Bab 74. Pertemuan Penting

▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Pagi hari sebelum berangkat ke kantor, Alesha sempat menyiapkan masakan untuk sahabatnya yang masih tidak enak badan itu. Meski dia masih marah soal sikap yang diambil oleh Aqila, tetap saja wanita itu tidak tega meninggalkan sahabat satu-satunya sendirian di apartemen dengan kelaparan. Setelah menghabiskan sarapannya, dia ke luar untuk menunggu Bagas. Baru saja membuka pintu, ternyata kekasih tampannya itu sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.

"Gimana keadaan temenmu?"

"Masih sama aja, Pak. Tapi, udah mending karena dia mau makan."

Bagas mengangguk. Pria itu sempat membuka mulut lalu menutupnya kembali. Hal itu tidak luput dari perhatian Alesha.

"Bapak mau ngomong sesuatu?"

"Eh?" Bagas tampak salah tingkah dengan memalingkan wajah. "Enggak, kok. Saya cuma sedikit gugup menghadapi pertemuan siang nanti."

Alesha menyipit menatap pria di hadapannya itu. Kemudian, tersenyum dan menggandeng tangan kekasihnya.

"Bapak nggak usah khawatir. Saya yakin Bapak pasti bisa memenangkan hati investor itu. Ide yang Bapak buat keren, kok."

"Makasih, ya kamu udah bantuin saya. Padahal, kamu juga lagi ada masalah."

"Kan, udah tugas saya, Pak. Bapak sendiri yang bilang kalo saya harus fokus selama bekerja. Nggak boleh campur adukkan masalah pribadi dan kantor."

Bagas mengangkat tangan yang bebas untuk mengusap kepala Alesha. Tidak terasa mereka sudah tiba di parkiran sambil terus mengobrol selama di dalam lift.

"Nanti siang kamu ikut saya ketemu sama investor itu," ucap Bagas sebelum mereka masuk ke mobil.

Tiba di kantor, pemandangan bos dan sekretarisnya datang bersama itu sudah menjadi hal biasa. Kalau sebelumnya pegawai lainnya akan langsung berisik-bisik melihat mereka, kini semuanya kembali normal. Sepertinya mereka sudah lelah menggosipkan dua orang yang makin hari makin dekat itu. Lagi pula, mereka tidak memiliki satu bukti pun yang memperlihatkan Bagas dan Alesha memiliki hubungan. Akhirnya, mereka berhenti dengan sendirinya.

Alesha turun di lantai tiga untuk membuatkan bosnya secangkir kopi. Dia sempat melihat karyawan dari divisi keuangan sesekali melirik kepadanya karena masih ingin mengetahui kebenaran mengenai Mira. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang berani bertanya langsung setelah mendapat teguran dari Bagas beberapa waktu lalu. Wanita itu segera kembali ke lantai empat setelah menyelesaikan tugasnya.

Wanita yang mengenakan rok sepan selutut dengan blus biru dan ditutupi blazer merah muda itu masuk ke ruangan bosnya setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk. Dia melihat Bagas sedang serius memeriksa sesuatu di meja. Alesha meletakkan secangkir kopi yang dibawanya ke meja.

"Alesha, ini ada beberapa yang harus ditambah dalam proposal yang kamu buat."

Wanita itu menatap bosnya bingung. Dia berkedip saat Bagas menjetikkan jari di depan wajahnya.

"Proposal untuk produk baru, Alesha. Baru kemarin kamu susun proposal ini. Dan siang nanti kita presentasikan di depan investor."

"Oh, ya ampun, maaf, Pak. Tadi saya sempet bingung proposal apa."

Alesha berjalan memutari meja dan berdiri di samping Bagas. Dia memperhatikan dengan seksama catatan yang ditulis pria itu dalam proposal tersebut. Wanita itu juga mendengarkan penjelasan dari bosnya itu mengenai konsep produk yang dimau.

"Ya udah itu aja yang harus ditambah. Kamu bisa selesaikan sebelum makan siang, kan?"

"Bisa, Pak," jawab Alesha sambil menerima propsal yang sudah penuh dengan catatan tangan Bagas itu.

Dia kembali ke mejanya dan langsung membuka fail porposal mengenai pai di komputernya. Wanita itu membaca ulang catatan bosnya sebelum merangkai kata dan menambahkannya ke dalam proposal tersebut.

Membutuhkan waktu kurang lebih dua jam untuk Alesha menyempurnakan proposal yang akan dipresentasikan setelah makan siang itu. Setelah membaca sekali lagi, dia baru mencetak proposal tersebut dan memberikannya kepada Bagas untuk diperiksa terakhir kali.

"Kita berangkat sekarang."

Alesha mendongak dari layar ponsel saat mendengar suara Bagas. Dia segera berdiri dan mengambil tasnya.

"Sekalian makan siang di luar, Pak?"

"Iya. Tapi, kita makan sama investor. Mereka minta rapatnya dimajukan."

"Oh, oke."

Wanita itu berjalan di samping Bagas sambil sesekali memeriksa ponsel. Dia sedang menunggu balasan dari seseorang yang sudah dikiriminya chat dari semalam. Alesha menoleh ketika Bagas menyentuh tangannya. Kini mereka berada di dalam lift dan tidak ada orang lain lagi.

"Kamu kepikiran Aqila?"

"Iya, Pak. Sedikit. Tapi, Bapak tenang aja. Saya pasti fokus untuk rapat nanti."

"Saya harap juga gitu. Soalnya, ini proyek besar. Kalo kita berhasil meyakinkan investor itu. Dia bakal tanam modal ratusan juta untuk perusahaan kita."

"Serius, Pak? Ini proyek ratusan juta?"

Bagas mengangguk sambil tersenyum. Alesha langsung memasukkan ponsel ke dalam tas dan fokus pada presentasi yang akan mereka lakukan.

Mereka tiba di sebuah restoran yang menyajikan makanan barat itu pukul dua belas siang. Seorang pria paruh baya dengan kepala pelontos menyambut mereka tangan terbuka. Seorang pelayan restoran datang dan langsung menyajikan makanan di meja. Pria yang mengenalkan diri sebagai Wawan Wicaksono itu mengajak mereka makan.

Alesha melihat acara makan siang bersama ini merupakan strategi dari Wawan untuk lebih mengenal pimpinan sekaligus pemilik perusahaan yang akan mendapat suntikan dana darinya. Mereka mengobrol santai sambil menghabiskan makanan. Tiga puluh menit kemudian, barulah Wawan mulai membicarakan bisnis dan meminta Bagas untuk meyakinkannya.

Wanita itu menyerahkan proposal kepada Wawan. Mereka memberi kesempatan untuk calon investor itu membaca dan mempelajari penawaran dari perusahaan. Alesha punya firasat baik dari pertemuan ini. Dia melihat Wawan tersenyum setiap membuka lembaran baru. Bukankah itu pertanda baik?

"Menarik. Baru ini saya temui perusahaan yang tertarik dengan produk oleh-oleh yang biasa diproduksi secara rumahan."

"Betul sekali, Pak. Kalo produksi rumahan saja banyak diminati, apalagi produksi perusahaan dalam sekala besar dan kualitas yang terjamin. Bisa jadi peluang besar bagi perusahaan kami karena belum ada pesaing yang melirik bisnis oleh-oleh ini."

Wawan tampak setuju dengan pendapat yang dutarakan oleh Alesha. Dia melanjutkan membaca proposal bagian bahan dan keunggulan produk.

"Dapet ide dari mana bisa kepikiran untuk memproduksi pai dalam sekala besar?"

"Beberapa waktu lalu kami ada pekerjaan di Jogja. Kami sempat berkeliling di beberapa toko oleh-oleh yang banyak dikunjungi para wisatawan. Dan kami membuat semacam rangkuman produk-produk unggulan di pasar Jogja."

Bagas menjelaskan penemuannya dengan sangat percaya diri.

"Sungguh kreatif sekali. Saya suka pemikiran yang segar seperti ini."

"Selain itu, Pak. Kami membuat produk ini dengan ukuran yang lebih kecil hingga cukup sekali suap langsung masuk mulut. Dan kami juga memberikan beberapa varian rasa agar bisa menjangkau konsumen lebih luas lagi."

Wawan mengangguk-angguk sambil membolak-balik proposal di tangannya. Pria paruh baya itu tampak berpikir keras sebelum memberikan persetujuan.

"Dan kami bisa menjamin jika produk ini pertama dan satu-satunya diproduksi oleh perusahaan kami." Bagas menambahkan pernyataan untuk lebih menyakinkan calon investornya itu.

"Oke, kalo gitu. Saya setuju dengan ide ini. Bisa dipastikan informasi ini nggak akan bocor ke mana pun, kan? Dana yang saya investasikan nggak main-main jumlahnya."

"Pasti, Pak. Tenang saja."

Wawan berdiri diikuti oleh Bagas dan Alesha. Pria itu menyalami kedua orang perwakilan dari PT. Starfood Anggara. Mereka sepakat akan bertemu dalam dua pekan lagi untuk menandatangani surat perjanjian.

Alesha membuka ponsel dan melihat satu pesan balasan dari orang yang ditunggunya sejak semalam. Dia berpamitan kepada Bagas setelah Wawan meninggalkan mereka.

"Kamu mau ke mana?"

"Saya ada urusan penting, Pak. Saya pergi dulu, ya, Pak."

"Alesha, inget! Itu proposal bernilai ratusan juta. Jangan sampek lalai."

"Siap, Pak! Saya akan jaga baik-baik proposal ini. Besok saya mulai susun surat perjanjiannya."

"Kamu yakin nggak perlu saya anter?" tanya Bagas yang mendapat anggukan dari Alesha. "Ya udah, kamu ati-ati. Kalo ada apa-apa kabari saya."

Alesha mengangguk sekali lagi lalu pergi meninggalkan Bagas dengan penuh tanya. Wanita itu harus menyelesaikan permasalahan sahabatnya sebelum menjadi makin rumit.

Bersambung

~~~

Alesha yang bawa proposal, kok aku yang dedegan, sih?😢

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top