Bab 80. Menyiapkan Konsep Baru
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Wajah Alesha memerah dengan kedua tangan mengepal. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan sikap Reza. Bisa-bisanya pria itu menyerahkan proposal yang hilang kepada orang lain dari pesaing perusahaan tempatnya bekerja. Wanita itu tidak akan tinggal diam. Dia sudah bertekad untuk mendapatkan ide baru yang lebih segar dan segera menyusun konsep.
Wanita yang belum mengganti pakaiannya itu berdiri dari sofa. Namun, Bagas menarik tangannya. Alesha menoleh dengan menaikkan alis menatap kekasihnya itu.
"Kamu mau ke mana? Ini udah malem?"
Alesha megerutkan kening mendengar pertanyaa dari Bagas. "Mau ke unit Aqila. Emangnya Bapak pikir saya mau ke mana?"
"Oh?" Bagas melepas tangan wanita itu dan mengalihkan pandangan ke arah lain. "Enggak, kok. Ya udah, kalo mau ke unit Aqila. Tapi, balik ke sini lagi, kan?"
"Bapak pasti mikir yang aneh-aneh, kan? Hayo, ngaku!" desak wanita itu sambil mendekat dan menyipit menatap pria yang masih mengalihkan pandangan itu.
Alesha tersenyum jahil dan mencium pipi kekasihnya itu lalu menjauh. Pria yang terkejut dengan aksinya itu mencoba menariknya kembali, tetapi tidak berhasil. Dia menjulurkan lidah sebelum berbalik dan keluar dari unit Bagas.
Wanita itu membuka pintu lalu masuk ke unit Aqila. Dia mencari sahabatnya ke kamar dan ternyata Aqila sudah berbaring di kasur.
"La, bangun dulu, dong. Penting, nih!" Alesha menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya hingga wanita itu mengerang lalu membuka mata.
"Lo udah balik? Kenapa, sih, Sha? Gue ngantuk banget, nih."
"Lo masih nyimpen kartu nama yang dikasih sama Rosa, nggak?"
Aqila mengernyit mencoba mengingat-ingat. "Coba cari di tas gue, deh. Kayaknya belum gue buang."
Alesha mengambil tas yang disebutkan oleh sahabatnya dan langsung mencari kartu nama tersebut. Mata wanita itu berbinar saat menemukan sebuah kertas bertuliskan nama teman SMA-nya lengkap dengan jabatan dan nama perusahaan.
"Ternyata bener dia!" bisiknya pada diri sendiri, tetapi masih bisa didengar oleh Aqila.
"Bener apanya?"
Aqila yang berbaring mengubah posisi menjadi duduk di kasur. Dia masih menunggu Alesha memberikan penjelasan.
"Nih, liat sendiri!" Alesha menyerahkan kartu nama dan ponsel yang menampilkan halaman situs web sebuah perusahaan.
Aqila menerimanya dan membaca dengan saksama setiap kata yang tertulis di sana lalu membandingkan dengan kartu nama.
"Jadi, maksudnya apa? Gue nggak ngerti."
Alesha menghela napas. "Jadi, beberapa hari lalu, gue sama Pak Bagas ngajuin proposal sama investor. Proposal itu isinya konsep produk baru berupa pai. Setelah pertemuan itu gue bawa proposal dan ketemu sama Reza. Gue yang emosi dan dapet kabar kalo bokap pingsan, pikiran gue jadi kacau. Gue ninggalin proposal itu di kafe. Dan yang terjadi selanjutnya seperti yang lo baca itu."
"Tunggu! Maksud lo, Reza yang udah ngambil proposal lo dan dia kasih ke Rosa?"
Alesha mengangguk samar. "Orang terakhir yang gue temui cuma dia. Dan waktu gue balik ke kafe itu, pihak kafe bilang nggak ada barang yang tertinggal. Dan gara-gara itu gue terancam dipecat karena udah ngerugiin perusahaan sampek ratusan juta. Sekarang gue lagi dalam masa skors. Liat aja si Reza! Gue bakal bales dia lebih dari ini."
Aqila syok mendengar penjelasan dari sahabatnya itu. Perutnya tiba-tiba mual dan kepalanya terasa sakit.
"La, lo nggak apa-apa? Gue ambilin minum sama obat lo dulu. Lo udah makan, kan?"
Aqila hanya mengangguk lemah sambil berusaha menenangkan diri. Wanita itu langsung meminum obat yang disodorkan Alesha. Dia menarik napas panjang lalu mengembuskannya.
"Gue udah nggak apa-apa, kok. Cuma mual aja tadi. Terus rencana lo sekarang apa?"
"Ah, iya. Gue ke sini mau ambil laptop. Gue harus ngerjain konsep baru yang lebih baik dari konsep pai kemarin. Lo nggak apa-apa gue tinggal?"
"Iya. Gue abis ini langsung tidur lagi. Besok kalo bisa, gue bantu lo, deh. Sori, ya. Gara-gara gue lo jadi diskors dan kena masalah kayak gini."
Alesha mendekat lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat. "Lo nggak salah, La. Emang Reza yang berengsek. Gue bakal lindungin lo sebisa gue." Dia melepas pelukannya lalu menggenggam tangan Aqila. "Lo istirahat aja, oke. Gue selesaiin dulu masalah gue."
Wanita itu membantu sahabatnya berbaring lalu menyelimuti Aqila hingga dada. Kemudian, dia mengambil laptop dan keluar dari kamar setelah mematikan lampu. Alesha kembali ke unit Bagas.
"Kenapa lama banget?" tanya Bagas yang baru keluar dari kamar dengan tubuh lebih segar dari sebelumya.
"Ngobrol dulu sama Aqila. Terus ambil laptop baru ke sini lagi."
"Mau ngapain sama laptop itu?"
"Mau baca-baca lagi laporan yang pernah saya buat soal hasil kunjungan ke Jogja."
Bagas mengangguk-angguk sambil berjalan ke depan kamar mandi untuk meletakkan handuk. Setelah itu, dia bergabung dengan Alesha di depan televisi. Mereka mulai berdiskusi tentang konsep baru yang akan mereka usung sebagai pengganti konsep pai. Mereka saling bertukar pendapat dan membahas mulai dari nama, produk, proses produksi, hingga strategi pemasaran. Tidak terasa, mereka berdiskusi hingga lewat tengah malam dan tertidur hingga pagi.
Bangun di pagi hari, tubuh Alesha terasa pegal karena tertidur dengan posisi kepala menelungkup di meja. Dia menoleh ke kanan dan menemukan Bagas tidur dengan bersandar di sofa. Wanita itu membangunkan kekasihnya dengan menepuk-nepuk pelan pundak pria itu.
Setelah siap, Alesha meminta Bagas untuk mengantarkannya ke kafe milik Glen lagi, Dia akan menyusun proposal baru di sana. Sebelum itu, mereka mampir ke restoran terdekat untuk sarapan.
Tiba di kafe, Alesha langsung masuk dan duduk di meja dekat jendela. Dia tersenyum melihat Glen menghampirinya.
"Tenang aja. Gue ke sini buat ngerjain proposal, kok. Nggak bakal ngobrak-ngabrik dapur lo lagi," ucap wanita itu saat melihat wajah curiga dari Glen.
Pria itu membalas senyum Alesha. "Oke. Gue bakal siapin minuman sama camilan buat nemenin lo."
"Thanks."
Alesha kembali fokus ke laptop. Jarinya menari dengan lincah di atas papan kunci. Dia memusatkan perhatian hanya ke layar laptopnya dengan memasang earphone dan memutar musik. Hingga kafe beroperasi dan pengunjung mulai berdatangan, wanita itu tetap fokus dengan pekerjaannya. Dia sudah bertekad untuk menyelesaikan proposal itu hari ini.
Sesekali dia berbincang dengan Veni untuk meminta pendapat. Glen dan pegawai lain bergantian mengisi gelas dan camilannya yang sudah kosong. Setelah berkutat dengan laptop selama lima jam, akhirnya Alesha menyelesaikan proposal tersebut. Dia berdiri lalu memutar tubuh ke kiri dna ke kanan hingga terdengar bunyi keretek. Wanita itu mematikan laptop dan menutup benda persegi panjang tersebut.
Saat membereskan barang, ponselnya berbunyi menampilkan nama pengacara keluarga. Dia segera mengangkat panggilan tersebut. Alesha terduduk kembali dengan sebelah tangan menutup mulut. Tiba-tiba cairan bening menetes dari matanya ke pipi. Veni yang melihat hal itu segera menghampirinya.
"Kenapa, Kak?"
"Papa! Bokap gue. Bokap gue kritis lagi."
Vebi memanggil Glen agar mendekat lalu memberitahukan informasi dari Alesha barusan. Pria itu bergegas melepas celemek lalu menghubungi Bagas.
"Beresin barang-barang Alesha. Lo ikut juga temenin ke rumah sakit. Biar gue siapin mobil."
Veni segera mengikuti instruksi dari Glen dan membawa Alesha ke depan kafe. Mereka masuk ke mobil saat Glen berhenti di depan. Alesha hanya diam sepanjang perjalanan. Terlihat jelas rasa cemas di wajah wanita itu.
Tiba di rumah sakit, mereka segera menuju kamar rawat Anton. Di sana sudah ada Bagas yang berdiri di samping barnkar Anton. Alesha mendekat dan langsung menggenggam tangan ayahnya.
"Om, Kinan udah di sini. Jadi, Om mau, ya, dioperasi."
Alesha mengerutkan kening lalu berdiri tegak menghadap Bagas. "Tadi, Bapak bilang apa? Kinan? Bapak kenal saya?"
Bersambung
~~~
Oh, ow! Pak Bagas keceplosan. Gimana, nih reaksi Alesha.🤫
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top