90
Ewan memeluk tubuh Lidya dan mengelus lengan atas wanita itu, sementara Lidya menyurukkan kepalanya pada dada bidang Ewan dan bernafas teratur. Ia mendekatkan wajah di pipi Lidya dan berbisik, "Aku mencintaimu, Agapi Mou..."
"Aku tahu."
"Sejak kapan kau jadi sombong?" tanya Ewan sambil tertawa, Ia mengecup pipi Lidya dengan gemas. "Aku akan mengucapkannya berulang kali hingga kau bosan."
Perlahan Lidya mendongak untuk menatap Ewan dan tersenyum sebelum berkata, "Masalahnya aku tidak akan pernah bosan mendengarmu mengatakan hal itu, Marshall. Karena aku suka mendengarmu mengatakan kalimat itu."
"Agapi Mou?" tanya Ewan.
Lidya tertawa, kemudian ia duduk di atas tubuh Ewan dan perlahan menundukkan kepalanya hingga sejajar dengan pria itu. Ia tersenyum dengan tangan mengelus dada bidang Ewan lalu mengecup bibir pria itu lembut, "Aku mencintaimu Marshall."
Ketika Ewan ingin mengucapkan sesuatu, Lidya menahannya dengan menutup mulut pria itu dengan telapak tangannya. "Aku mencintaimu dan akan selalu kembali padamu, Marshall. Dan apapun yang terjadi padaku nanti, atau mungkin terjadi pada 'kita', kau harus selalu ingat bahwa kau selalu di hatiku."
"Aku tidak suka kau mengucapkan hal bodoh itu," ucap Ewan. Dengan santai Ewan mengambil cincin yang di letakkannya di atas nakas dan memasangkan cincin itu ke jari Lidya. "Ini adalah bukti bahwa kau akan segera menjadi istriku, Agapi Mou."
Dan Ewan melepaskan kalung di lehernya dan memasangkannya ke leher Lidya. "Dan ini...adalah kunci untukmu kembali ketika kau tersesat."
"Aku bukan kucing liar yang akan tersesat, Marshall," ucap Lidya sambil tertawa namun ia mengusap air matanya yang mendadak muncul. "Aku tidak akan tersesat, karena aku tidak akan kemana-mana..."
"Berjanjilah kau akan kembali ketika kau memang harus pergi," ucap Ewan.
"Berjanjilah kau akan menungguku, Marshall,"ucap Lidya.
"I will," ucap mereka berdua sebelum akhirnya kembali berpelukan di atas ranjang sambil tertawa. Itu adalah janji singkat mereka sebelum menikah, mereka akan saling mempercayai satu sama lain. Bagi mereka, itu adalah satu janji penting yang tidak akan mereka lupakan.
°
Lima tahun yang lalu, Ewan berdiri di hadapan pendeta dan ratusan saksi akan kebahagiaannya. Dan ia di hancurkan begitu saja oleh masalah bodoh. Di sini, hari ini...Ewan kembali berdiri dengan hanya beberapa saksi orang terdekatnya dan dengan sebuah buket bunga rangkaian florist ternama yang berasal dari Jerman. Wajahnya tersenyum seperti orang bodoh, dan begitulah yang diucapkan oleh kedua best man nya.
"Hentikan seringai konyolmu Ewan," ujar Maximillian.
"Wajah konyolmu terlihat lebih bodoh dengan senyuman, Ewan," lanjut Aram sambil membenarkan letak jas-nya. Ia kembali memutar bola matanya ketika Ewan masih memperlihatkan senyum lebarnya. "Oh God, wajahmu memalukan! Apakah ini yang di sebut sebagai the most wanted bachelor in United States? Para wanita di luar sana pasti bodoh karena memberikanmu sebutan seperti itu."
"Memangnya mereka seharusnya menyebutku apa?" tanya Ewan dengan senyuman yang tidak hilang dari wajahnya. "Oh, harusnya mereka menyebutku the most handsome bachelor in world. Iya kan?"
"Handsome my ass!" teriak Max dan Aram bersamaan.
Dan Ewan tertawa.
Ia begitu bahagia hari ini, dan mungkin kebahagiaannya tidak akan bisa di samakan saat ia memenangkan tender ratusan juta dollar atau saat berhasil memenangkan lelang club malamnya. Ini lebih... ini melebihi kebahagiaan yang bisa di tanggungnya.
Mata Ewan menatap buket bunga yang di pegangnya. Pasalnya, seharusnya bukan mempelai pria yang memegang buket tapi Ewan ingin memberikan buket indah ini secara langsung kepada Lidya—Calon istrinya.
Lalu kemudian Pastur George hadir dengan membawa sebuah buku di hadapan Ewan dan bertanya, "Apakah mempelai pria sudah siap?" Ketika Ewan mengangguk, Pastur George bertanya lagi, "Kemana mempelai wanita?"
"Belum hadir, Father," jawab Max sopan.
"Baiklah, mari kita menunggu dengan tenang." Pastur George tersenyum kepada Ewan dan berkata, "Aku senang kau mendapatkan kembali mempelaimu yang hilang, Marshall. Penantian selalu berujung dengan kebahagiaan bukan?"
Ewan tersenyum.
°
"Kemana, Lidya?!" tanya Aram sambil memeriksa jam tangannya berulang kali. "Seharusnya dia sudah sampai, dari kota ke sini seharusnya tidak sampai tiga puluh menit."
"Aku akan menghubungi orangku," ucap Max sebelum meninggalkan Ewan dan Aram.
Sepeninggalan Max, segalanya menjadi lebih kacau. Beberapa saksi mulai mempertanyakan apakah mempelai wanita akan datang atau tidak. Sementara itu, Ewan telah berhenti tersenyum sejak sepuluh menit yang lalu. Ia merasa seolah-olah di ingatkan kembali kemasa lima tahun yang lalu, di mana ia menunggu dan kembali menunggu seperti orang bodoh. Di tempat yang sama.
Dia akan datang.
Lidya akan datang dengan gaun putih pilihannya, dengan kalung pemberiannya dan dengan senyum seperti biasanya. Wanita itu akan berkata maaf karena terlambat. Ketika memikirkan skenario itu, tangan Ewan terkepal. Iya, dia akan mengatakan hal itu..., pikirnya
"Dia akan datang, Ewan. Kau harus mempercayainya."
Ucapan itu berasal dari Natalie, istri Aram yang kini mengenakan gaun berwarna Hijau Tosca yang terlihat menakjubkan di tubuh wanita itu. Natalie mendekati Ewan dan menggenggam tangan pria itu lembut, seolah memberikan kekuatan kepada pria itu. "Kau harus mempercayainya, dia tidak akan melakukan kebodohannya lagi."
"Natalie..."
"Karena dia mencintaimu, Ewan." Natalie menggenggam tangan Ewan sekali lagi. "Yang harus kau lakukan adalah menunggunya."
Ewan mengangguk.
Namun ketika menit berubah menjadi jam, hati Ewan berubah menjadi rasa ketakutan yang sangat besar. Tapi ia tidak mengatakan apapun. Bibirnya seolah kelu, dan ia memilih untuk tidak mengatakan apapun, hingga Aram menghubungi orangnya dan Ewan mendengar, "Kemacetan? Ada kecelakaan?"
Aram menjauhkan ponselnya lalu menepuk pundak Ewan, "Mungkin Lidya terlambat karena ada kecelakaan di kota." Lalu ketika ia sudah memasukkan kembali ponselnya, Aram kembali menepuk pundak Ewan berulang kali. "Dia akan datang, Ewan. Kita akan memastikan hal itu terjadi."
"Dia akan datang Aram. She will coming to me..." bisik Ewan pelan.
Mendadak dari arah pintu masuk, Maximillian yang biasanya tidak memperlihatkan raut wajah apapun selain datar, kali ini memperlihatkan wajah cemasnya. Ia berlari dengan cepat kearah Ewan dan untuk sejenak ia tidak bisa mengatakan apapun.
Yang pertama kali mengeluarkan suara adalah Aram. Pria itu mengernyit kearah Max dan bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Terjadi kecelakaan..."
"Yeah, I know. Tapi kecelakaan tidak akan membuat wajahmu menjadi—"
"Lidya mengalami kecelakaan," ucap Max pelan. Tangannya terkepal dan matanya tidak berani menatap kearah Ewan. "Yang mengalami kecelakaan itu adalah mobil yang di tumpangi oleh Lidya. Mobilnya..." Max menarik nafas dan berkata, "...ban mobilnya slip akibat hujan semalam dan menabrak pembatas."
"Jangan bercanda, Max. Ini candaan yang konyol!" teriak Aram.
"Menurutmu aku bercanda?!" Max menarik nafas berulang kali untuk menetralkan jantungnya. "Aku tidak memiliki selera bercanda hingga melibatkan kematian seseorang, Alford!"
Dan Ewan tidak berkata apapun. walaupun kedua sahabatnya tengah berdebat, walaupun istri sahabatnya tengah menangis dan berusaha menenangkannya. Ewan tidak merasakan apapun. Ia hanya terdiam, seolah-olah yang mereka lakukan hanya memberikan degungan di telinganya.
Dia akan datang.
Kejadian buruk di masa lalu hanya akan terjadi sekali, bukankah orang bijak selalu berkata seperti itu? Jika kita sudah lepas dari satu masa buruk, yang tersisa hanyalah kebahagiaan. Bukankah begitu? Lantas mengapa mempelai pengantinnya belum datang menghampirinya?
Belum selesai hatinya tertata, mendadak Eugene masuk dan berlari kearah mereka dengan wajah pucat. Aram dan Max memblokir kedatangan Eugene dan langsung bertanya, "Di mana Lidya?"
"Ewan..." panggil Eugene dengan nafas terengah-engah. "Maafkan aku..."
Eugene tidak pernah mengatakan maaf kecuali hal itu berakibat fatal bagi Ewan. Bagi Eugene, kebahagiaan Ewan adalah yang utama. Dan kecelakaan yang menimpa Lidya satu jam yang lalu, telah membuktikan bahwa Eugene telah lalai menjaga kebahagiaan Ewan. Perlahan ia menyodorkan telapak tangannya dan ketika membukanya di hadapan Ewan, mereka semua melihat sebuah cincin.
"Aku hanya bisa menemukan ini di dalam mobil."
Dalam diam Ewan mengulurkan tangan dan mengambil benda tersebut. Saat itu jantung Ewan seolah-olah di tikam oleh sebilah pedang, ia merasa jantungnya tidak bisa berdetak dan ia tidak bisa bernafas dengan baik. Ini adalah cincin yang di berikan kepada Lidya.
'Apapun yang terjadi, tempatku pulang hanyalah dirimu, Marshall'
Ewan menatap Eugene dengan mata berkaca-kaca, "Di mana dia...?" bisik Ewan pelan dengan tangan menggenggam cincin tersebut. Ia tersenyum menahan tangis kearah Eugene. "Dia bersamamu, Iya kan Gene? Dia bilang, dia akan membiarkanmu menjaganya."
Eugene tidak menjawab.
"DI MANA DIA SEKARANG?!" teriak Ewan mengguncang tubuh Eugene.
Tidak ada yang menjawab, dan walaupun Maximillian serta Arram mengetahui jawabannya. Mereka tetap tidak menjawab atau mengutarakan apa yang harus mereka utarakan, sebab walaupun kejujuran akan lebih baik. Tapi kali ini... kejujuran yang akan mereka utarakan merupakan kehancurkan seorang Ewan Wellington.
Dan mereka tidak bisa melihatnya.
Beberapa menit yang lalu, berita telah masuk ke dalam email Maximillian dan Aram bahwa terjadi kecelakaan pada mobil yang di tumpangi oleh Lidya Prescott di akibatkan oleh ban slip yang tidak bisa di kendalikan sehingga mobil menabrak pembatas dan masuk ke dalam jurang. Dan tidak ada satupun dari mereka yang mampu mengatakan atau memberitahu Ewan mengenai berita ini.
Karena tidak ada satupun dari mereka berdua yang mampu melihat raut kesedihan di wajah Ewan. Jadi Aram maupun Maximillian hanya bisa memeluk istrinya dengan perasaan sedih.
"Dia pasti terlambat datang. Aku akan menjemputnya," ucap Ewan. Dengan gemetar ia merapikan jas-nya, ketika hendak memutar tubuhnya ia mendengar Eugene berkata dengan suara serak, "Dia tidak di temukan Ewan. Lidya tidak di temukan di manapun setelah mobilnya masuk ke dalam jurang!"
Ketika Ewan membalikkan tubuhnya, ia melihat untuk pertama kalinya Eugene menahan tangisnya. Pria itu... salah satu orang yang di percayainya berlutut di hadapannya dengan menahan tangis, "Kami sudah berusaha mencarinya di laut. Dan tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada—"
"Dia pasti menungguku," putus Ewan.
Simon melangkah dan memberikan sebuah kartu ucapan yang sudah basah kepada Ewan. Mata Simon memerah ketika menyerahkan kartu tersebut. "Ini...satu-satunya yang bisa kami temukan setelah cincin itu, Ewan."
Perlahan Ewan membuka kartu ucapan itu, dan seluruh tubuhnya seperti jelly. Hancur dan tidak berdaya, dan tanpa sadar Ewan berteriak, meringis serta menangis, memanggil nama kekasihnya seolah-olah hal itu bisa membuat kekasihnya kembali kepadanya. Untuk terakhir kalinya, Ewan sadar ia sudah di tampar sekali lagi oleh kenyataan bahwa kebahagiaan setelah mimpi buruk hanyalah sebuah dongeng.
"I'm Lidya Wellington officially called you as my husband—Your Wife."
TBC | 17 Juni 2018
Repost | 5 Juni 2020
Gimana tanggapan kalian tentang part ini? siapa yang jadi bucin? *smirk*
P.s : Halo semuanya? gimana kabar kalian? karna sekarang udah mulai 'new normal' jadi miss K udah kerja kaya biasanya. Maaf banget buat beberapa hari ini miss K gak repost soalnya pulangnya malem terus dan pas nyampe rumah udah keburu ketiduran saking capenyal. Kayanya untuk beberpa waktu kedepan miss K gak bisa update setiap hari karna udah mulai ngurus ini itu dikerjaan, tapi Sesuai janji Nath, HT akan ditamatin dulu di WP jadi kalian tenang aja. okay?
untuk bantu cerita ini, Pasukan spamer and voter uda siap kerja keras?
More info follow ig Bakwan : Ewan_Wellington
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top