97
I'll always be your place to come home
-Ewan M. Wellington-
Ada beberapa hal yang di ketahui Ewan mengenai puteranya selama beberapa hari ini. Salah satu hal yang paling membuatnya terkejut adalah kenyataan bahwa Lucas menguasai empat bahasa. Bahasa inggris, Perancis, Spanyol dan Latin. Ewan cukup terkejut mengetahui puteranya masih selamat dan selama ini ternyata di sembunyikan oleh Prescott di rumah musim panasnya. Sayangnya, Ewan tidak bisa lagi memaksa Prescott berbicara dengan pistol karena pria itu telah menghilang, meninggalkan perusahaannya yang kini di jalani oleh keuangan pribadinya.
Lucas juga memberitahukannya bahwa selama ini, Prescott membawakan guru private untuk mengajarinya dan memaksanya belajar dengan ucapan bahwa jika ia mampu mempelajari semuanya dengan baik, ia bisa bertemu dengan ayahnya.
"Papa, Apa hari ini Mommy akan pulang?"
Pertanyaan tulus itu membuat Ewan langsung terdiam. Ia meletakkan dokumen yang tengah di bacanya kembali ke meja. Ia ingin dapat menjawab pertanyaan itu, namun Ewan pun tidak dapat menjawabnya. Eugene yang berdiri di samping Ewan, meletakkan dokumen dan langsung berjalan ke arah Lucas.
Tanpa banyak berkata, Eugene langsung menggendong Lucas dan meletakkan anak itu di lehernya, membiarkan kedua kaki mungil itu berada di pundaknya. "Kau mau makan jalan-jalan dan melihat oncle Max, Luca?"
"Aku mau papa. Oncle, Gene, Papa belum menjawab—"
"Mommy-mu sedang liburan, Luca. Dan tidak akan kembali cepat. Setidaknya dia akan pergi dua minggu kedepan." Perlahan Eugene menurunkan Lucas dan gendongannya, membiarkan anak itu berdiri dan memandangnya dengan pandangan bingung. Eugene berlutut di depan Lucas dan menggenggam tangan mungil itu. "Papamu sangat merindukan Mommy. Jangan menanyakan hal itu terus menerus Luca. Atau papamu akan menangis..."
"Kau tentu tidak mau melihat papamu menangis, bukan?" tanya Eugene sambil mengacak-acak rambut Lucas. "Kalau begitu—"
"Papa boleh menangis, Oncle Gene."
Dengan cepat Lucas berlari kearah Ewan dan memeluk kaki Ewan dengan erat. Ewan langsung berusaha melepaskan pelukan itu, perlahan mengangkat Lucas dan mendudukkan anak itu ke pangkuannya. Lucas menangis namun anak itu tidak terisak dan tanpa berkata apapun, Ewan menghapus air mata Lucas. "Kenapa kau menangis, Petite?"
"Karena papa tidak menangis..."
Lucas mengulurkan kedua tangannya kearah Ewan, mengusap pipi ayahnya dan berkata, "Papa, boleh menangis. Aku tidak akan memarahi Papa. Kata kakek, menangis di perbolehkan ketika kita sedang sedih." Lalu Lucas memukul pipi Ewan pelan berkata,"Papa ayo menangis..."
"Papa tidak ingin menangis, Luca..." bisik Ewan pelan, menangkup tangan Lucas dan mengusap telapaknya. "Papa... tidak sedang ingin menangis."
"Papa, ayo menunduk."
Perintah dari raja mungil itu membuat Ewan mengulum senyum dan menunduk, siapa sangka Lucas malah mengelus Ewan seperti yang di lakukan Ewan sebelumnya. Lucas mengelus puncak kepala Ewan sambil berkata, "Cup Cup Papa...Cup cup Papa... "
Dan itu malah membuat Ewan semakin ingin menangis. Tanpa berpikir panjang, Ewan memeluk tubuh mungil Lucas, menenggelamkan kepalanya di puncak kepala anak itu sembari menahan tangisannya. Ia begitu merindukan Lidya, senyum wanita itu kini menurun pada Lucas dan Ewan menyadarinya ketika pertama kali melihat Lucas di taman itu.
Senyum Lucas, kesukaan Lucas pada Baby Breath...dan kepedulian Lucas pada orang lain. Semuanya adalah pemberian Lidya. Ia begitu merindukan wanita itu hingga rasanya menyakitkan, namun ia tidak bisa menangis karena kini Ewan memiliki Lucas. Karena itu Ewan memutuskan untuk tidak menangis. Ia akan menjadi ayah yang membanggakan bagi Lucas...Ia akan menjadi ibu sebagai pengganti kehadiran Lidya...
Diam-diam Eugene melihat kedekatan Lucas dan Ewan, dan diam-diam merasakan sedih untuk atasannya itu. Perlahan ia undur diri dan berjalan keluar dari ruangan, mengambil ponsel di sakunya dan melakukan panggilan telepon. "Mr. Wellington, dia tidak akan bertahan. Apakah anda bahkan tidak bisa membantu apapun?"
"Jaga bicaramu, anak muda. Aku sudah melakukan apa yang bisa kulakukan."
"Ewan tidak membaik."
"Aku sedang tidak memiliki waktu untuk memikirkan anak itu. Bukankah sudah tugasmu untuk menjaganya agar tetap waras?" Sebelum Eugene membalas ucapan Robert, pria itu sudah berkata, "kau sudah menjaganya selama 5 tahun ini, jadi tidak ada salahnya jika kau menjaganya agar tidak membunuh dirinya sendiri."
Lalu telepon terputus begitu saja, meninggalkan umpatan di ujung lidah Eugene yang hampir saja ia keluarkan. Sebelum Eugene sempat melakukan panggilan telepon lagi, mendadak ponselnya berdering dan ia langsung mengangkatnya tanpa melihat siapa yang melakukan panggilan telepon. "Hal—"
"Gene, I found her."
Eugene menjauhkan ponselnya dan mengernyitkan alisnya. Yang mengetahui rencananya untuk menemukan Lidya hanyalah Robert Wellington dan ia tidak pernah meminta atau mengatakan apapun kepada Maximillian Russell untuk membantu rencananya, tetapi jelas-jelas yang tengah meneleponnya adalah Mr. Russell. Ia langsung mendekatkan ponselnya dan berbisik, "Mr. Russell?"
"Aku sedang bersama dengan Thalia Crawford. Kau tahu di mana harus menemukanku, Gene." Sebelum Eugene sempat berkata-kata, Max sudah melanjutkan ucapannya. "Jangan beritahu Ewan."
Dan sambungan telepon terputus, membuat Eugene panik setengah mati. Ia mengusap mukanya dengan pikiran yang masih berkecambuk. Setelah ia menyusun satu informasi dengan informasi lainnya, Eugene langsung menghubungi Simon. "Simon, aku harus berpergian selama satu minggu. Siapkan penerbangan dalam dua jam ini."
"Siapa yang mau terbang?"
"Simon, jika kau dan Samuel tidak naik pesawat dalam dua jam kedepan, aku akan memotong gaji kalian sebanyak 75%. Kalian mengerti? Ini adalah code Red, Blue, apapun yang bisa kau pikirkan!" Eugene berusaha mengatur nafasnya dan ketika nafasnya telah berubah normal, ia berkata, "Ewan akan membutuhkan kalian untuk menjaga puteranya. Jadi kau harus—"
"Apa Luca terluka?! Akan kuhajar semua orang yang berani menyentuh dia!" dan mendadak suara Simon terputus begitu saja. Untuk kali ini Eugene tidak tahu mengapa Ewan harus merekrut Simon yang menurutnya bodoh dan seenaknya dan tidak pernah berpikir jika melakukan sesuatu.
Sebelum Eugene selesai mengumpati Simon dengan beberapa perkataan yang belum terpikir olehnya, mendadak ponselnya kembali berdering, saat ia mengangkat telepon, Eugene langsung mendengar suara Simon. "Aku akan kembali secepat mungkin! Jadi jangan potong gajiku, potong saja gaji Samuel kalau kau mau!"
"Oh tolong katakan kepada Luca bahwa Oncle Simon sedang terbang kesana untuk bertemu—"
Eugene langsung memutuskan telepon itu dan memasukkan kembali kedalam sakunya. Walaupun berbicara dengan Simon sangat menguras tenaga dan mentalnya, tapi untuk urusan penjagaan Eugene bisa menyerahkannya kepada pria itu. Dan lagi Simon merupakan salah satu orang yang jatuh cinta pada Lucas dan diam-diam telah menjadikan anak kecil itu sebagai Raja dari seluruh kekayaan yang di pegang oleh Ewan.
Dan sekarang, Eugene memiliki tugas yang lebih penting daripada sekedar mengerjakan tumpukan dokumen yang enggan di selesaikan oleh Ewan.
*
"Dia tidak akan bertahan."
Thalia Crawford membuka maskernya serta masker tangannya, ia menghela nafas panjang sambil menatap kearah Robert Wellington. "Maafkan aku, tapi ini akan membutuhkan waktu yang lama."
"Kau memiliki rumah sakit ajaib yang bisa—"
"Aku memiliki teknologi rumah sakit yang bisa membuat keajaiban terjadi, sir. Tapi semua ini bergantung pada keinginan pasien." Thalia melangkah lebih dekat kearah Robert yang sudah duduk berjam-jam lamanya. "Wanita itu tidak akan bertahan dengan keadaannya yang sekarang, benturan di kepalanya membuat—"
"Dia akan sembuh."
"Sir, Kau tentu mengerti apa yang bisa di akibatkan sebuah benturan di kepala. Kau tentu tidak berpikir bahwa wanita itu akan berjalan dengan bebas untuk menemui puteramu, bukan?" Thalia memasukkan kedua tangan kedalam saku jas-nya dan kembali berkata, "Wanita itu berada di ambang kematian. Dia sudah berjuang dengan sangat baik, Mr. Wellington. Tolong jangan bersikap egois."
"Karena dia adalah kebahagiaan puteraku. Dan jika aku harus menjadi pria egois hanya untuk membuat puteraku bahagia, so let it be." Robert berjalan melewati Thalia, sebelum masuk ke dalam ruang perawatan intensif, Robert berkata pelan. "Jika seorang ayah ingin memperbaiki kesalahannya dengan mengharapkan puteranya bahagia, apakah itu egois, Mrs. Crawford?"
Tidak. Jawabannya akan selalu 'Tidak'. Thalia juga sangat mengharapkan puteranya dan orang tua akan selalu berharap seperti itu. Tapi setelah memeriksa keadaan pasiennya, Thalia tahu bahwa wanita itu tidak akan bertahan lebih dari seminggu dan sebagai seorang dokter, Thalia harus memberitahukan kemungkinan terburuknya.
Ia tidak bisa mengucapkan hal yang lebih muluk dari ini. Karena Thalia detak jantungnya semakin lemah dan ia yakin bahwa koma yang di alami oleh wanita itu akan berlangsung hingga saat terakhirnya.
Thalia sudah berjuang agar wanita itu tetap selamat. Beberapa minggu yang lalu Robert membawa wanita itu dengan keadaan yang lebih mengenaskan daripada sekarang. Darah wanita itu mengalir, denyut nadi yang melemah dan bibir yang hampir membiru. Tentu saja Thalia sering merawat pasien yang mengalami kecelakaan, namun untuk yang satu ini...Thalia tidak bisa menjanjikan hal manis.
Sementara itu, didalam kamar rawat, Robert duduk di samping Lidya yang kini terpasang begitu banyak infus yang membantunya untuk tetap hidup. Robert menyelipkan tangannya di pergelangan tangan Lidya dan mengelusnya lembut. Ia mendekatkan tubuhnya hingga bibirnya dekat dengan telinga wanita itu. "Bertahanlah, Lidya. Tenmpatmu bukan di sini."
Namun tidak ada pergerakan apapun dari Lidya.
"Let me tell you a secret, bahwa ayahmu tidak sebajingan itu. Bahwa ayahmu tidak sejahat itu dengan membiarkan puteramu meninggal. Bahwa ayahmu, orang yang kau cintai sejak kecil adalah orang yang memang pantas kau cintai. Dia memang bukan ayah yang sempurna setelah apa yang di lakukannya terhadap ibu-mu dan Harletta."
Robert mengelus puncak kepala Lidya berulang kali dan berbisik kembali, "Ewan akan selalu menunggumu, Lidya. Dan biarkan aku memberitahu apa yang dia ucapkan tepat di hari pemakamanmu."
"You will always be my temptress for eternity." Robert mengelus puncak kepala Lidya sekali lagi sebelum berkata, "Pulanglah Lidya Prescott. Pulang ke tempat di mana yang kau anggap sebagai rumah."
"I'm begging. Don't leave him alone as I ever do..."
*
Maximillian Russell bukanlah pria yang suka ikut campur terhadap masalah apapun. Tapi Max langsung bergerak dari kantornya, mengabaikan dua meeting pentingnya yang bisa menghasilkan jutaan dollar. Max melihat bagaimana Robert Wellington mengelus puncak kepala Lidya Prescott dengan halus, walaupun ia tidak bisa mendengar apa yang tengah pria itu perbincangkan tetapi Max tahu dua hal penting, yaitu Lidya masih hidup dan Robert tidak hendak membunuh wanita itu.
Semua ini sesuai dengan perkiraannya, ia tidak bisa percaya saat Jack Prescott menyetujui bahwa Lidya Prescott sudah meninggal. Dan Max juga sudah menyelidiki bahwa berita kematian Lidya yang sengaja di ekspos sedemikian besarnya memiliki arti lain, Jack Prescott berusaha menghilangkan eksistensi Lidya di hadapan publik.
Max masih belum tahu apa alasannya, tetapi Max tahu bahwa Jack Prescott tidak pernah menyakiti Lidya, tidak dalam artian sebenarnya. Perlahan Max mengambil ponsel di sakunya yang terus bergetar, senyumnya mulai terbit ketika melihat ID Caller di ponselnya. "Iya, Zia?"
"Kau sudah menemukannya?"
"Aku menemukannya." Max mengintip sedikit dari balik kaca ruang rawat dan berbisik, "Dia tidak dalam keadaan baik tapi setidaknya kita tahu bahwa dia masih hidup."
"Kau harus membawanya pulang, Max."
Sebelum Max sempat mengucapkan apapun, istrinya sudah berkata dengan suara bergetar yang membuat hati Max ikut bersedih mendengarnya. "Dee adalah satu-satunya hal yang bisa mengembalikan senyum Ewan. Please, Max. Aku tidak pernah bersikap egois sebelumnya, tapi kali ini... kau harus membawanya pulang."
"Dia akan pulang, Zia. Tapi jika aku membawanya sekarang, dia tidak akan bertahan. Dia terlalu sakit untuk kembali pulang. Di sini, nyawanya akan terselamatkan oleh Dr. Crawford." Max tidak menunggu istrinya kembali mengatakan sesuatu, ia langsung berkata, "Aku akan membawanya pulang. Apapun yang terjadi dan apapun harga yang harus kubayar, aku akan membawanya kembali pada Ewan."
Max akan membawa Lidya pulang apapun yang terjadi. Ia sudah lelah melihat sahabatnya terus menatap puteranya dengan kebahagiaan palsu yang selalu di tampakkannya setiap hari. Ewan tidak mampu melakukan apapun yang biasa di lakukan pria itu, ia tidak meminum minuman keras selain kopi, Ewan tidak melakukan apapun selain bekerja seperti orang gila.
Dan semua itu untuk menutupi rasa sedihnya. Sama seperti lima tahun yang lalu, kali ini Ewan menyakiti dirinya dengan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Kali ini Ewan terus memanjakan Lucas hanya agar puteranya itu tidak mengungkit-ungkit mengenai Lidya.
"Aku akan membawanya pulang kepadamu, Ewan..." bisik Max pelan.
Setelah Robert keluar dan meninggalkan segalanya kepada Thalia. Barulah Max masuk ke dalam ruangan, mengamati wanita yang dulu di bencinya karena telah menyakiti Ewan. Dan sekarang Max sama sekali tidak merasakan amarah apapun, yang ada hanyalah kesedihan.
Dengan gerakan perlahan ia berdiri di samping Lidya yang masih menutup mata. Max mengusap kepala Lidya seperti ia mengusap seorang adik. "Apa yang kau lakukan, Lidya? Ewan menunggumu di rumah bersama dengan puteramu, Lucas. Seharusnya kau menemani mereka, bukannya berbaring di sini, bukan?"
"Dia menangis walaupun tidak memperlihatkannya..." bisik Max pelan. Namun tidak ada pergerakan apapun dari Lidya selain bunyi alat penyambung hidupnya. "Kau berjanji untuk tidak membuatnya menangis, Dee. Dan dia tengah menangis sekarang..."
"Dia tidak bisa merespon apapun. Mr. Russell."
Thalia masuk ke dalam ruang rawat dengan jas putih membungkus tubuhnya. Ia mendekati Lidya dan memeriksa seluruh alat serta infus yang terpasang pada tubuh wanita itu. Kemudian menghadap kearah Max dengan senyum lembut. "Mr. Wellington pasti sangat mencintai wanita ini ya?"
"Wanita ini..." Max menelan ludahnya sembari menatap wajah Lidya yang pucat. "...adalah hidup Ewan."
"Ewan pernah berkata, tidak akan pernah bisa menerima bawa Lidya telah meninggal. Dia lebih baik menerima ilusi bahwa Lidya meninggalkannya demi pria lain di hari pernikahan mereka di banding kehilangan wanita itu selamanya." Max menatap wajah Lidya. "Tapi akhirnya dia memutuskan untuk melepaskan wanita itu, memutuskan untuk mencintai wanita itu di sisa kehidupan ini dan juga kehidupan yang akan datang. Ewan memutuskan.... Untuk menyakiti dirinya sendiri untuk membiarkan Lidya tenang."
Max menatap wajah Lidya dan berharap entah bagaimana wanita itu mendengar perkataannya. "Pada hari pemakamannya, Ewan membunuh dirinya sendiri bersama dengan peti kosong yang di makamkan atas nama kekasih hatinya, Lidya. Dan pada hari itu, Ewan...tidak berhenti mencintai wanita itu."
"Aku berharap bisa bertemu dengan pria bernama Ewan ini. Karena dia mampu memperlihatkan—"
Untuk beberapa detik pertama Thalia terdiam ketika ia melihat sebuah cairan bening mengalir dari sudut mata Lidya yang terpejam. Keajaibannya tidak berhenti sampai di situ, karena detik kemudian Thalia melihat jemari Lidya bergerak seolah hendak menggenggam sesuatu. Dan Thalia langsung menekan emergency bell untuk memanggil rekan kerja lainnya.
Thalia bergerak cepat dengan memeriksa seluruh denyut nadi Lidya dan langsung berkata kepada beberapa dokter yang terpogoh-pogoh datang. "Siapkan Crawford III sekarang. Kita harus membawanya masuk ke ruang Crawford III sekarang."
"Baik!"
Para suster dan dokter pembantu mulai melakukan beberapa penanganan yang di perlukan, dan bersiap-siap membawa tubuh Lidya ke ruang perawatan yang lain. Namun sebelum tubuh Lidya di pindahkan ke brankar, Max menahan lengan Thalia sambil mengernyit bingung. "Bukankah seharusnya dari awal dia sudah di rawat di ruang Crawford III? Kenapa kalian baru mau memasukkannya?"
"Saat di bawa kesini kondisinya lebih mengenaskan, dia tidak akan bertahan melalui perawatan dengan teknologi setinggi itu. Karena denyut nadinya terlalu lemah, bahkan dia tidak merespon obat apapun." Thalia menyentakkan tangannya dari genggaman Max lalu berkata, "Kau ingin membawanya kembali kepada sahabatmu? Caranya mudah. Jangan pernah mengatakan kepada sahabatmu, bahwa wanita ini masih hidup."
"Aku seharusnya mengabarinya sekarang, dokter Thalia," sanggah Max.
"Pasien ini." Tunjuk Thalia kearah Lidya yang tengah di pindahkan ke brankar lain dan bersiap untuk di bawa ke ruang perawatan lainnya. "Dia akan menghabiskan waktu dua hingga tiga bulan untuk pemulihan. Dan kau tentu tidak akan mau melihat sahabatmu melambung tinggi dan di jatuhkan kembali ke neraka hanya mendapati kekasihnya tidak akan pernah hidup kembali bukan?"
"Jadi... dia belum tentu akan hidup walaupun berada di tangan dokter terkenal sepertimu?"
"Kehidupan selalu berada di tangan Tuhan, Mr. Russell."
"Kapan tepatnya aku bisa mengabarkan—"
"Dua bulan, kita tunggu selama dua bulan. Apakah Lidya Prescott berhasil bertahan." Lalu Thalia bergegas keluar dan berkata kepada para kru rumah sakit. "Tidak ada yang boleh memasukki atau menggunakan ruang perawatan darurat untuk sementara waktu!"
"Baik, dokter!"
Setelah mereka semua dengan terpogoh-pogoh keluar, Max mengepalkan tangannya dengan perasaan tidak menentu. Ia memang tidak berencana mengatakan keberadaan Lidya untuk sementara waktu, tapi jika Lidya tidak berhasil melewati semua ini lantas apa gunanya semua usaha mereka?
Nyatanya, selama dua bulan kedepan mereka harus tetap melihat Ewan terpuruk.
TBC | Reupdate 30 July 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top