Bab 75. Kesalahan Fatal
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Sebenarnya Bagas tidak tega melepas Alesha pergi sendiri. Namun, dia masih harus menyelesaikan pekerjaan di kantor. Sejak pagi, dia sudah berencana untuk memberitahukan semuanya kepada teman masa kecilnya itu, tetapi dia tidak mau membebani wanita itu dengan masalah baru. Pria itu harus membuat Alesha fokus pada proyek yang baru saja mendapat persetujuan dari investor.
Pria itu kembali ke kantor dengan mengendarai mobilnya. Tiba di parkiran kantor Bagas sempat menelepon Alesha, tetapi tidak mendapat jawaban. Dia meninggalkan pesan dan berharap wanita itu segera membalasnya.
Pria yang sudah melepas jas dan hanya menyisakan kemeja putih itu berjalan memasuki lift menuju lantai empat. Keluar dari benda kotak itu, Bagas mampir ke meja sekretarisnya untuk memanggil karyawan dari divisi produksi melalui telepon yang tersedia di sana. Setelah itu, dia masuk ke ruangannya.
Bagas sempat mengecek ponsel dan belum ada balasan dari kekasihnya itu. Dia memeriksa beberapa dokumen yang berada di mejanya. Setelah menandatangani dokumen ketiga yang diambilnya, seseorang mengetuk pintu. Pria itu mempersilakan karyawan dari divisi produksi untuk duduk di sofa.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pria yang mengalungkan tanda pengenal itu saat Bagas duduk di hadapannya.
"Saya mau mengobrol mengenai produksi perusahaan kita. Apa semuanya baik-baik saja? Atau ada kendala yang selama ini saya nggak tau?"
Penanggung jawab produksi itu sedikit terkejut dengan pertanyaan dari pimpinannya. Dia sempat salah tingkah karena takut salah menjawab. Dari kabar yang didengar, bos perusahaan tempatnya bekerja itu tidak pernah menerima kesalahan sekecil apa pun.
"Nggak apa-apa, Pak. Jawab santai aja. Saya cuma mau ngobrol untuk mengetahui kemampuan produksi perusahaaan kita sampai di mana. Jadi, nggak usah tegang ngobrol sama saya." Bagas segera menambahi karena karyawannya itu terlihat tegang setelah mendengar pertayaannya tadi.
Pria berkacamata itu tersenyum. "Maaf sebelumnya, Pak. Saya pikir ada masalah serius hingga Bapak bertanya langsung kepada saya. Kalo sejauh ini produksi kita lancar, Pak. Kalopun ada kendala, kami berusaha mencari jalan keluar agar produksi tetap berjalan."
"Ah, baik. Kira-kira, kalo kita memproduksi produk baru apa masih sanggup?"
"Untuk sementara ini, peralatan dan SDM masih mencukupi, Pak. Mungkin nanti bisa kami buat semacam jadwal produksi agar bisa berjalan semua."
Bagas mengangguk-angguk. "Baguslah. Kalo gitu, kita bisa mempersiapkan untuk produksi produk baru lagi."
"Jadi, kita ada proyek produk terbaru, Pak? Kalo boleh tau apa produknya?"
"Masih dalam pembahasan. Tapi, saya sudah mengantongi persetujuan dari calon investor baru. Nanti kalo semuanya sudah siap, pasti saya akan mengundang seluruh divisi untuk rapat."
"Baik, Pak. Kami pasti akan melakukan yang terbaik untuk kemajuan perusahaan ini."
"Iya. Terima kasih karena sudah bertahan di sini. Nanti saya minta untuk lebih detailnya soal jadwal produksi yang ada saat ini, ya, Pak. Nggak usah buru-buru. Dua hari lagi serahkan sama saya."
"Baik, Pak. Kalo tidak ada lagi yang perlu didiskusikan, saya permisi, ya, Pak."
"Iya-iya. Silakan. Sekali lagi terima kasih."
Bagas bersiap untuk pulang setelah karyawan tersebut keluar dari ruangannya. Dia terus mengecek ponsel selama di dalam lift. Pria itu juga mencoba menghubungi kekasihnya melalui telepon, tetapi tetap tidak ada jawaban. Meski terlihat tenang dari luar, sebenarnya dia sangat khawatir dengan Alesha. Semoga saja tiba di apartemen, kekasihnya itu sudah berada di sana.
Selama perjalanan ke apartemen, Bagas terus memikirkan kemungkinan tempat yang didatangi dan siapa orang yang ditemui oleh kekasihnya itu. Dia sudah curiga sejak Alesha selalu memeriksa ponselnya seperti sedang menunggu balasan dari seseorang. Tunggu! Jangan-jangan dia nemuin Reza? pikirnya. Bagas makin dalam menginjak gas untuk berbegas sampai di apartemen.
Pria itu langsung turun dari mobil setelah parkir dan berjalan cepat menuju lift. Dia bahkan menggoyang-goyangkan kaki menunggu lift tiba di lantai unitnya. Saat benda kotak tersebut terbuka, Bagas langsung berlari ke unit Aqila dan memencet bel berkali-kali.
"Sori, kalo saya ganggu. Alesha ada di dalem?" tanya pria itu saat pintu terbuka.
Aqila yang baru terbangun mengucek mata agar penglihatannya lebih jelas. Saat melihat pria di hadapannya adalah sang tetangga depan sekaligus kekasih dan bos dari sahabatnya itu, dia langsung berdiri tegak sambil berdeham.
"Kenapa, Gas?"
"Alesha ada?"
Wanita itu mengernyit lalu menoleh ke dalam unit apartemennya sendiri dan kembali menghadap Bagas lagi.
"Bukannya dia sama lo? Soalnya dia belum balik dari tadi."
Bagas mendengkus. "Coba kamu telpon Reza. Saya curiga kalo Alesha ketemu sama dia."
Aqila membuka mulut lebar karena terkejut dengan pernyataan Bagas barusan. Dia segera masuk untuk mengambil ponsel setelah tersadar dari keterkejutannya itu. Tidak lama kemudian, wanita itu sudah kembali ke depan dengan Bagas masih setia menunggu di sana.
"Lo udah coba hubungin Alesha?"
"Saya udah telpon dia beberapa kali, tapi nggak ada jawaban. Saya juga udah chat dia dan sampek sekarang nggak ada balesan. Saya takut dia terlibat masalah dengan Reza."
"Iya-iya. Gue telpon Reza dulu."
Baru saja wanita itu membuka kontak Reza di ponselnya, tiba-tiba layarnya berubah ada panggilan masuk dari orang yang hendak dihubunginya itu. Dia sempat terdiam hanya dengan memandangi layar ponsel.
"Kenapa? Ada masalah? Kok diem aja?"
"Oh?" Aqila mendongak lalu memperlihatkan layar ponselnya kepada Bagas. "Reza telpon gue."
"Ya udah angkat aja."
Aqila mengangguk sambil tersenyum canggung sebelum mengangkat telepon dari Reza.
"Iya, gimana, Za?" tanya Aqila langsung setelah menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinga.
Bagas hanya bisa mengamati perubahan wajah Aqila saat berbicara di telepon. Dia tidak dapat mendengar perkataan Reza karena tetangganya itu tidak menggunakan pengeras suara di ponsel. Pria itu hanya bisa berspekulasi setiap Aqila mengubah raut wajah dari tegang, terkejut, menahan marah, hingga tersenyum simpul.
Pria yang masih mengenakan pakaian kerjanya itu berdiri tegak dari posisi bersandar di tembok saat Aqila mengakhiri telepon dengan Reza.
"Gimana?"
"Alesha memang ketemuan sama Reza. Dia udah kasih tau semuanya sama Reza. Sekarang Alesha udah pulang, tapi Reza sempet bilang kalo dia kasih tau Alesha soal kondisi ayahnya yang makin memburuk."
"Jadi, Alesha pulang ke rumahnya?" Bagas berharap Alesha tetap baik-baik saja dan tidak kehilangan fokus.
"Kayaknya, sih, gitu. Mending lo balik aja ke unit lo. Istirahat, baru besok lo bisa ngobrol sama Alesha."
Bagas mengangguk lemah. "Thanks, ya. Sori, udah ganggu waktu istirahatnya. Kalo gitu, saya pamit dulu."
Pria itu kembali ke unitnya sendiri. Dia berusaha untuk tetap tenang lalu mengganti pakaian dan membersihkan diri. Setelah itu, dia memaksakan diri untuk terlelap agar besok pagi terlihat lebih segar.
Keesokan harinya, Bagas menunggu Alesha di kantor. Pagi-pagi pria itu sudah mengunjungi unit Aqila untuk menanyakan keberadaan sekretarisnya. Namun, wanita itu mengatakan jika Alesha tidak pulang. Kini, Bagas sudah duduk di meja Alesha sambil terus mengetuk-ngetukkan jari di meja.
"Alesha! Kamu dari mana aja?" tanya pria itu saat melihat Alesha baru saja tiba.
"Pak Bagas? Kok Bapak di sini? Kenapa nggak nunggu di ruangan Bapak aja?"
"Saya dari semalem nunggu kamu. Kamu nggak apa-apa?"
"Saya baik-baik aja, kok, Pak."
"Baguslah. Sekarang, mana proposal yang kemarin? Hari ini kita susun surat perjanjiannya."
Alesha hanya berkedip-kedip dan tampak berpikir keras mengingat sesuatu. Dia lalu terbelalak dengan kedua tangan menutup mulut.
"Ada apa, Alesha?"
"Saya lupa di mana proposalnya, Pak. Kayaknya ketinggalan di tempat terakhir yang saya kunjungi semalem."
"Apa? Kok bisa?"
Terlihat jelas emosi yang berusaha dipendam oleh pria itu. Wajahnya menyiratkan kekecewaan yang begitu besar. Dia mengusap wajah dengan kasar lalu meremas rambutnya sendiri.
Bersambung
~~~
Oh, ow!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top