93

'Mencintaimu dalam diam, terluka oleh sunyi dan berakhir pada ketidakpastian.'

–Robert Arthur Wellington.

Robert Arthur Wellington adalah pria keras hati yang memiliki puluhan properti di seluruh dunia dari hasil kerja kerasnya. Ia memegang kekuasaan penuh atas ribuan pegawai yang bekerja di bawahnya. Tapi hidupnya tidak sempurna.

Dalam diam, Robert memegang dua gelas wine dan mengisinya dengan Wine merah kesukaan istrinya. Ia menatap pada nisan di hadapannya, begitu jelas dan menyakitkan.

'Jesslyn Amy Wellington'

Robert meletakkan salah satu gelas wine di depan nisan tersebut, sementara satu gelas lagi di genggamnya. Ia mengelus pinggiran nisan itu dengan lembut, "selama ini aku sudah menyakitimu, ya kan, Jess?"

"Aku sudah melukai kalian berdua, menghancurkan rumah tangga kita dan bahkan menghancurkan anak itu." Robert duduk di depan nisan dengan perasaan hancur. Ia memperlihatkan kelemahan yang tidak pernah di tunjukkannya di hadapan siapapun. "Aku mencintainya, Jess. Aku sangat mencintai anak itu dan mencintaimu." Robert menarik nafas panjang. "Tapi aku terlalu bodoh..."

Terlalu bodoh untuk melihat kenyataan, terlalu bodoh untuk percaya, si bodoh yang menyedihkan. Iya, Robert sudah mengetahui segalanya dari anak buahnya. Ia telah di bodohi selama beberapa tahun ini dan bahkan berusaha mengabaikan perasaan sayangnya hanya karena drama yang sengaja di buat oleh Prescott.

"Aku bahkan tidak pantas mencintaimu lagi, Jess..." bisik Robert.

Beberapa tahun ini, Robert tersiksa dengan keangkuhannya sendiri. Ia menolak untuk mencintai Marshall, anak yang sangat di banggakannya. Ia menolak Jesslyn, istri yang sangat di cintainya. Robert menolak semuanya dan malah terperangkap oleh drama yang di buatnya sendiri.

Masih dalam perasaan bersalahnya, Robert mendengar seseorang berjalan kearahnya. Dengan harga diri yang masih tersisa, Robert menegakkan tubuhnya sembari berdiri. Ia mengibaskan rumput yang menempel pada celananya dan berkata dengan dingin,"Aku tidak suka di ikuti."

"Maafkan saya, Mr. Wellington. Tapi ada sesuatu yang harus kita bicarakan." Robert mendengar suara tegas itu dan menatap pria itu. Dengan tatapan menyelidik Robert meneliti raut wajah Eugene di hadapannya, lalu mendengus dan membalikkan tubuhnya. Robert menghentikan langkahnya saat Eugene berkata, "Ini mengenai Ewan."

Kedua tangan Robert yang berada di dalam saku mengepal. Dengan rasa terkejut yang tidak lagi di tutupi, Robert membalikkan kembali tubuhnya. "Apa yang terjadi dengannya?"

"Lidya Prescott meninggal."

"Dia mau hidup atau mati sama sekali tidak ada hubungannya denganku," ucap Robert dingin.

Eugene tersenyum kecil saat Robert mengucapkan kalimat dingin tersebut. Ia menatap pria di hadapannya dan kembali berkata, "Walaupun kematiannya membuat Ewan menjadi tidak waras?" Eugene diam sesaat seolah menelaah wajah Robert dan berbisik pelan, "Dia terluka walaupun tidak berdarah Mr. Wellington."

"Anak itu akan belajar melupakannya, pada waktunya nanti akan tiba bagi anak itu untuk sadar bahwa kegilaan tidak akan membawa kewarasaannya kembali."

Saat Robert membalikkan tubuh dan hendak melangkah pergi, Eugene berkata tegas," Dia tidak akan pernah sadar, sama seperti anda yang selalu mengharapkan istri anda kembali lagi, Sir." Tubuh Robert menegang namun Eugene berusaha tidak memperdulikannya. "Kalau anda bilang Ewan akan sadar, bagaimana jika anda bertanya kepada diri anda sendiri, apakah anda pernah sadar bahwa istri anda tidak akan pernah kembali? Bahwa anda adalah orang terakhir yang ingin di lihat oleh istri anda namun anda menolak untuk menemuiya semata-mata karena kemarahan anda?"

"Anda selalu menyesalinya bukan?" Eugene menarik nafas pelan. "Dia juga kini sama dengan anda."

Lalu Eugene berjalan menjauh dari tempat pemakaman itu, meninggalkan Robert dengan berbagai kenyataan yang menampar pria itu. Setelah kepergian Eugene, Robert menatap ujung kakinya dan tanah yang di pijaknya. Setelah pergelutan panjang yang melintas di benaknya, Robert mengambil ponselnya dari saku dan menghubungi seseorang.

"Kane, aku membutuhkan bantuanmu."

*

"Dari mana saja kau, Gene?"

Simon menatap Eugene dengan tatapan marah. Namun ketika Eugene tidak menjawab, Simon menghela nafas panjang seolah lelah. "Tolong jangan bersikap semaumu. Hari ini adalah hari yang penting bagi kita, kau mengerti?"

"Aku tahu."

"Apakah... Ewan benar-benar mau menghadiri pemakaman Lidya?" Simon bertanya dengan suara pelan sambil diam-diam membodohi dirinya sendiri. "Maaf, aku tidak seharusnya—"

"Dia harus sadar bahwa orang yang sudah meninggal tidak akan pernah kembali, Simon."

"This too cruel, don't you think?"

"Ini adalah kenyataannya." Eugene melepaskan mantel dan menggantungkannya di belakang pintu, namun tangannya masih meremas kasar mantel tersebut. "Kenyataannya adalah orang yang telah meninggal tidak akan pernah tahu sedalam apa luka yang di torehkannya kepada kita. Kenyataannya, kita hanya bisa bertahan dengan semua rasa sakit ini."

"Eugene—"

"Dia harus tahu kalau tidak ada yang bisa menyelamatkannya kecuali dirinya sendiri."

Setelah kalimat itu terlontar, Eugene bergegas berjalan masuk meninggalkan Simon yang masih terpaku di tempat. Di tempat Simon menghela nafas, menyadari ponselnya berdering kacau. Ia mengangkatnya dan dengan singkat berkata, "Kita bertemu di sana."

Di dalam kamar, Eugene melihat Ewan tengah tidur menyamping di atas tempat tidurnya. Perlahan Eugene mendekati Ewan dan duduk di samping tempat tidur, tanpa mengecek, Eugene tahu bahwa Ewan tidak sedang tertidur. "Kenapa kau di sini, Ewan?"

"Aku tidak bisa tidur."

"Masih sulit tidur?" Tanya Eugene.

"Di mana-mana ada aromanya dan suaranya, Gene..." ucap Ewan pelan. Perlahan Ewan mengubah posisinya menjadi duduk. Ia mengabaikan rambutnya yang berantakan dan wajahnya yang terlihat letih. Ia menyandarkan punggungnya sambil bertatapan dengan Eugene. "...bagaimana kau bisa melewati semua ini, Gene?"

Eugene menatap Ewan.

"Aku membutuhkan lebih dari lima tahun untuk bisa menerima istriku telah meninggal, Ewan dan aku membutuhkan puluhan gelas Tequila dan sejenisnya untuk membuatku tetap sadar." Eugene mengatupkan kedua tangannya di atas pangkuan, semenara matanya tidak fokus ketika mengingat apa saja yang sudah ia lalui. "Aku tidak bisa menerima kenyataan, aku tidak bisa tidur dan aku menangis seperti orang bodoh."

Lalu Eugene perlahan menatap kembali wajah Ewan, dan matanya terpaku pada mata hijau Ewan yang terlihat kosong.

"Lalu aku mulai berandai-andai. Aku mulai membuat cerita bahwa istriku menceraikanku karena aku bukanlah orang yang penting baginya, atau istriku menemukan orang yang lebih baik yang mungkin bisa menjaganya lebih dari pada diriku." Eugene tersenyum masam, "lima jam pertama semuanya berhasil. Aku bisa membuat diriku lepas dari rasa sedih, yang kemudian berubah menjadi amarah."

"Apakah kau... sanggup melakukannya?"

"Tidak." Eugene menggeleng. "Pada saat pulang ke dalam rumah, aku mulai berhalusinasi. Aku mulai mendengar suaranya yang kerap mengatakan bahwa dia mencintaiku. Aku mulai mencium aromanya, dan aku bisa membayangkan bagaimana dia suka memelukku, Ewan." Eugene tersenyum masam kembali kearah Ewan. "Lalu aku sadar, aku terlalu bodoh untuk membuat scenario palsu. Aku terlalu mencintainya untuk merusak kenangan kami. Dan aku menyerah."

"Apakah berhasil?" Tanya Ewan pelan.

"Seringkali gagal, Ewan. Tapi jika aku tidak bisa menemukannya di dunia ini, maka aku bisa kembali menikahinya di dunia lain. " Eugene menepuk pundak Ewan seolah menguatkan. "Aku akan menemukannya, Ewan. Begitupula denganmu."

"Aku harus menerimanya, bukan begitu?"

"Jangan menyalahkan dirimu terlalu sering, Ewan."

"Aku tidak bisa melangkah tanpanya, Gene. Lima tahun yang lalu aku yakin bahwa dia adalah kekasih terburuk dan aku bisa menjalani sisa hidupku tanpanya." Ewan tersenyum sedih. "Lalu dia menamparku dengan ratusan kenyataan, bahwa tanpa dia... adalah mustahil."

"Dia memang menghilang, tapi dia masih ada di sini." Eugene menujuk dada Ewan. "Dia akan tetap di sana hingga kau menemukannya."

Lalu Eugene bangkit, memasukkan tangan kedalam sakunya. Ia menoleh kearah langit-langit kamar seolah berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk di sampaikan. Ketika siap, ia menatap kembali sosok Ewan yang terlihat kalah di hadapannya. "Terkadang kenyataan tidak selalu menyakitkan, dan ilusi tidak selalu menyenangkan. Dan terkadang, kau membutuhkan kedua hal itu untuk melihat dan berharap. Have a faith, Ewan. You will need it more than anything."


TBC | 17 Nov 2018
Repost | 20 Juni 2020

Kami balik lagi nih, tapi mohon dengan sangat untuk saling menghargai setiap waktu orang lain.

Thanks yang udah mau nunggu dan sabar sama cerita ini.

- Love, Us -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top