His Temptress | 03
Ewan bergelung turun dari tempat tidur, mengenakan celana panjangnya seolah tidak perduli dengan apa yang baru saja dilakukannya. Ia baru saja menggoda salah satu staff Max dan mengajaknya sebagai objek pemuas di kamar hotel Max.
Sudah saatnya kembali, pikir Ewan.
"Ewan, kau mau kemana?" wanita berambut merah yang beberapa menit yang lalu mengalami tiga orgasme, merangkul Ewan dari belakang dan mulai mengecup leher Ewan dengan gerakan menggoda sementara jemari lentiknya menelusuri celana Ewan yang sudah terkancing, "Tidak bisakah kita mengulanginya yang baru saja terjadi, sayang? Aku-"
Dengan tidak berperasaan Ewan melepaskan pelukan wanita itu, mengambil jas-nya seraya merogoh saku-nya. Ia meletakkan sebuah cek kosong diatas nakas, menyampirkan jasnya dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi, "Kau sudah tahu permainannya bukan?"
"Permainan apa?"
"Aku paling malas kalau harus menjelaskan aturan mainnya, cantik." Mata Ewan terarah ke cek kosong yang ada di atas nakas dan begitupun dengan wanita itu.
Wanita berambut merah itu mendadak merasa sangat terhina ketika ia menyadari apa yang dimaksudkan oleh pria itu,"Brengsek kau, Ewan Wellington! Aku bukan pelacurmu!" dengan cepat wanita itu mengambil cek kosong itu dan melemparnya ke udara, "Ambil cek mu kembali! Aku tidak menginginkannya!"
"Kau yakin, kau tidak menginginkan cek kosong? Sebutkan saja nominal yang kau inginkan dan aku bisa memberikannya kepadamu."
"Brengsek! Aku bukan pelacur!" teriak wanita itu sekali lagi.
Ewan tersenyum manis seperti tidak pernah melakukan hal yang salah, "Kalau kau bukan pelacur, kau tidak akan begitu mudah membuka kakimu saat aku menggodamu, cantik." Lalu Ewan terkekeh, "kalau kau tidak ingat, kau sendiri yang mengajakku ke kamar ini. Bukan pelacur, eh?"
Sebelum wanita itu sempat mengatakan sesuatu untuk membela dirinya, mendadak ponsel Ewan berdering dan ia langsung mengangkatnya. "Ya, Maxie?"
"Di mana kau?"
"Di suatu tempat dalam hotelmu?"
"Melakukan sesuatu lagi? Zia mengajak makan siang."
Ewan tertawa, "Akhirnya wanita galak itu agak sedikit jinak, eh? Aku tidak sedang melakukan sesuatu, Maxie sayang." Ia menatap wanita itu dan tersenyum miring, "Aku baru saja mendapatkan pelepasan, dan itu tidak penting."
"Bajingan kau Ewan Wellington!!"
"Yea, yea. Itu memang nama tengahku, tidak perlu berteriak. Seluruh dunia sudah mengetahuinya, daripada kau menghabiskan waktu dengan berteriak lebih baik pakai bajumu dan tutupi dadamu itu," ucap Ewan sambil berjalan ke pintu dengan menggenggam ponselnya.
Perlahan Ewan membuka pintu dan mengedipkan mata kearah wanita itu, "Next time, cobalah dengan gaya yang lebih manis kalau ingin membuatku terangsang." Lalu pintu tertutup dan Ewan bisa mendengar suara barang yang terlempar di balik pintu.
°
Ewan tertawa dan kembali menempelkan ponsel ke telinganya. "Kau masih di sana, Maxie?"
"Berhentilah berbuat hal tidak senonoh di hotelku, Ewan. Hotelku bukan tempat pelacuran."
"Ayolah, hotel ini besar, aku hanya menggunakan satu dari beberapa ratus kamar disini, tidak akan menjadi masalah bukan?" sahut Ewan tak acuh.
Dengan tak acuh ia berjalan masuk kedalam lift dan terkekeh saat mendengar Max memberikan beberapa peraturan baru kepadanya, salah satunya adalah untuk berhenti menggunakan kamar ekslusifnya untuk menggoda staff hotelnya.
To be truth, Ewan sama sekali tidak menggoda wanita itu. Ia hanya ingin melihat seberapa jauh wanita itu akan jatuh kepelukannya. Baiklah, ia menggunakan tangannya untuk merangsang gairah wanita itu, tapi salah wanita itu sendiri kalau jatuh ke pelukannya dan dengan mudah membuka kakinya, bukan?
Brengsek, heh?
Ewan tertawa, tentu saja dia brengsek dan juga bajingan, hanya orang bodoh yang tidak mengetahuinya. "Berhentilah marah-marah, Maxie. Kau bahkan pernah bercinta dengan Zia di ruangan kantormu. Kuingatkan, dengan pintu tidak terkunci. Jadi biar kutambahkan satu peraturan baru 'seorang pemilik hotel tidak bercinta di ruangan hotelnya sendiri'."
Sebelum mendapatkan serangkaian makian, Ewan dengan cepat menutup ponselnya lalu menuju ke ruangan Max dimana sahabatnya itu dan istri galaknya-Zia-menunggunya.
°
Ketika Zia memberikan makanan penutup di ruangan Max berupa coconut pudding, Ewan mengelus perutnya dan mengedipkan sebelah matanya kepada Zia. "Ya Tuhan, semua ini membuatku puas. Lebih puas daripada saat aku dipuaskan oleh wanita itu."
"Wanita?" tanya Zia mengangkat alisnya tinggi-tinggi, ketika Ewan tidak menjawab, ia meletakkan gelas berisi pudding, bersidekap dan menyipitkan mata, "jangan bilang kau baru saja melakukan hal tidak senonoh, Ewan."
Ewan mengendikkan bahu.
Dengan kesal Zia menghela nafas kencang, memutar mata dan menatap Max yang masih menikmati makanan penutup istrinya tanpa banyak bicara. "For God Sake, Max. Bisakah kau berbuat sesuatu kepada pria ini?!"
"Tuhan pun sudah pasrah terhadapnya, Zia." Max mengendikkan bahunya acuh.
Ewan menegakkan tubuhnya dan pura-pura merasa marah, "Ya Ampun, aku tidak sebajingan itu. Tuhan hanya sedang mencari cara bagaimana menebus dosanya kepadaku, Maxie!"
"Masa lalu akan selalu menjadi masa lalu, Ewan. Sebaiknya kau mulai bertobat dari sekarang."
"Seperti dirimu begitu?" Ewan terkekeh dan mengendikkan bahu dengan gerakan acuh. "Aku tidak perlu bertobat Maxie, dan kau tahu dengan jelas bahwa bukan aku yang seharusnya bertobat."
Max tidak mau membahas lebih jauh, ia hanya menggenggam tangan Zia dan menggelengkan kepalanya seolah memberitahu istrinya untuk menghentikan pembicaraan itu. Seperti biasanya, isyarat yang diberikan Max sudah lebih dari cukup untuk membuat Zia mengabaikan sikap Ewan yang tidak pernah berubah dari awal ia mengenal pria itu.
Baru saja Zia mau menawarkan makanan penutup kepada Ewan lagi, mendadak ponsel Ewan berdering dan pria itu mengangkatnya dengan cepat, "Ada masalah apa Gene?"
"Ada orang bodoh yang hendak membeli saham salah satu club kita di Las vegas, sepertinya ini adalah langkahnya untuk mengalahkanmu dan-"
"Hancurkan."
Max hendak memasukkan potongan terakhir kedalam mulutnya saat mendengar Ewan berkata seperti itu. Ia langsung meletakkan sendoknya kembali kedalam gelas dan matanya terpaku kepada Ewan yang masih tersenyum di hadapannya.
Pria itu memegang gelas kaca yang berisi pudding dan tanpa disadari Ewan, gelas itu digenggam dengan sangat erat hingga remuk di tangannya. Zia tidak berkata apapun selain meremas lengan Max sementara Max tahu kalau apa yang ada di hadapannya adalah Ewan yang dikenalnya saat-
"Aku tidak peduli siapa yang melakukan hal itu, perintahku sama seperti biasanya, Eugene. Hancurkan tanpa bersisa. Kalau sampai aku melihat sampah itu masih bisa mengibaskan ekornya, maka kau-lah yang akan kuhabisi. Ucapkan saja kau mengerti atau tidak. Satu kata saja, Gene."
"Mengerti."
Sementara itu darah mengalir di sela-sela telapak tangan Ewan, dan ketika Ewan telah memutuskan sambungan ponselnya ia bangkit mengibas celana dan jasnya yang terdapat beberapa pecahan beling.
Suara Ewan terdengar ceria ketika berkata, "Nampaknya gelas yang kau gunakan sudah karatan, Max. Kau harus membelinya yang baru," sanggah Ewan. Ia tersenyum kepada Zia dan berpura-pura gentleman dengan membungkukkan tubuhnya, "Maafkan sikap tidak sopanku Zia, tapi aku harus kembali ke kantor."
"Kau tidak mau membersihkan luka di tanganmu dulu, Ewan?" tanya Max dengan alis terangkat, sebelah tangannya menunjuk ke tangan Ewan yang terluka.
Ewan hanya tertawa dan mengibas tangannya sembarangan seolah bukan darah yang menetes melainkan hanya air. "Jangan berlebihan Maxie, aku tahu kau mencintaiku tapi seharusnya kau tahu kalau luka ini tidak berakibat apapun terhadapku."
Tentu saja Max tahu tidak ada gunanya berusaha peduli dengan Ewan kalau pria itu sedang berada dalam kondisi dimana ingin memangsa seseorang. Jadi Max memaksa dirinya untuk tidak peduli dan mengalihkan pandangannya dari luka di tangan Ewan.
"Kau harus kembali untuk makan siang dengan kami kapan-kapan, Ewan," tuntut Zia.
"Sure." Ewan mengangguk setuju dan membalikkan tubuh sambil melambaikan tangannya sebelum keluar dari ruangan.
Setelah Ewan keluar, Zia menghadap kearah Max yang wajahnya sama sekali tidak terbaca. Ini bukan posisinya untuk mengkritik sikap sahabat suaminya, namun ia merasa tetap harus memberikan pendapatnya. "Kau tahu, apa yang pernah kupikirkan tentang Ewan?"
"Dan apa itu yang menjadi pikiranmu, sayang?"
Zia terdiam sejenak dan menggeleng, "Dia tidak pernah benar-benar menjadi dirinya, bukan begitu Max?"
TBC | 30 May 2017
Repost | 29 February 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top