenapa memangnya kalau dia bukan kakak kandungku? Apa kau hanya akan menolong pasienmu kalau memiliki hubungan darah?!"
"Kita berbeda, Dee. Sebagai teman dan juga dokter-mu, aku menginginkan yang terbaik. Harletta tidak menginginkan hal ini terjadi padamu. Don't push yourself too hard, itu tidak akan menghasilkan apapun selain luka dihatimu. Tidakkah kau menyadari hal itu?"
Ketika Lidya tidak menjawab, Jason memegang bahu wanita itu dan mengguncangnya pelan,"Kembalilah, Dee. Tempatmu bukan disini. Mengertilah..."
Memang. Ia tahu kalau sebenarnya Lidya bisa saja meninggalkan Harletta disuatu tempat, ia bisa saja pura-pura tidak peduli kepada wanita itu seolah-olah Harletta bukanlah seseorang yang berarti baginya. Ia bisa saja mengatakan kepada semua orang mengenai apa yang terjadi padanya, walaupun Prescott memiliki pengaruh, mungkin saja Lidya memiliki satu kesempatan untuk mendapatkan satu pendukung.
Tapi ia tidak akan melakukannya.
Bukan karena ia tidak menginginkan pendukung, tapi kalau dia melakukan hal itu maka seluruh dunia akan mengetahui satu hal, bahwa Harletta adalah buruan yang pantas dihargai tinggi dan ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Lidya mengepalkan tangannya lebih keras lagi dan berkata dengan nada pelan, "Tidak, aku tidak mengerti Jason."
"Dee!"
"Kalau aku meninggalkan Harletta, aku tidak punya apapun lagi. Hanya dia yang aku miliki sekarang, tidak setelah aku memutuskan untuk menyakiti pria yang berharga bagiku. Tidak setelah semuanya, Jason..." Satu tetes air mata mengalir dari pelupuk matanya namun Lidya tidak menyadarinya. Lalu Lidya berkata pelan dan lirih seolah-olah kata-kata itu membuatnya menyadari sesuatu. "Kesalahan selalu bisa dimaafkan, Jason, tapi kesalahan tidak akan pernah bisa dilupakan."
"Aku tidak bisa mundur." Lidya menggeleng. "Aku hanya bisa maju dan terus memohon agar Harletta bangun."
Setelah Lidya berpikir pembicaraan telah berakhir, ia membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Jason. Aku hanya bisa maju... iya'kan ma?
~
Ada sesuatu yang salah.
Ewan menyadari hal itu dan ia juga menyadari kalau Lidya berbohong mengenai kepadanya tapi Ewan terlalu marah untuk menyadari hal itu. Ia terlalu marah untuk mengetahui wanita itu berada dihadapannya dan bersikap seakan-akan hubungan mereka tidak pernah mengalami masalah. Bahwa seolah-olah mereka telah berpisah begitu saja.
Seolah-olah hubungan mereka bukanlah hal yang penting bagi wanita itu.
Mata Ewan tertutup. Ia membiarkan tubuhnya terlentang diatas salah satu kasur Max yang disediakan oleh Zia dan sahabatnya itu. Sebenarnya bisa saja Ewan pulang, tapi ia tidak ingin melakukannya.
Ketika mata Ewan terbuka, ia tidak merasakan apapun. Ia hanya merasa sesuatu yang memang seharusnya dirasakannya. Kehampaan. Iya, ini adalah rasa yang seharusnya dirasakan olehnya, ini adalah rasa yang seharusnya terjadi, bukannya rasa yang tadi dirasakannya ketika Lidya berada dihadapannya.
Iya, Ewan tidak boleh merasa nyaman. Ia tidak boleh merasa bahagia. Ia tidak boleh merasa seolah-olah nafasnya bergantung pada aroma lili wanita itu. Ewan Wellington adalah pria yang tidak lagi merasakan cinta. Ewan Wellington adalah pria yang hanya tahu bagaimana menikmati wanita. Ewan Wellinton adalah pria yang hanya tahu bagaimana menyakiti dan membuang hal yang tidak diperlukannya. Hanya itu...
"Merasa buruk?"
Ewan membuka matanya dan menatap Max yang bersidekap dikusen pintu dengan tatapan meneliti Ewan. Dengan jengah Ewan langsung berkata, "Don't you dare to read my mind, Max. Aku sudah mengatakannya kepadamu berulang kali kalau aku tidak menyukainya."
Ketika Ewan menyandarkan punggungnya pada tumpukan bantal, ia masih mengabaikan tatapan Max. Kemudian Max masuk dengan sebelah tangan menutup pintu dibelakangnya. "Mau bercerita?" Tanya Max setelah duduk di seberang kursi yang berhadapan dengan Ewan.
"Tidak."
"Kuartikan sebagai ucapan 'aku tidak siap, Maxie.'?" Tanya Max, mengangkat alis tebalnya.
Ewan mendelik, "Aku bilang tidak, berarti aku tidak ingin menceritakan apapun kepadamu, Max. Jangan mengartikan ucapanku dengan hal lain!"
Sejenak mereka hanya terdiam. Sebenarnya Max yang tahu bagaimana kacaunya Ewan, namun Max tidak ingin memaksa Ewan untuk mengungkapkan hal yang tidak ingin dibicarakan oleh pria itu. Max juga tahu kalau Ewan selalu menggunakan topeng senyum-nay hampir setiap waktu, dan bahkan kepada Aram dan Gabe.
Ewan tidak bisa mempercayakan hatinya secara emosional. Itulah yang ditangkap oleh pengamatannya mengenai Ewan, tapi kalau Ewan mengetahui kenyataan bahwa Max mengetahui sifat pria itu dengan sangat baik, Max akan mendapati Ewan menjauh. Karena itu sebagai seseorang yang tidak terlalu menginginkan banyak masalah, Max bersikap tidak tahu.
Tapi Max bersumpah, kalau Ewan memintanya untuk melakukan sesuatu, ia akan melakukannya. Max, Gabe dan Aram akan melakukan apapun demi Ewan asalkan pria itu memintanya. Masalahnya, Ewan tidak pernah meminta apapun kepada mereka, tidak sekalipun.
"Aku ingin ke Karibia, Maxie."
Max menoleh kearah Ewan yang masih menatapnya dengan pandangan kosong, "Kapan?"
"Besok subuh?"
"Gabe tidak akan mengijinkannya, Ewan. Sekarang laut sedang tidak bagus, cuaca sedang mengalami keanehan. Masalah bisa saja terjadi saat kau dilaut."
Ewan tersenyum kecil, ia tahu kalau cuaca sedang mengalami keanehan. Saat makan malam, Gabe terus mengeluhkan hal yang sama bahwa cuaca laut yang memburuk malah membuatnya mengalami kendala dalam bisnisnya. Tapi itulah yang diinginkan Ewan, ia ingin menghilang untuk sementara dan menghilang di laut tidak terdengar buruk.
Mungkin agak keren. Dengan pemikiran gilanya itu, Ewan terkekeh pelan. "Kalau aku hilang di laut, jangan lupa untuk membantuku membersihkan rumahku, Maxie."
"Jangan bercanda, Ewan."
"Aku tahu kau akan merindukanku," canda Ewan, ia mengendikkan bahu dan tertawa lebih kencang, "Aku juga akan merindukan hotelmu dan para staff-mu yang attractive di tempat tidur."
Begitu Ewan bangun, Max juga ikut bangun. Max memasukkan kedua tangannya kedalam saku, matanya memandang Ewan dengan pandangan menyesal, lalu ia berkata, "Kalau kau menginginkan sesuatu..."
"Don't." Ewan berbalik dan menatap Max dengan dingin,"Jangan pernah melakukan hal itu, Maximillian. Aku tidak membutuhkannya."
"Kau selalu bilang seperti itu."
"Karena memang seperti itu kenyataannya,"ucap Ewan tegas. Ia memasukkan tangan kedalam saku, mata hijaunya berkilat dan menatap Max tegas, "Berjanjilah padaku, Maximillian. Berjanjilah untuk tetap mengingatkanku mengenai apa yang sudah terjadi."
"Kau tidak akan suka diingatkan."
"Kalau begitu terus ingatkan aku, setiap hari, setiap aku melakukan hal yang bodoh." Ewan berjalan kearah balkon, ia berusaha merasakan angin malam yang dingin, berpura-pura merasa kalau angin malam ini bisa menyejukkan hatinya. Kemudian ia memutar tubuhnya sementara Max masih berdiri didalam ruangan. "Karena hal bodoh hanya dilakukan sekali, Max. Tidak untuk yang kedua."
"..."
"Bunuh aku kalau aku sampai melakukannya, Max."
Max tidak akan melakukannya, Ewan tahu kalau sahabatnya itu tidak akan melakukannya karena Max hanya diam dan menatapnya dengan tatapan yang diketahui Ewan sebagai ketidaksetujuan. Lalu Max menghela nafas panjang, membalikkan tubuh dan hendak keluar dari kamar Ewan.
Namun sebelum menutup pintu, Max berkata,"Aku tidak akan menbunuhmu Ewan, tapi aku akan membunuh orang yang telah membuatmu memintaku untuk melakukan hal gila itu."
Sebelum Ewan mengatakan sepatah katapun, Max melanjutkan ucapannya,"Dan kalau wanita itu seperti yang kutakutkan, aku akan melenyapkannya."
TBC | 22 Juni 2017
Repost | 09 Maret 2020
V.O.M.M.E.N.T?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top