Bab 83. Meyakinkan Investor

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Bagas langsung membawa Alesha menjauh sebelum wanita itu membuat Reza makin babak belur. Pria itu meminta Veni untuk menemani kekasihnya, sementara dia dan Glen berbicara dengan Reza. Dia mengambil kursi lalu duduk di hadapan pria yang masih mengaduh sambil meratapi kepergian Aqila itu.

"Terus kita apain ini orang?" tanya Glen sambil menunjuk Reza dengan dagunya.

"Yang jelas kita harus bikin dia tanggung jawab sama Aqila."

Glen mengangguk lalu menatap tajam Reza sebelum menggebrak meja. Pria di hadapannya itu terkejut dan langsung menatap ketakutan.

"Kalian mau ngehajar gue lagi? Gue udah cukup babak belur dan syok denger Aqila menghilang."

"Kalo gue nggak inget Aqila, udah gue bikin mampus juga lo!"

Reza susah payah menelan ludah saat mendengar ancaman dari Glen itu. Dia beralih menatap Bagas yang terlihat lebih bersahabat.

"Gas, lo jangan diem aja, dong. Bantuin gue atau apa gitu."

"Sori, gue di sini juga mau minta lo buat bantuin kita semua nyari Aqila. Tunggu! Kok, lo kenal gue?"

Reza menghela napas. "Gue udah tau kalo lo itu sebenernya Restu, temen masa kecil gue sama Alesha. Gue sebelumnya nggak yakin banget. Tapi, waktu di rumah sakit gue jadi yakin."

"Oke. Itu nggak penting sekarang. Yang penting sekarang itu lo cari Aqila dan bawa dia kembali. Kalo nggak, lo bakal terima hadiah yang lebih menarik dari sekarang. Jadi, mending lo mulai cari Aqila dari sekarang."

"Maksudnya, lo berdua bakal bikin gue makin ancur dari sekarang?"

Bagas dan Glen sama-sama mendengkus lalu berbalik meninggalkan pria yang meremas rambut itu. Ponsel Bagas berbunyi saat hendak menyusul Alesha ke dapur. Dia segera mengangkat panggilan dari Wawan.

"Iya, Pak Wawan? Saya baru aja mau menghubungi Bapak."

"Gimana konsep yang kamu janjikan? Sudah siap?"

"Oh, itu sudah kami siapkan, Pak. Saya mau mengabari Bapak dan membuat janji untuk bertemu."

"Wah, bagus kalo gitu. Hari ini saya kosong. Gimana kalo kita ketemu hari ini di tempat sebelumnya?"

Bagas tidak langsung menjawab. Dia memikirkan waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan segalanya.

"Hem, gimana kalo kita ketemuan sore aja, Pak?" Bagas mencoba mengajukan penawaran.

"Kalo sekalian makan siang kayak sebelumnya aja, gimana?"

"Saya masih ada kerjaan di luar, Pak. Baru longgar nanti sore. Gimana, Pak?"

"Ya udah, nggak apa-apa sore aja. Saya harap nanti semuanya sudah siap."

"Makasih, Pak."

Bagas hanya tersenyum melihat Glen memberi isyarat dengan mata setelah memasukkan kembali ponselnya ke saku. Pria itu menepuk lengan Glen lalu mengajak masuk ke dapur.

"Gimana sama Reza, Pak?" tanya Alesha yang langsung berdiri menghampiri Bagas saat kedua pria itu datang.

"Udah aman. Dia pasti lagi cari Aqila."

"Syukur, deh."

Alesha memang tampak lega, tetapi Bagas tahu jika kekasihnya itu masih sangat khawatir terhadap Aqila. Wanita itu juga pasti masih sangat ingin membunuh mantan calon suaminya itu.

"Lebih baik sekarang kita fokus sama Pak Wawan." Bagas melihat jam di tangan kirinya yang menunjukkan pukul 10.45 WIB. "Barusan Pak Wawan telepon dan minta kita menemuinya hari ini. Untung aja saya bilang kita bisa ketemu beliau sore. Jadi, kita lebih baik mematangkan proposal yang akan kita ajukan. Gimana?"

Alesha tampak terkejut dengan kabar yang disampaikan oleh Bagas barusan. Namun, demi pekerjaan dia berusaha untuk tetap terlihat bersemangat.

"Oke, Pak. Kita selesaikan sekarang."

Bagas tersenyum melihat kekasih sekaligus sekretarsinya itu lebih bersemangat. Mereka pindah ke ruang tengah kafe dan memilih tempat yang jauh dari meja lainnya. Bagas mengambil laptop milik Alesha di mobil beserta proposal yang sudah dicetak. Pria yang sudah melepas jas dan menyisakan kemeja hitamnya itu memeriksa hasil cetakan dari proposal tersebut, sementara wanita yang menguncir rambutnya itu bersiap dengan laptop menyala menanti instruksi dari bos.

"Sekalian bikin presentasi juga, Pak. Kita langsung tampilkan keunggulan dari konsep baru ini. Saya juga sudah siapkan surat perjanjian kerja sama kalo nanti Pak Wawan setuju. Jadi, kita bisa langsung menandatangani kesepakatan bersama dan kita bisa langsung mulai produksi. Kita harus selangkah lebih maju dari pesaing kalo ingin tetap di depan, Pak."

"Saya setuju aja. Nanti saya minta laporan dan jadwal produksi perusahaan biar kita bisa nentuin sekalian kapan mulai produksi."

Tidak terasa sudah pukul 15.15 WIB dan mereka baru saja menyelesaikan persiapan amunisi untuk meyakinkan investor. Kini, Bagas dan Alesha sudah sangat percaya diri akan memenangkan hati Wawan. Mereka bergegas ke tempat yang sudah ditentukan setelah membereskan semua barang-barang yang dibutuhkan.

Tiba di restoran, sekretaris Wawan menyambut mereka dan langsung mengantarkan ke ruangan yang sudah dipesan. Mereka melihat pria paruh baya dengan kepala yang hampir tidak memiliki rambut itu sedang meminum jus sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja.

"Ah, akhirnya kalian datang juga. Sini-sini!" sambut Wawan saat melihat Bagas dan Alesha memasuki ruangan.

Bagas menunduk sopan lalu menuntun Alesha untuk duduk di hadapan Wawan. Mereka sempat berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya mulai membicarakan konsep produk baru dari perusahaan. Bagas menyerahkan hasil cetakan dari proposal baru dan Wawan langsung membacanya.

Alesha menyiapkan laptop dan membuka fail berisi presentasi. Saat Wawan mulai mengajukan pertanyaan mengenai konsep baru itu, dia sudah siap dengan segala jawaban.

"Hampir sama dengan konsep kemarin. Masih tentang makanan oleh-oleh?"

Bagas tersenyum mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Wawan itu. Dia memberi kode kepada Alesha dengan matanya untuk memulai presentasi yang telah mereka siapkan.

Wawan langsung fokus kepada layar laptop. Pria itu mendengarkan dengan saksama setiap penjelasan dari Alesha tanpa menginterupsi sedikit pun.

"Kami tidak hanya memproduksi bakpia ini untuk dipasarkan di toko-toko dan swalayan saja. Kami akan membuat semacam toko oleh-oleh khusus untuk bakpia dan memperlihatkan proses produksi secara langsung."

"Apa tidak akan menambah biaya?"

"Kami sudah memperhitungkan segalanya, Pak. Dan kami pastikan, peluncuran produk baru ini akan lebih awal dari produk pesaing. Kami sudah memeriksa jadwal produksi dan kesiapan tenaga kerja. Semuanya masih terkendali dan jika Bapak setuju dengan konsep ini, kita bisa langsung menandatangani kontrak. Jadi, perusahaan kami akan mengurus sisanya. Dalam bulan ini, produk kami bisa diperkenalkan pada masyarakat."

"Benar begitu, Bagas?"

Bagas mengangguk saat Wawan menatapnya intens. "Betul sekali, Pak. Semuanya sudah sesuai seperti apa yang dibicarakan sekretaris saya."

"Jadi, kita akan memproduksi bakpia berukuran kecil sekali suap dengan isian berbagai rasa dan membuka toko oleh-oleh dengan memperlihatkan proses produksi secara langsung kepada pengunjung?"

"Benar sekali, Pak Wawan. Kalo Bapak pernah tau produk sus kering yang dijual di swalayan-swalayan dengan berbagai rasa. Bakpia kami nanti hampir mirip dengan itu, Pak." Alesha menambahkan penjelasan agar makin membuat Wawan yakin.

"Ah, iya-iya. Anak saya suka sekali itu. Kasih saya waktu lima belas menit."

Bagas dan Alesha keluar dari restoran dengan senyum yang mengembang di bibir. Tidak sia-sia menunggu dan akhirnya mendapatkan persetujuan dari Wawan. Kini, mereka telah mengantongi surat perjanjian kerja sama. Bagas bisa langsung menginstruksikan kepada pegawainya untuk memasukkan bakpia dalam jadwal proses produksi.

Mereka kembali ke kafe milik Glen. Tiba di sana, Glen mengabarkan jika Beni melakukan pergerakan untuk menyabotase pemasaran pupuk dari perusahaan Anton. Alesha segera bergabung dan mendengarkan detail ceritanya.

"Jadi, selama ini orang yang ngebuat perusahaan Papa di ambang kehancuran itu Om Beni? Termasuk kasus yang menimpa ayah Pak Bagas dulu?"

Bagas menyerahkan bukti yang telah dikumpulkannya bersama Glen. "Semua sudah ada di situ."

"Kita harus segera menyerahkan semua ini sama polisi. Biar mereka yang menyelesaikan masalah ini. Om Beni harus menanggung semua perbuatannya."

"Kenapa sama bokap gue? Sampek kalian bawa-bawa polisi segala?"

Ketiga orang yang sedang berdiskusi itu terkejut dan menoleh bersama. Mereka membisu melihat Reza berdiri di ambang pintu.

Bersambung

~~~

Yeay, perjuangan banget, ya, Gas! Yuk, bisa, yuk!💪

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top