Bab 8. Sempat Hilang, Kini Tertemukan
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Senyum lebar menghiasi wajah, dada berdegup kencang, dan jari-jari tangan mengetuk setir mengikuti alunan musik yang diputar. Sesekali bibirnya bergerak menyanyikan lirik lagu yang tengah diputar itu. Setelah mendapat kabar dari seseorang yang disewa, Bagas langsung pergi menemui orang itu dan meninggalkan sesi interviu untuk calon sekretaris barunya. Dia memasrahkan sisanya kepada Dewi.
Tiba di sebuah kafe tempat janji temu, Bagas menghentikan mobil lalu memarkirnya di depan bangunan berlantai dua itu. Saat hendak keluar dari mobil, ponselnya berdering dan dia segera mengangkatnya lebih dulu.
"Mbak, aku masih ada janji sama orang. Kita ngobrol di kantor aja nanti."
Bagas mengerutkan kening karena tidak ada jawaban dari Dewi, justru sebuah pertanyaan dari kepala staf manajemen yang terdengar.
"Pertanyaan terakhir. Jika pimpinan sedang keluar dan tidak bisa dihubungi lalu ada telepon dari klien yang ingin membuat janji temu padahal jadwal yang diminta sudah penuh. Apa yang seorang sekretaris lakukan saat itu juga?"
Kapala staf manajemen itu melontarkan pertanyaan yang sama persisi seperti Bagas. Pria yang hampir menutup panggilan telepon karena mengira Dewi tidak sengaja memanggilnya, mengurungkan niatnya dan terus mendengarkan.
"Saya akan langsung mencarikan jadwal kosong dan menawarkannya kepada klien tersebut."
Suara seorang wanita terdengar tegas dan percaya diri saat menjawab. Bagas tersenyum tipis.
"Kenapa kamu tidak mendiskusikannya dengan pimpinan terlebih dulu? Lalu kalo klien tidak setuju dengan jadwal yang ditawarkan? Apa yang akan dilakukan sekretaris itu?"
Bagas mengangguk-angguk, menyetujui pertanyaan selanjutnya dari kepala staf manajemen itu.
"Karena salah satu tugas sekretaris adalah menyusun jadwal rapat antara pimpinan dengan klien, jadi saya akan menyakinkan dan memberi pengertian kepada klien tersebut agar menerima tawaran yang saya berikan."
"Lumayan," gumam Bagas setelah mendengar jawaban itu.
"Jawabannya lebih baik dari yang lain. Kalo sisanya bagus. Aku lebih pilih dia." Bagas berbicara di telepon karena dia yakin Dewi mendengarnya. Setelah itu, dia mengakhiri panggilan tersebut dan bergegas keluar dari mobil.
Bagas masuk ke kafe yang didominasi warna pastel dengan berbagi macam stiker dinding untuk menambah kesan segar dan kekinian. Dia langsung menuju lantai dua sesuai pesan yang dikirimkan ke ponselnya. Pria itu menghampiri seseorang yang melambai kepadanya di sudut ruangan.
Bagas sempat memperhatikan sekeliling lantai dua yang cukup sepi itu dibandingkan dengan lantai satu yang penuh oleh pengunjung usia remaja hingga dewasa muda. Pria itu bersyukur karena orang kepercayaannya itu memilih suasana yang sepi untuk membicarakan hal penting.
"Selamat siang, Pak Bagas!" Seorang pria berusia kisaran 28 tahun berdiri dan menyalami Bagas yang baru tiba di mejanya.
"Selamat siang, Pak Glen. Mari duduk!" Bagas mempersilakan pria bernama Glen itu untuk duduk kembali.
"Maaf, Pak Bagas. Karena saya harus menghubungi Bapak saat jam kerja seperti ini. Tapi, saya rasa Bapak juga nggak akan menunda informasi yang saya dapatkan."
"Ah, nggak masalah, Pak. Ngomong-ngomong, sebaiknya nggak usah pakek embel-embel 'Pak'. Kita sepertinya seumuran. Bagas aja."
"Oh, baik, Bagas. Anda juga bisa panggil saya Gelan aja. Kalo gitu saya langsung aja." Glen mengeluarkan sebuah map berisi informasi yang akan diberikannya kepada Bagas. "Oh, maaf sebelumnya, mau pesan apa?" Pria itu memanggil seorang pelayan kafe.
Seorang wanita dengan celemek cokelat menutupi bagian pinggang hingga lutut itu mencatat pesanan kedua pria yang membuatnya tersenyum malu karena ketampanan mereka. Setelah mengulangi kembali pesanan yang dicatat, wanita itu meninggalkan mereka.
"Anda bisa liat berkas ini. Semua informasi yang saya kumpulkan ada di sana."
Bagas langsung membuka map di hadapannya lalu membaca seluruh informasi yang tertulis dengan saksama. Senyum terukir di bibirnya setelah selesai membaca. Dia menutup berkas itu dan meletakkannya kembali di meja.
"Terima kasih, Glen. Sesuai dugaan saya. Anda memang bisa diandalkan."
"Terima kasih atas pujiannya."
"Jadi, Anda sudah pastikan jika mereka tinggal di Jogja?"
Glen mangangguk pasti. "Saya sudah melihatnya sendiri. Putri mereka sebentar lagi lulus SMA. Istrinya memiliki sebuah toko oleh-oleh di dekat Jalan Malioboro."
"Syukurlah kalo mereka baik-baik aja. Saya sempat bingung harus mencari mereka ke mana. Saat tiba di Jakarta untuk pertama kali, saya langsung mendatangi alamat terakhir mereka. Tapi, sayangnya mereka sudah pindah dan seluruh properti sudah dijual. Apalagi dua tahun masa pandemi kemarin, membuat saya sempat menghentikan pencarian. Beruntung, saya bisa kenal dengan Anda."
"Ah, saya jadi tersanjung kalo begini."
Kedua pria itu tertawa bersama saat seorang pelayan datang membawa pesanan mereka. Wanita itu sampai tersipu mendengar Bagas mengucapkan terima kasih.
"Silakan diminum dulu." Bagas mengangkat cangkir berisi amerikano panas lalu menyeruputnya sedikit.
"Setelah ini, apa yang akan Anda lakukan dengan mereka?" Glen yang telah mencicipi es kapucino miliknya itu membuka kembali obrolan.
Bagas tidak langsung menjawab. Dia memainkan jarinya di atas pinggiran cangkir. "Saya akan mengunjungi mereka. Tapi, belum tau kapan pastinya. Mereka akan sangat terkejut melihat saya. Jadi, saya akan pikirkan baik-baik sebelum menemui mereka."
"Baiklah. Apa ada yang bisa saya bantu lagi?"
"Ah, benar." Bagas mengeluarkan sebuah foto dan nama perusahaan yang tertulis di belakangnya. Dia menyerahkannya kepada Glen.
Glen mengerutkan kening membaca nama perusahaan itu. "Anda ingin saya melakukan apa dengan ini?"
"Tolong selidiki apa yang terjadi dengan perusahaan itu. Terlebih, kasus yang menimpanya beberapa waktu terakhir."
"Oke. Serahkan kepada saya." Tanpa bertanya lebih jauh mengenai tujuan Bagas, Glen langsung menyimpan foto itu ke dalam saku jaketnya.
Sudah mejadi kode etik dalam pekerjaan untuk tidak mencampuri urusan pribadi dari klien. Glen cukup tahu siapa atau apa targetnya dan bekerja sesuai bayaran. Bagas bukan klien pertamanya, tetapi dia cukup mengenal pria itu yang tidak suka basa-basi.
"Saya akan mentransfer sisa bayaran untuk pekerjaan pertama dan uang muka untuk pekerjaan kedua Anda."
"Terima kasih, Bagas. Saya senang bekerja dengan Anda."
Mereka menghabiskan kopi masing-masing sebelum berpisah dan meninggalkan kafe itu. Bagas membawa berkas yang diberikan Glen tadi menuju mobil. Dia meletakkan berkas itu di sampingnya lalu mulai menghidupkan mesin mobil.
Akhirnya, sebentar lagi dia bisa bertemu dengan mereka yang sudah seperti keluarga kedua baginya. Kini saatnya dia membalas budi atas kebaikan keluarga yang sudah merawatnya selama ini.
Bagas menatap sebuah foto yang tergantung di kaca spion dalam mobil. Foto dua orang dewasa dan satu anak kecil di tengah. Foto sebuah keluarga yang tampak bahagia.
"Sekarang saatnya aku menunjukkan diri, Yah. Aku akan balas orang yang udah membuat Ayah menderita hingga akhir usia. Aku nggak akan biarkan dia bahagia dari hasil kerja keras Ayah. Aku akan pastikan dia dan keluarganya lebih menderita dari kita, Yah. Aku janji!"
Setelah mengucapkan itu, Bagas mengemudikan mobil untuk kembali ke kantor. Dia harus membuat perusahaannya lebih besar dari sekarang. Agar orang yang pernah menghancurkan keluargnya bisa melihat dengan jelas. Pria itu sudah bertekad akan menjadi pengusaha sukses ketika mengambil keputusan untuk kembali ke Indonesia. Dia harus lebih berkuasa dari orang yang akan dihancurkannya.
Bersambung
~~~
Bagas kembali.
Terima kasih buat kalian yang udah nemenin sampek bab 8 ini, ya. Jangan bosen buat ikutin kelanjutan kisah mereka. Sayang kalian.😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top