Bab 69. Turun ke Lapangan Lagi
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Bagas tiba di kantor pukul sebelas siang setelah mengantar Veni ke indekos. Pria itu meninggalkan Veni setelah memenuhi semua kebutuhan. Dia langsung menghampiri sekretarisnya ketika sampai di lantai empat. Dia melihat Alesha melamun di depan komputer yang menyala.
"Alesha! Laporan yang saya minta tadi sudah selesai?"
Bagas menunggu hingga beberapa detik, tetapi tidak ada respons dari wanita itu. Akhirnya, dia berjalan memutar dan berdiri persis di samping sekretarisnya yang melamun itu.
"Alesha!" panggilnya tepat di telinga.
Wanita yang dipanggil namanya itu berjingkat dan langsung menoleh ke kanan. Wajahnya bertemu dengan hidung Bagas dan membuatnya makin terperanjat. Bagas dengan sigap langsung menahan punggung Alesha yang hendak terjungkal. Selama beberapa detik, mereka saling berpandangan tanpa suara.
"Kamu mikirin apa sampek ngelamun gitu? Bahkan saya manggil kamu dan sampek berdiri di sini juga kamu nggak sadar." Bagas berbicara setelah membantu Alesha duduk kembali dengan benar.
Wajah wanita itu memerah. "Maaf, Pak. Saya masih kepikiran soal Aqila. Tadi Bapak bilang apa?"
"Saya tanya soal laporan yang saya minta tadi. Udah selesai?"
"Oh, ini, Pak. Tinggal sedikit lagi. Sebentar lagi saya antar ke ruangan Bapak."
Bagas menghela napas berat. "Ya udah. Tapi, tolong cepet. Soalnya itu mau saya bawa ke lapangan. Abis makan siang kita langsung berangkat, ya. Kamu ikut sama saya."
Alesha yang sudah menghadap komputer kembali mengangguk tanpa menatap bosnya. "Baik, Pak. Saya selesaikan sekarang."
Bagas meninggalkan Alesha dan kembali ke ruangannya sendiri. Masih ada beberapa hal yang harus dikerjakan sebelum mengunjungi lokasi di lapangan. Baru saja dia duduk di kursi, ponselnya berdering dan dia segera mengangkat panggilan dari Rendra.
"Baik, Pak. Saya akan segera mengecek kepada pihak pengiriman. Seharusnya sudah sampai hari ini sesuai jadwal. Nanti saya kabari lagi secepatnya."
Pria itu menutup telepon dan segera meminta sekretarisnya untuk memanggil kepala divisi pemasaran agar datang ke ruangannya. Sambil menunggu, dia memeriksa email masuk dan membalas satu per satu yang memang membutuhkan jawaban segera. Tepat setelah menekan tombol kirim pada email terakhir, Alesha masuk setelah mengetuk pintu.
"Maaf, Pak. Saya mau menyerahkan laporan yang tadi Bapak minta. Bapak bisa periksa dulu." Wanita itu meletakkan dokumen yang dibawanya ke meja.
"Kamu udah panggil Pak Andre?"
"Sudah, Pak. Mungkin sebentar lagi beliau datang."
Kedua orang itu sama-sama menoleh ketika terdengar ketukan di pintu. Alesha bergegas membukakan pintu.
"Silakan, Pak. Pak Bagas sudah menunggu." Kemudian, wanita itu berpamitan untuk kembali ke mejanya.
Setelah Alesha keluar dari ruangan, Bagas berdiri dan mempersilakan kepala divisi pemasaran itu untuk duduk di sofa.
"Saya langsung saja, ya, Pak. Barusan saya mendapat telepon dari distributor di Jogja. Katanya barang mereka belum sampai. Padahal, seharusnya kalo sesuai jadwal barang itu sudah sampai hari ini. Pagi tadi kalo sesuai jadwal."
"Benar, Pak. Tapi, saya baru dapat kabar kalo bagian pengiriman masih ada kendala. Tapi, mereka sudah tiba di Jogja, Pak."
"Masalah apa? Kenapa saya nggak tahu?"
"Maaf, Pak. Kami berusaha untuk menyelesaikannya sendiri sebelum melapor kepada Bapak."
"Tapi, akhirnya nggak bisa menyelesaikan? Sampek distributornya langsung yang menghubungi saya."
Kepala divisi pemasaran tersebut menunduk sambil meminta maaf. Suasana di ruangan Bagas menjadi tegang.
"Terus, sekarang gimana?"
"Kami masih mencoba menghubungi bagian pengiriman, Pak. Tadi terakhir mereka sudah jalan lagi."
"Sebenernya ada masalah apa sampek mereka bisa terlambat seperti ini?"
"I-itu, Pak. Mereka masih terjebak macet. Lalu, sempat mengalami ban bocor juga. Jadi, pengirimannya agak molor."
Bagas mendengkus. "Kalo hanya masalah seperti itu harusnya kalian bisa mengabari pihak distributor. Saya yakin kalo ada pemberitahuan sebelumya, mereka pasti mengerti. Namanya juga kondisi di jalan. Yang terpenting itu komunikasi, Pak. Saya harap pengiriman berikutnya nggak ada kendala seperti ini."
"Baik, Pak. Terima kasih. Sekali lagi maaf. Saya akan menghubungi pihak distributor langsung."
Bagas kembali ke kursinya setelah Andre berpamitan. Dia langsung membuka laporan yang diberikan oleh sekretarisnya tadi. Sepuluh menit kemudian, dia berdiri dan mengambil ponsel berserta laporan tadi lalu berjalan keluar dari ruangan untuk menghampiri Alesha.
"Kita berangkat sekarang. Sekalian makan siang di luar aja sambil perjalanan ke sana."
"Oh, baik, Pak. Sebentar saya matikan komputer dulu."
Mereka tiba di lokasi persawahan tiga jam kemudian setelah sebelumnya makan siang terlebih dulu. Kedua orang itu turun dari mobil dan langsung disambut oleh pegawai dari divisi riset dan produksi. Mereka berjalan menuju pondok di tengah sawah, di sana sudah ada petani binaan perusahaan.
Setelah berbasa-basi sebentar, Bagas lalu mengeluarkan laporan yang tadi dibawa dan memberikannya kepada divisi riset dan produksi. Mereka membaca dan memahami isinya sebelum berdiskusi.
"Jadi, bagaimana perkembangan tanamannya selama ini, Pak?" tanya Bagas kepada petani.
"Oh, alhamdulillah semuanya baik, Pak. Pupuk dan obat yang direkomendasikan juga bagus. Hasilnya tanaman mulus, Pak."
"Wah, syukur kalo gitu. Sekarang udah umur berapa tanamannya, Pak?"
"Sudah masuk 25 hari, Pak. Minggu depan masuk pemupukan kedua. Semoga aja hasilnya baik sampek panen."
"Iya, semoga, Pak. Supaya jadwal produksi perusahaan nggak mundur lagi."
"Siap, Pak. Saya usahakan yang terbaik."
"Bagaimana, Pak? Sudah dipelajari semuanya?" Kini Bagas beralih menatap kedua karyawannya.
"Sudah, Pak. Kami juga setuju dengan apa yang tertulis dalam laporan ini. Nanti kita tingkatkan untuk hasilnya. Semoga saja sesuai dengan harapan kita, Pak."
"Bagus. Saya harap kita semua bisa bekerja sama dengan baik untuk proyek ini."
"Siap, Pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin."
Mereka kembali mengobrol santai seputar pertanian dan hasil pengolahannya. Bagas memperhatikan Alesha yang sepertinya sibuk bolak-balik mengecek ponsel.
"Alesha! Kamu sudah catat semua yang kami bicarakan tadi? Termasuk kebutuhan apa saja untuk tanaman ini?"
Alesha mendongak dari ponselnya. "Oh, sudah, Pak. Semuanya sudah saya catat. Nanti sampai di kantor saya pindahkan."
"Bagus. Kamu kenapa? Saya perhatikan dari tadi ngecek ponsel terus? Ada yang buat kamu khawatir?"
"Ini, Pak. Saya nge-chat Aqila dati tadi, tapi nggak bales-bales. Waktu saya ninggalin dia, kondisinya lumayan buruk. Dia bahkan muntah-muntah tadi pagi."
"Kenapa kamu nggak izin aja buat nemenin dia?"
"Tadi niatnya gitu, Pak. Tapi, kerjaan saya masih banyak. Dan lagi Aqila nggak mau ditemenin. Dia malah ngusir saya nyuruh berangkat kerja."
Bagas melihat jam di tangan kirinya. "Kalo gitu nanti sampek kantor kamu boleh pulang. Lagian kita sampek kantor pasti udah jam lima lewat. Besok aja lanjutin lagi kerjaannya."
Wajah Alesha berbinar. "Beneran, Pak? Saya boleh pulang tepat waktu?"
"Yah, kalo kamu mau lembur nggak apa-apa, sih," ucap Bagas sambil berjalan mendahului Alesha.
"Saya mau pulang aja, Pak."
Alesha mengejar Bagas. Mereka kembali ke kantor setelah berpamitan kepada tiga orang lainnya. Bagas melirik wanita yang berjalan di sampingnya sambil senyum-senyum sendiri itu.
Bersambung
~~~
Makin ganteng aja, nih, Pak Bagas.
Wah, nggak nyangka Alesha udah sampe 69 bab. Tinggal dikit lagi menuju akhir. Makasih buat kalian semua yang mau nemenin Alesha sampek sejauh ini, ya.😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top