92

Bagi Ewan, jatuh cinta sangat mustahil baginya. Karena jatuh cinta itu berarti mempercayakan hatinya kepada seseorang, yang belum tentu bisa menjaga hatinya. Ia pernah di kecewakan oleh ayahnya dengan segala perlakuan yang menyakitkan, jadi jatuh cinta berada di pilihan terakhir yang dimilikinya.

Ia sangat yakin bahwa tidak ada satupun wanita yang bisa menghangatkan ataupun mengambil hatinya. Bukan karena ia sombong ataupun congkak, tetapi karena Ewan berpikir ia tidak akan pernah menemukan wanita itu.

Dan ia bertemu dengan wanita itu.

Wanita berambut pirang kecoklatan, dengan mata yang mampu menghipnotisnya dan bulu matanya yang lentik. Dengan lekuk tubuh yang bisa Ewan tebak tidak pernah memakai pakaian ketat seperti wanita yang selalu di kencaninya, Ewan tahu... sejak pertama kali melihatnya, ia sudah jatuh cinta.

Ia sudah jatuh cinta ketika wanita itu menghampirinya yang tengah tiduran di atas rumput dengan sebuah buku di letakkan tepat di wajahnya untuk menghalau sinar matahari. Wanita itu berlari kearahnya dan memanggil nama kecilnya seolah-olah mereka sudah lama kenal.

"Hei, Marshall!"

Wanita itu berlari di atas rerumputan dan berlutut di sampingnya, sementara itu Ewan diam dengan sengaja mengabaikan wanita itu. Awalnya Ewan berpikir wanita itu akan segera pergi seperti wanita lain, namun wanita itu tidak melakukan apa yang di pikirkannya. Wanita itu mengambil buku yang menutupi wajahnya dan dengan senyum merekah, ia berkata, "Namaku Lidya Prescott."

Ewan tidak membuka matanya.

"Kau semester tingkat tiga yang mendapatkan IPK full dalam tiga semester bukan?! Aku membutuhkan bantuanmu!"

Ewan masih mengabaikannya.

"Prof Daniel tidak mau menandatangani proposal yang kuajukan untuk subject yang kuambil jika tidak di periksa olehmu." Melihat pria di hadapannya masih juga tidak menjawab, Lidya dengan sengaja memperlihatkan wajahnya di hadapan pria itu dan berkata dengan lugas, "Aku akan melakukan apapun, jika kau mau menolongku."

Kali ini Ewan membuka matanya, mendorong pelan wanita itu dan menegakkan tubuhnya sendiri. Ia menoleh kearah wanita di hadapannya dengan malas, "melakukan apapun?"

Wanita itu mengangguk.

"Bagaimana jika aku mengatakan kalau aku menginginkan sex darimu?" Ewan bisa melihat mata wanita itu terbelalak karena terkejut. Dengan sengaja Ewan mendekatkan bibirnya di telinga kanan wanita itu dan berbisik, "Sex yang hebat dan panas."

Ewan menikmati bagaimana wajah wanita itu memerah karena ucapannya. Lalu Ewan menyentil hidung Lidya dengan jarinya hingga wanita itu meringis. Ewan bangkit, membersihkan sisa rumput yang menempel sembari memakai kacamatanya, ia tersenyum malas dan berkata, "Jangan memancing pria yang aktif, Nona. Atau kau benar-benar akan berakhir di tempat tidur."

"Dasar pria mesum!"

"Seharusnya kau sudah tahu hal itu ketika meminta bantuanku," jawab Ewan sambil tertawa renyah. Ia melambaikan tangan sembari melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. "Bye, cantik."

"Tu-tunggu!!"

Lidya berlari dan bergegas menahan Ewan. Ia menarik kerah pria itu dan terpana dengan kedalaman bola mata yang berwana hijau itu dengan iris kecoklatan. Mata pria itu tertawa jenaka, sementara bibir pria itu penuh dan mengundang untuk di cicipi. Untuk seperkian detik, Lidya menahan nafas namun kesadarannya langsung kembali ketika pria itu mengusap puncak kepalanya dengan gerakan lembut yang membuai, "Katakan kepada Prof Daniel, aku akan membantu penelitiannya di Michigan minggu depan. Dia pasti akan langsung menandatangani proposalmu."

"Tapi, kau bahkan belum memeriksa proposalku."

"Aku tidak perlu membacanya, tapi aku tahu kau sudah melakukannya dengan baik. Itu sudah lebih dari cukup."

"Tapi—"

"Kau wanita yang terlalu banyak berkata 'Tapi', kalau seseorang membantumu, kau seharusnya mengatakan apa?"

"Eh? Te-terima kasih," jawab Lidya canggung.

Dan lagi-lagi Ewan mengusap puncak kepala Lidya dengan lembut, mengacak-acak tatanan rambut wanita itu yang di ikat rapi di puncak kepala. "Good girl. Sekarang, aku harus masuk ke dalam kelas. Kau bisa sendiri ke ruangan Prof Daniel bukan? Atau perlu kutemani menghadapnya?"

Lidya langsung menggeleng.

"Ti-tidak perlu. Aku bisa melakukannya, Marshall. Eh—" Lidya menatap pria itu dan menggigit bibirnya canggung sebelum berkata,"Aku hanya tahu namamu Marshall, itupun dari Professor. Aku... tidak tahu nama sopan yang harus kupanggil."

"Marshall. You should call me Marshall."

*

"Marshall..."

Ewan membuka mata perlahan, menyadari sahabatnya berada di hadapannya dengan wajah khawatir yang sangat ketara. Ia menutup matanya kembali, dengan malas menutupi wajahnya dengan lengan. "Go, jangan ganggu aku untuk sementara..."

"Prescott menemukan satu jenazah, kau ingin ikut melihatnya?" tanya Aram pelan.

Ia tidak menjawab. Itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah di dengarnya. Sampai matipun, Ewan tidak akan mau melihat jenazah itu. Lidya pergi meninggalkannya, sama seperti sebelumnya. Bukannya meninggal.

Ewan akan menggoreskan ucapan itu terus menerus di benaknya, lebih baik menerima wanita itu meninggalkannya dengan laki-laki lain atau karena alasan lain daripada menerima kalau wanita itu meninggal. Persetan! Di saat biasa, mungkin Ewan akan melontarkan segala sumpah serapahnya kepada sahabatnya itu. Tapi tidak sekarang.

Tidak ketika ia mengalami kesulitan bernafas.

Tidak ketika ia bahkan tidak sanggup menggerakkan tubuhnya sama sekali.

"Kami sudah menyiapkan makanan di luar, bangunlah dan bergabung dengan kami, Ewan," ucap Aram. Ia menyerah mencoba berbicara dengan pria batu itu yang terus mengabaikannya. "Berhentilah bersikap seperti ini, Ewan. Kau harus bisa melaluinya."

"Cukup Aram, ayo keluar." Max memasukkan tangan kedalam saku dan mengendikkan kepalanya, menyuruh Aram untuk keluar. Ketika pintu tertutup sempurna, dan hanya ada mereka berdua, Max berkata pelan, "Yang berduka bukan hanya dirimu, ada ratusan alasan kenapa kau boleh menangis Ewan, tapi ada ratusan alasan juga yang menyuruhmu untuk bertahan."

Ewan terdiam.

"Dia akan menyesal mencintai pria lemah sepertimu,"ucap Max sarkastik.

Ketika Ewan tidak juga menjawab atau mengeluarkan sumpah serapah kepadanya seperti yang biasa di lakukannya, Max menghela nafas panjang dan hendak pergi. Langkahnya terhenti ketika ia mendengar sahabatnya itu berkata lirih dan begitu pedih. "Dia tidak cukup mencintaiku untuk kembali kepadaku, Max. Dan aku terlalu lemah untuk mengabaikan kenyataan bahwa cintaku kepadanya lebih besar dari apapun."

Max terdiam, menatap Ewan yang menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Ewan menangis, dalam diam dan Max tahu itu. Dulu, pria itu menangis dalam diam dan hanya Max yang mengetahuinya. Max berusaha mengabaikan kenyataan bahwa pria itu terluka, ia terus berpikir bahwa Ewan selalu mampu melewati segala masalah dengan baik.

Tapi kali ini... Max tidak bisa melakukannya.

Pria itu hancur, dan ketika Ewan berkata, "Aku mencintainya dan terlalu lemah untuk mengabaikan kenyataan bahwa ia sudah tidak ada. Bahwa ia meninggalkanku dengan segala perasaanku, Max. Kalau istrimu adalah hartamu yang berharga, bagiku...Dee adalah penunjuk jalanku. Dan aku tahu, kalau aku tidak akan bisa bergerak tanpa dia. Aku tidak mampu mengeluarkan sisi terbaikku tanpa dia. Dan aku tidak bisa bernafas... tanpa dia." Max tahu pria itu hancur dan tidak akan bangkit seperti yang di harapkannya.

"Dan apa lagi yang tertinggal dariku ketika dia tidak ada, Max?"

Max tidak bisa menjawab, ia berharap ia memiliki jawaban yang bisa membuat Ewan menggodanya, marah atau tertawa dengan cara menyebalkan yang di ketahuinya. Tapi Max tidak bisa. Ia tidak bisa menjawab apapun, alih-alih memberikan jawaban, Max menarik nafas dan membuka pintu kamar Ewan. Sebelum menutupnya, Max berbisik, "Aku akan berusaha mendapatkan penerangmu..."

"Hanya dia..." bisik Ewan.

Dan pintu tertutup.

Max menutup matanya erat-erat, membayangkan bagaimana jika istrinya meninggal. Membayangkan tidak akan ada lagi tawa menyebalkan dari Ewan yang akan di rindukannya. Ini bukan Ewan, ini bukan sahabatnya. Siapapun yang berada di dalam, bukanlah Ewan yang di kenalnya.

"Dia akan hancur. Sooner or later, Max. Kita harus melakukan sesuatu."

Mendengar pernyataan itu, Max mengangkat kepalanya dan menatap Aram yang bersandar pada dinding di hadapannya. Ia menghela nafas dan mengepalkan kesepuluh jemarinya kemudian mengangguk setuju.

Di balik pintu, Ewan menatap keseluruh ruangan yang tadinya ia kunci rapat-rapat, ruangan yang seharusnya tidak lagi ia masuki kembali. Tapi hanya di ruangan ini saja di mana ia bisa bernafas. Ruangan ini saja yang seolah-olah menunjukkan eksistensi Lidya. Ia bangkit dari tempat tidur dan mengelilingi ruangan tersebut.

Ruangan itu di penuhi dengan foto mereka, ruangan itu di penuhi dengan bukti bahwa wanita itu pernah hidup dan berbagi kenangan dengannya. Lalu air mata Ewan mengalir dan ia tertawa begitu besar hingga tenggorokan dan dadanya terasa sakit. Ia ingin menghempaskan seluruh rasa sakit di dadanya lalu ia mulai menyalahkan dirinya sendiri

Kalau saat itu, ia menjemput Dee, semua ini tidak akan terjadi. Kalau saat itu, ia bersikeras memaksakan kehendaknya dengan menculik wanita itu ke kamarnya, semua ini tidak akan terjadi. Ia tidak akan kehilangan wanita itu dan ia tidak akan kehilangan penuntun jalannya.

Ketika Ewan sudah merasa lebih tenang, Ewan mengambil salah satu foto mereka yang di pigura dan sangat disukainya. "Should I let you go, or fight once more time?"

TBC | 28 okt 2018
Repost | 13 Juni 2020

Apa yang bakalan kalian rasakan jika menjadi Ewan? Dia kehilangan sumber kehidupan dia 🥺. Kalau miss k udah pasti ancur sih 😭

P. S: Maaf sekarang agak tersedat repostnya. Miss K udah bilang sebelumnya miss K udah kerja kaya biasanya dan kadang pulang lebih dari jam kerja biasanya. Karena banyak yang harus diurusin miss K gak sempet buka akun ini. Apalagi Nath, dia sibuk sama hal lain dan revisian sana sini, belum sama kerjaan dia juga jadi gak ada yang sempet repost HT. Tapi terima kasih buat semuanya yang udah ngertiin kami 🙏

Jangan lupa vote dan comment

Thanks

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top