Bab 7. Kabar Baik
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Hilir mudik kendaraan yang lewat di depannya tidak membuat Alesha tersadar dari lamunannya. Wanita itu duduk menghadap jalanan dengan tatapan kosong. Sempat terlelap lagi setelah sahabatnya membawa kabar tentang lowongan. Namun, hal itu tidak bertahan lama karena Aqila langsung membuka selimut yang menutupi tubuh Alesha dan menarik tangan wanita itu hingga terduduk.
Tanpa merasa bersalah sedikit pun, Aqila justru menyeret Alesha ke kamar mandi dan menyuruh sahabatnya itu untuk segera membersihkan diri lalu bersiap pergi ke toko. Alesha tetap pergi meski terus memasang wajah masam. Sejak tiba di toko, wanita itu hanya duduk di depan etalase yang menghadap ke jalan sambil melamun dan tidak berniat untuk membantu pekerjaan sahabatnya.
Hari ini, toko yang bergerak dalam bidang jasa fotokopi dan menjual peralatan kantor itu sedang ramai-ramainya diserbu para siswa. Ada pula beberapa pegawai kantoran yang mampir untuk membeli alat tulis. Aqila dan seorang pegawainya kelimpungan melayani para pelanggan.
"Mbak, fotokopi bolak-balik lima lembar, ya." Seorang siswi datang ke hadapan Alesha dengan menyerahkan sebuah buku pelajaran. "Mbak! Denger, nggak, sih?" ucapnya lagi saat tidak mendapat respons dari wanita yang tenggelam dalam dunianya sendiri itu.
"Iya? Mana yang mau difotokopi tadi?" Aqila mengambil alih hingga siswi tadi berpindah ke hadapannya.
"Pegawainya, kok ngelamun aja, Mbak? Mending pecat aja kalo nggak niat kerja. Nggak guna juga."
Aqila menahan senyum mendengar keluhan dari pelanggannya itu. "Maaf, ya. Nanti biar gue pecat aja pegawai nggak guna itu," balasnya sambil melirik Alesha yang tetap asyik memandangi jalan tanpa ekspresi itu.
Setelah toko sedikit sepi, Aqila menghampiri Alesha dengan menepuk keras punggung sahabatnya itu. "Lo kalo mau ngelamun mending pindah, deh. Ngerusak pemandangan tau, nggak?"
"Sakit, gila! Lo kira-kira, dong kalo mau mukul orang." Alesha membalas dengan mencubit lengan sahabatnya.
"Lo juga kalo nyubit bisa bikin bekas ungu tau! Udah, deh. Pindah, gih. Bikin surat lamaran sono."
Diusir seperti apa pun, Alesha tetap setia duduk di sana sambil memandang lurus ke depan. "La, Mbak Dewi itu kerja di kantor seberang, kan?"
Mau tidak mau, Aqila ikut memandang ke seberang jalan. "Jadi, dari tadi itu lo ngelamunin kantor di depan?"
Alesha mengangguk malas. "Kan, kata lo perusahaan itu yang lagi butuh sekretaris. Emang gue bisa diterima gitu?"
Aqila gemas dan akhirnya menoyor kepala sahabatnya itu. Dia tidak peduli meski Alesha mengaduh kesakitan. "Lo itu bikin surat lamaran aja belom. Ngapain mikir jauh sampe diterima atau enggak? Buruan, deh gerak. Bikin surat lamaran sama CV. Terus jangan lupa berkas-berkas yang mau dilampirin juga disiapin."
"Mager, La. Lo aja deh yang siapin, ya? Besok gue tinggal bawa aja."
Aqila melotot melihat sahabatnya yang justru merebahkan kepala di atas etalase. Wanita itu menghela napas lalu menarik Alesha turun dari kursi tinggi yang diduduki.
"Lo itu kapan berubahnya, sih, Sha? Coba, deh, sedikit aja kurangin sifat manja sama ceroboh lo itu. Biar lo jadi orang yang bisa diandelin. Katanya mau buktiin sama bokap kalo lo bisa hidup mandiri? Nyiapin surat lamaran aja masih mesti gue."
"Duh, La! Kenapa, sih, lo ngomel mulu? Mending lo urus hidup lo sendiri, deh. Pusing tau gue dengernya."
Aqila tidak mau mendengarkan Alesha dan tetap memaksa wanita itu untuk duduk di depan laptop yang sudah disiapkannya. Dengan cemberut, Alesha mengetik surat lamarannya.
"La! Gue lupa. Semua berkas gue masih di rumah. Gimana, dong? Ijazah, transkrip nilai, sama sertifikat-sertifikat. Semuanya di rumah bokap, La."
"Tenang-tenang! Nggak usah mewek gitu, dong. Apa gunanya punya sahabat yang buka jasa fotokopi dan cetak kayak gue ini?" Aqila mengambil alih laptop dan mulai mencari sesuatu di sana. "Lo lupa, pernah scan berkas lo di sini? Bentar gue cari dulu."
Aqila menggerakkan tetikus menggunakan tangannya dengan lincah untuk membuka fail yang diberi nama "Milik Alesha". "Nah, bener, kan ada. Udah, tinggal di-print aja."
Alesha memandang sahabatnya dengan mata berbinar-binar. "Makasih, ya, sahabat gue yang paling cantik sedunia."
Aqila mencoba melepas pelukan sahabatnya itu. "Iyalah, yang paling cantik. Emang lo punya sahabat lain selain gue?"
"Enggak."
Kemudian, mereka tertawa bersama. Pegawai Aqila juga ikut tersenyum melihat kehangatan mereka.
Alesha menyeberang ke kantor PT. Starfood Anggara setelah semua berkas lamarannya siap. Wanita itu menemui Dewi untuk menyerahkan lamaran. Kepala HRD itu meminta Alesha datang ke kantor keesokan hari untuk melakukan interviu.
Malam harinya, Aqila membantu Alesha mempersiapkan diri untuk interviu. Dia sampai berselancar di ponsel mencari kisi-kisi mengenai pertanyaan saat interviu untuk posisi sekretaris sementara Alesha masih berkutat dengan pakaian yang akan digunakan besok.
Hari berganti dan Alesha sudah siap pergi untuk melakukan interviu. Wanita itu mendapat jadwal setelah istirahat makan siang, jadi meski bangun kesiangan dia tidak khawatir.
"Gimana tadi interviunya?" tanya Aqila saat Alesha datang ke toko setelah interviu.
"Lumayan, sih. Tapi, tadi yang nginterviu gue cuma Mbak Dewi sama orang manajemen. Bosnya nggak ada. Gue bersyukur, sih nggak ketemu sama bos galak itu."
"Tau dari mana kalo bosnya galak?"
"Gue sempet denger dari beberapa calon sekretaris yang udah duluan interviu. Mereka sampek nggak bisa jawab pertanyaan gara-gara tatapan mematikan dari si bos."
Aqila tertawa sebelum memberikan hasil fotokopi pelanggan. "Kapan dikabari kata Mbak Dewi?" tanyanya setelah pelanggan pergi.
"Suruh tunggu dua hari."
"Semoga lo yang kepilih, deh. Biar nggak gabut mulu di sini. Bantuin kagak, bikin repot, iya."
Alesha hanya berdecak untuk menanggapi ucapan terakhir sahabatnya itu. Dia memilih untuk merebahkan diri di kursi panjang yang tersedia di bagian dalam toko, terpisah oleh sekat kayu.
Baru memejam sebentar, suara dering ponsel yang begitu nyaring membuatnya membuka mata lagi. Dia segera mengangkat panggilan dari Dewi.
"Sore, Mbak. Gimana, Mbak?"
"Mau kasih kabar soal hasil interviu tadi. Selamat, ya. Kamu yang keterima."
"Serius, Mbak? Katanya nunggu dua hari?"
"Kelamaan. Aku udah ngubungi bos. Katanya oke aja."
"Makasih, banget, Mbak."
"Oh, iya. Besok ke kantor buat tanda tangan kontrak sama bawa ijazah asli, ya."
Iya, besok aku ke kantor. Bawa ijazah asli? Oke."
Alesha langsung lari ke depan untuk memberikan kabar baik itu kepada Aqila. Wanita itu memeluk sahabatnya erat.
"Kenapa, nih?"
"La! Doa lo terkabul. Mbak Dewi barusan telpon dan kasih tau kalo gue yang kepilih. Gila, nggak, tuh?"
"Serius? Cepet banget? Nggak jadi dua hari?"
"Nggak, katanya si bos udah setuju. Jadi, langsung gas aja."
Mereka berteriak lalu berpelukan lagi sambil berputa-putar. Pegawai Aqila hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan dua sahabat yang terkadang agak gila itu sambil melayani pelanggan yang baru datang.
"Setop, La!" Alesha menghentikan kegiatan mereka.
"Kenapa, sih?"
"Besok gue disuruh bawa ijazah asli. Gimana, dong?"
"Ya elah. Tinggal ambil ke rumah bokap lo aja apa susahnya, sih?"
"Kalo nanti gue dikira balik lagi, gimana? Gue males ketemu bokap, La."
"Gue temenin. Tapi, lo masuk sendiri ke rumah."
"Sialan, lo!"
Alesha memukul lengan sahabatnya hingga mengaduh. Kemudian, mereka bersiap untuk kembali ke apartemen sebelum pergi ke rumah Anton Wijaya.
Bersambung
~~~
Ketemu lagi sama Alesha. Ikuti terus kisahnya, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top