His Temptress | 10
"Kau mau pulang?" tanya Max sedikit khawatir,"Aku akan menjelaskannya kepada Zia mengenai hal ini kalau kau-"
"Tidak perlu." Ewan bangkit dari aspal, mengibas-ngibas celananya dari debu dan ketika matanya bertatapan dengan teman-temannya ia sudah bisa mengendalikan emosinya. "I can handle this, Maxie."
Aram yang merangkul bahu Ewan dan yang pertama berkata,"Don't force yourself. Makan malam ini tidak ada apa-apanya dengan situasi hatimu, Ewan."
"Aku bisa melakukannya, Aram. Terima kasih atas perhatianmu."
Sayangnya, Aram lupa kalau Ewan bisa merubah suasana hatinya seperti yang diinginkannya, dan tidak ada yang bisa mengetahui kapan kegilaan pria itu akan muncul. Dan ketika Aram merangkul bahu pria itu, Ewan langsung memutar kepalanya kearah Aram dan mengecup pipinya dengan cepat.
Langsung saja Aram melepas rangkulannya dan berteriak marah, "God Damn it! Sialan! Itu menjijikan, Wellington!" Aram mengatakan hal itu sambil menghapus bekas ciuman Ewan di pipi kanannya.
"Aku hanya ingin membuktikan kepadamu kalau aku baik-baik saja, Aram sayang..." Ewan tersenyum lebar sambil mengendikkan bahunya seolah tidak melakukan hal yang salah dengan mencium 'pria'.
Ketika Aram menoleh kearah Gabe, temannya itu langsung berkata, "Apa? Salahmu sendiri kenapa dekat-dekat dengan pria gila. Kau tahu seperti apa Ewan."
"Dan kenapa kau tidak memperingatiku kalau begitu?!" Aram berteriak marah kepada Gabe dengan kondisi masih mengelap pipinya seolah-olah bekas ciuman Ewan tidak akan bisa hilang.
Gabe mengendikkan bahu,"Kau lupa kalau ada orang bijak yang bilang kita harus menyelamatkan diri sendiri, barulah bisa menyelamatkan orang lain?" Gabe menyengir sambil berjalan masuk, "Lebih baik aku menyelamatkan diriku sendiri daripada menyelamatkanmu Aram, lagipula bukannya Ewan memang biasa menciummu? Sudah untung dia bukan menciummu on lips."
"Sialan! Kalian semua sialan!" Aram berjalan masuk sambil berteriak marah di pekarangan rumah Max, "Aku tidak percaya, dia masih bisa berlaku gila di saat serius seperti ini! Sialan!" teriak Aram lagi sambil masuk ke dalam rumah di susul oleh Gabe yang masih terkekeh di belakangnya.
Sementara itu, Ewan yang masih menampilkan senyumnya mendadak merasakan bahunya di rangkul. Ia menoleh kearah Max dan berkata, "Aram benar, don't force yourself, Ewan."
"Ya ampun Maxie, aku baik-baik saja. Tadi aku hanya kehilangan kontrol emosiku," ucap Ewan sambil tertawa dan melanjutkan ucapannya,"Mungkin karena aku hanya melakukan quickie beberapa hari ini tanpa benar-benar menikmati sex sepanjang malam."
Ewan pikir dengan mengatakan hal itu Max akan melepaskan rangkulannya dan berjalan seperti kedua sahabatnya yang lain. Namun pria itu malah menatap Ewan dengan tatapan seolah bisa membacanya dan Ewan tidak menyukai hal itu.
Ia langsung menepis rangkulan Max dan berkata dingin, "Jangan berusaha mengerti diriku, Maxie. Aku tidak menyukainya."
"Aku yang paling tahu bagaimana kacaunya dirimu, Ewan. Lima tahun yang lalu-"
Ewan langsung memotong ucapan Max dengan berkata tegas, "Lima tahun yang lalu Marshall sudah mati. Aku sudah membuang nama itu jauh-jauh, Max." Ia menatap Max dengan mata hijaunya dan dengan dingin memberikan pernyataan yang diketahui Max, sahabatnya ini membutuhkan waktu.
"Lima tahun yang lalu Marshall sudah mati dan apa yang sudah terjadi lima tahun yang lalu tidak akan pernah terulang lagi, Max. Kali ini, Ewan Wellington tidak akan mengulangi hal bodoh yang sama."
Setelah mengatakan hal itu, kali ini Ewan-lah yang merangkul bahu Max dan berkata,"Istrimu pasti menunggu kita. Kasihan Noelle, koki terhebatmu yang sudah membantu Zia menyiapkan makanan kesukaanmu, Maxie. Ayo masuk."
°
Di balkon, Zia menarik nafas berulang kali, berjalan cepat lalu memutar tubuhnya lagi. Ia sudah berjalan mengitari satu jalanan balkon itu selama lima belas menit dan ia baru saja mendengar semuanya dari Lidya-hal sebenarnya dari wanita itu.
"Jadi, kau-lah menyakiti Ewan?!"
"Aku tidak menyakitinya," ucap Lidya dengan nada pelan. Tatapan Lidya tetap lurus kearah Zia seolah-olah tidak merasa telah melakukan kesalahan. Tenang Dee, segalanya akan baik-baik saja. Setelah ia mengatakan hal itu kepada dirinya sendiri selama tiga kali, ia berkata kepada Zia, "Dari awal aku tidak bermaksud untuk mendekatinya jadi aku tidak tahu bagaimana bisa tindakanku disebut dengan melukainya, Mrs. Russell."
"Berhenti memanggilku dengan sebutan itu!"
"..."
Zia menggeleng dan menatap tidak percaya kepada Lidya, ia menarik nafas berulang kali dan mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. "Meninggalkan Ewan di atas altar, membuat seluruh pihak keluarga Wellington menghina Ewan dengan sebutan property tidak berguna..." Zia menarik nafas, menutup matanya dan membukanya kembali, "...aku tidak tahu apa lagi sebutan selain menyakitinya, Lidya Prescott."
Lidya menggenggam erat kedua tangannya di belakang tubuhnya tanpa di ketahui oleh Zia. Ia terdiam dan masih menatap wanita itu dengan sorot yang tidak terbaca, lalu Zia melanjutkan lagi ucapannya, kali ini dengan agak dingin. "Yang paling parah di sini adalah kau bahkan tidak merasa bersalah hingga saat ini. Kau... heartless!"
"..."
"Aku menyesal membawa Ewan kesini. Aku menyesal memutuskan untuk membantumu! Wanita jahat sepertimu... pasti selalu mengucapkan kebohongan." Zia menatap Lidya dengan tatapan tidak percaya dan mulai mengerti kenapa Max-suaminya, tidak percaya pada Lidya dan mati-matian memaksanya untuk menghentikan semua ini dan dia... dia dengan bodohnya terperangkap begitu saja.
"Semua ceritamu adalah kebohongan iya kan?" tanya Zia pelan.
Lidya tidak menjawab untuk menit pertamanya, sementara pikirannya terus berputar bagaimana mungkin ia mengatakan kalau ia benar-benar membutuhkan bantuan, sementara wanita di hadapannya sama sekali tidak mempercayainya? Tidak... bagi Lidya, semuanya terlihat membuang waktu saja kalau menjelaskan kepada seseorang yang tidak ingin mendengarkan sebuah penjelasan.
Ia diam-diam mengepalkan kedua tangannya di belakang tubuhnya, sementara tubuhnya tegak dan Lidya mendongakkan dagunya sebelum berkata, "Kalau aku tahu yang di maksud dokter itu adalah Marshall, maka aku akan berpikir berulang kali untuk bertemu dengannya."
"Jawab pertanyaanku, Lidya! Apakah semuanya adalah kebohongan?" Zia melangkah mendekat. Ia ingin mempercayai apa yang akan dikatakan oleh wanita dihadapannya. Sebagian kecil di dalam hatinya ingin percaya, namun ia membutuhkan ucapan langsung dari mulut Lidya. "Answer me, jawab aku dengan jujur, Dee."
"Yes, I lied to you."
Untuk sejenak Zia tidak bisa mengatakan apapun, dan berikutnya ia menanyakan hal yang seharusnya bukan urusannya. Zia menatap Lidya dan dengan tegas bertanya, "Apakah kau pernah menyesal telah menyakiti Ewan? Apakah... dalam sekali saja di hidupmu, kau pernah merasakan penyesalan terdalam dan berharap tidak pernah melakukan hal itu, Dee?"
Iya.
Berbanding terbalik dengan jawaban yang keluar begitu cepat di dalam hatinya, mulutnya tetap saja menjawab, "Tidak. Andaikan aku kembali lagi ke waktu yang sama, aku akan memilih untuk meninggalkannya. Dan aku tidak menyesal..."
°
Aram dan Gabe tengah memegang segelas scotch di tangan mereka dan genggamannya mengetat ketika mendengar ucapan itu. Perlahan-lahan mereka menatap kearah Ewan yang berada di samping mereka.
Namun wajah Ewan menggelap, mata hijau pria itu tidak terbaca, tidak ada lagi kilat kejenakaan yang biasa di perlihatkannya. Dan mereka pun tidak berani untuk mengucapkan sepatah katapun. Mereka tahu di mana batasan Ewan dan pria itu hampir berada di limitnya.
Seolah tidak peduli, Ewan berjalan masuk ke balkon, menyandarkan punggungnya pada kusen jendela dan terkekeh, "Aku tidak tahu harus merasa tersinggung atau tidak dengan pembicaraan kalian yang melibatkan diriku, namun aku sama sekali tidak ada di tempat."
"Ewan..." Zia menatap Ewan dengan gugup. Ia merasa sangat bersalah dengan Ewan karena menempatkan pria itu dalam situasi yang tidak mengenakkan. "I'm so sorry, Ewan. Aku tidak tahu kalau-"
"Kau tidak bersalah, Zia."
"Tapi-"
Ewan tersenyum dan dengan tangannya ia menyuruh Zia untuk mendekat lalu dengan lembut menepuk puncak kepala Zia ketika wanita itu mendekat kearahnya. "Bukan salahmu kalau kau dengan mudah dibodohi oleh wanita sepertinya, Zia. Kau hanya terlalu baik."
Langsung saja Max menarik Zia kedalam pelukannya seolah menyelamatkan dari amukan Ewan yang sama sekali belum terjadi. Ia mengisyaratkan kepada Zia untuk tidak mengucapkan sepatah katapun. Tidak sepatah katapun.
Dan Zia melakukannya dengan baik.
Lalu Ewan berjalan mendekati Lidya dan berhenti didepannya, dengan tangannya yang bebas ia mendongakkan dagu Lidya lalu berkata dengan sinis, "Aku juga tidak menyesal telah kehilanganmu dulu, Ms. Prescott. Kau tahu kenapa?"
"..."
Ewan menundukkan kepalanya dan melumat bibir Lidya dengan amarah yang masih terkendali, ia menggigit bibir itu hingga terasa ngilu kemudian melepaskannya. Lidya tidak berkata atau membuat pergerakan apapun karena terlalu terkejut untuk mengetahui apa yang terjadi. Lalu tanpa meredakan amarahnya, Ewan menunduk, berkata di telinga Lidya dengan nada yang sangat sinis. Nada yang bisa membuat seluruh wanita menangis atau gemetar.
"Karena kau sama saja dengan wanita murahan lainnya. Rasa yang sama dan telah dicicipi berulang kali." Ewan menjauhi kepalanya, meminum scotch-nya satu teguk lalu berkata lagi, "Dan kau tahu apa yang akan kulakukan kepada rasa yang sama dan yang telah dicicipi berulang kali?"
Ewan mengangkat tangannya yang memegang segelas scotch, tepat di atas kepala Lidya dan menuang cairan pekat yang hanya tinggal setengah itu hingga membasahi kepala Lidya, namun wanita itu tidak bergeming.
"Aku membuangnya, Ms. Prescott."
TBC | 17 June 2017
Repost | 07 Maret 2020
V.O.M.M.E.N.T?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top