Bab 84. Terbongkar
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Suasana kafe yang tutup lebih awal itu berubah tegang dan sunyi dengan hanya terdengar helaan napas dari keempat orang di sana. Reza masih berdiri sambil menunggu jawaban dari partanyaannya, sementara ketiga orang lainnya saling menatap dengan memberi isyarat melalui mata. Karena tidak ada yang bergerak juga, akhirnya Alesha berdiri lalu berjalan ke arah Reza untuk mengajak pria itu bergabung bersama mereka.
"Rasanya nggak adil kalo hanya kita yang dirugikan dan merasakan kemarahan terhadap Om Beni. Kita buat anak satu-satunya ini juga tau kebusukan ayahnya."
Alesha berbicara kepada Bagas dan Glen lalu mengambil berkas berisi bukti-bukti kejahatan Beni. Wanita itu menyerahkan berkas tersebut kepada Reza dan meminta pria itu untuk membaca semua informasi dengan saksama.
Wanita yang sudah membuka blazernya dan menyisakan blus merah muda berbahan sifon itu menerima uluran tangan Bagas lalu duduk di samping pria itu. Mereka sama-sama cemas menunggu reaksi dari Reza setelah membaca semua bukti-bukti tersebut. Lima belas menit berselang, tidak ada perubahan dengan ekspresi wajah Reza. Alesha dan kedua pria lainnya berpandangan dengan mengangkat bahu.
Alesha berdekip dua kali sebelum mengetuk meja tepat di hadapan pria yang masih menunduk memperhatikan dokumen itu.
"Ah, iya?" Reza mendongak dengan wajah seputih kapas.
"Lo nggak apa-apa?"
"Ini ... ini semua beneran perbuatan bokap gue?"
Ketiga orang di hadapannya itu mengangguk bersama.
Reza menggeleng-geleng seperti orang linglung. "Nggak. Nggak mungkin bokap gue sejahat itu, Sha! Justru bokap gue yang bantuin usaha bokap lo selama ini. Dan dia juga yang nawarin bantuan waktu perusahaan bokap lo hampir bangkrut kemarin."
"Iya. Dengan syarat harus menjodohkan kita? Bokap lo bukan mau bantuin perusahaan bokap gue, Za. Om Beni cuma nggak mau usahanya punya saingan. Makanya dia mau nyatuin perusahaan bokap lo sama perusahaan bokap gue dengan perjodohan itu." Alesha berdiri sambil melipat tangan di depan dada. "Sekarang terserah sama lo. Kalo lo nggak mau ikut campur soal ini, lebih baik lo pergi dari sini."
"Enggak! Tunggu! Maksud gue, kasih gue kesempatan buat mikirin semua ini."
Alesha menoleh kepada Bagas dan bertanya dengan kode matanya. Ketika pria itu mengangguk, dia tau apa yang harus dilakukan.
"Oke. Karena ini menyangkut masalah keluarga lo juga, jadi kita kasih kesempatan lo buat mikirin tindakan yang tepat untuk bokap lo itu. Sekarang di mana Aqila? Lo udah dapet info?"
Alesha memperhatikan Reza yang menggaruk kepala lalu mengusap wajah dengan kasar. Wanita itu melihat jelas jika temannya dari kecil itu sedang gusar, tetapi dia juga masih sangat marah karena pria itu begitu pengecut.
"Gue udah cari ke tempat yang sering didatengi Aqila. Gue juga udah ngubungin temen-temennya selain lo yang gue tau. Tapi, tetep aja gue belum bisa nemuin dia."
Alesha menutup mulut lagi saat mendengar dering ponselnya. Dia berbicara dengan Bi Minah yang mengabarkan jika Anton mencarinya. Wanita itu kembali menatap Reza setelah mengakhiri pembicaraan di telepon.
"Oke. Mending sekarang lo pulang dan pikirin lagi soal bokap lo sama Aqila. Kalo boleh gue kasih saran. Ini kesempatan lo buat bisa bareng sama Aqila kalo lo ambil tindakan yang tepat buat bokap lo. Bukannya gue nggak ngerti kalo selama ini yang lo suka itu Aqila bukan gue."
Bukan hanya Reza yang terkejut, tetapi Bagas dan Glen juga sama. Mereka menatap Alesha penuh tanya.
"Lo tau gue suka Aqila?" tanya Reza ragu-ragu.
"Gue nggak buta, Za. Dari zaman kita SMA juga gue tau kalo lo deketin gue biar bisa ketemu sama Aqila. Gue tau banget lo naksir Aqila dari SMA, tapi lo nggak berani karena bokap lo udah ngomong supaya lo deketin gue. Iya, kan?"
Reza langsung bersandar di kursi dengan lemas. "Jadi, lo udah tau semuanya?"
"Iya. Karena gue tau, makanya gue selalu berusaha buat jauhin lo dari Aqila. Gue tau banget gimana lo dari kecil, Za. Lo nggak pernah nolak apa pun perintah bokap lo. Soal, Aqila? Gue yakin lo bakal ninggalin dia demi bokap lo. Dan kalo lo emang sayang sama dia, ini satu-satunya kesempatan lo."
Alesha menoleh ke kanan saat Bagas menggenggam tangannya. Dia mengangguk untuk meyakinkan kekasihnya itu bahwa semua akan baik-baik saja.
"Kalo gitu biarin gue aja yang urus masalah bokap ini. Kalo perlu, gue sendiri yang bakal laporin bokap. Makasih buat lo semua."
Reza berdiri lalu meninggalkan kafe milik Glen itu setelah berpamitan. Kini, ketiga orang yang masih tersisa itu bersiap pergi ke rumah sakit. Alesha tersenyum sambil menggandeng kekasihnya berjalan ke mobil. Glen menawarkan diri untuk menyetir setelah memastikan semua pintu kafe sudah terkunci.
Di rumah sakit, tepatnya di kamar rawat Anton mereka berdiri melingkari brankar. Anton kini terlihat lebih sehat dan sudah bisa duduk sendiri di brankar. Pria paruh baya itu mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh putrinya.
"Maafin Papa, ya, Kinan. Terlalu banyak hal yang Papa simpan sendiri sampek putri Papa menjauh. Dan masalah Bagas, Papa hanya menuruti permintaannya untuk nggak ngasih tau kamu dulu. Papa juga baru tau kalo kamu selama ini kerja sama dia. Papa bener-bener bersyukur kamu ketemu orang-orang baik selama pergi dari rumah."
"Maafin aku juga, ya, Pa. Selama ini aku udah salah paham sama Papa. Aku nggak pernah mau dengerin penjelasan Papa dan justru milih ninggalin Papa waktu Papa lagi butuh temen." Alesha membalas genggaman ayahnya itu.
"Kalo gitu, kamu mau pulang lagi ke rumah, kan?"
"Ada satu syarat."
"Syarat lagi?" Anton bertanya sambil mengeryit.
"Aku mau pulang ke rumah kalo Papa mau nerima Aqila juga. Setelah Aqila ketemu, aku mau bawa dia tinggal sama kita. Aqila udah nggak punya siapa-siapa lagi. Dan kondisinya sekarang nggak memungkinkan untuk dia tinggal sendiri. Boleh, ya, Pa?"
"Papa kira apa syaratnya. Aqila itu udah Papa anggep kayak anak sendiri. Jadi, tentu aja dia boleh tinggal sama kita."
"Makasih, Pa." Alesha menunduk lalu memeluk ayahnya.
"Gas, maaf karena Om nggak pernah ngubungin kamu setelah ngirim kamu jauh dari sini. Cuma itu satu-satunya cara supaya Om bisa ngelindungin kamu." Anton beralih menatap Bagas setelah putrinya melepas pelukan mereka.
"Aku ngerti, Om. Aku harusnya berterima kasih sama Om karena udah kasih kesempatan buat aku bisa hidup di tempat baru."
"Om minta tolong satu hal lagi, ya. Tolong jagain Kinan buat Om. Om rasa kamu udah tau gimana putri Om yang satu ini."
"Tentu, Om. Tanpa diminta pun, aku akan selalu jaga Kinan. Alesha, maksudnya." Bagas segera meralat ucapannya saat melihat Alesha melotot.
"Kalo gitu, kita pergi, ya, Pa. Papa istirahat yang cukup. Besok aku ke sini buat jemput Papa. Sekarang aku mau fokus cari sahabatku satu-satunya itu yang akhir-akhir ini sering nyusahin."
Semua orang yang berada di ruang rawat tersebut tertawa bersama. Alesha dan kedua pria yang datang bersamanya berpamitan kepada Anton lalu meninggalkan rumah sakit menuju rumah Dewi.
"Bapak yakin Aqila ada di sana?"
Bagas mengangkat bahu. "Nggak ada salahnya kita coba, kan? Karena seinget saya, Mbak Dewi satu-satunya keluarga dari ibu Aqila. Dan sepertinya mereka sangat akrab."
Alesha menepuk keningnya. "Ya, ampun, Pak. Kenapa saya lupa kalo Mbak Dewi itu masih sepupu Aqila."
"Semoga aja dia memang di sana, ya."
Alesha mengangguk-angguk dengan harapan penuh. Dia memejam dan berdoa dalam hati agar sahabatnya itu bisa segera ditemukan.
Wanita itu meremas sebelah tangan kekasihnya, sementara sebelah tangan yang lain memencet bel rumah Dewi. Terdengar suara dari dalam dan langkah kaki mendekat ke pintu. Alesha melambai sambil tersenyum saat sosok Dewi muncul dari balik pintu.
"Akhirnya, kalian dateng juga ke sini."
"Kenapa, Mbak?" Alesha bertanya melihat Dewi yang merasa lega.
"Kalian liat sendiri ke dalem. Mbak udah nggak sanggup nampung dia."
Alesha bertatapan dengan Bagas sebelum bergegas masuk ke rumah Dewi. Di dalam, tepatnya di atas sofa depan televisi, mereka melihat Aqila memangku stoples besar berisi camilan sambil menonton film. Sebentar wanita itu tertawa dan beberapa saat kemudian dia menangis. Alesha menggeleng-geleng melihat kelakuan ajaib dari sahabatnya itu.
"Aqila! Gila, ya, lo! Gue nyariin lo ke mana-mana. Nggak taunya malah nongkrong di sini. Kita pulang sekarang!"
Bersambung
~~~
Aye, aye! Aqila ketemu dan Papa sembuh. Apakah akan berakhir bahagia? Kita liat aja nanti.🤭🤫
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top