Bab 67. Mencari Indekos
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Bagas mendongak dari dari dokumen yang sedang diperiksanya saat terdengar ketukan di pintu. Pria itu mempersilakan siapa pun di balik pintu tersebut untuk masuk ke ruangan. Dia melihat Veni dan Alesha yang masuk lalu meminta mereka untuk duduk di sofa tamu. Pria yang mengenakan setelan jas cokelat itu mengangkat sebelah tangan ketika Veni hendak bicara. Dia menyelesaikan memeriksa dokumen lalu membubuhkan tanda tangan di halaman terakhir. Barulah setelah itu, dia berdiri dan menghampiri dua wanita yang datang ke ruangannya itu.
"Alesha, ini dokumennya udah saya tanda tangani." Bagas menyerahkan dokumen yang dibawanya kepada Alesha.
"Baik, Pak. Nanti saya berikan sama divisi quality control."
"Sekarang kamu udah siap mau liat-liat kosan, Ven?" tanya Bagas sambil menoleh ke arah Veni yang duduk di samping Alesha.
"Boleh. Aku juga udah free, kok."
"Kalo gitu saya permisi kembali ke meja, Pak."
Alesha berdiri membawa dokumen tersebut hendak meninggalkan ruangan bosnya. Namun, panggilan Bagas membuatnya menoleh kembali.
"Kamu ikut saya, Alesha. Udah nggak ada kerjaan yang mendesak, kan? Saya butuh kamu buat nilai kos-kosannya nanti."
Alesha berkedip dua kali. "Harus banget saya ikut, Pak? Saya rasa selera Veni juga lebih oke daripada saya. Jadi, dia pasti bisa nilai tempat tinggal yang nyaman untuk dirinya sendiri. Lagian, saya masih ada beberapa kerjaan yang harus diselesaikan hari ini, Pak."
"Kamu mau nolak perintah saya? Kerjaan yang itu besok aja kamu selesaikan. Saya juga masih nggak buru-buru, kok."
"Baik, Pak. Kalo gitu saya serahkan dokumen ini dulu sama bagian quality control." Alesha mengangkat dokumen yang dimaksud lalu keluar dari ruangan itu.
Kini, di ruangan tersebut tinggal Bagas dan Veni. Pria itu kembali ke meja kerjanya untuk mengambil ponsel dan mematikan komputer, sementara Veni berdiri dan memperhatikan seluruh ruangan Bagas.
"Wah, nggak nyangka, ya. Kak Bagas sekarang udah jadi pimpinan sebuah perusahaan besar. Padahal, dulu Kak Bagas itu orangnya pendiem. Nggak banyak omong."
"Yah, semua ini juga aku dapet berkat kebaikan keluargamu, kan? Kalo nggak ada Om Dodi, aku nggak tau bakal jadi apa aku sekarang."
"Udah berapa lama kita nggak ketemu, ya, Kak? Terakhir aku inget banget Kak Bagas itu masih kuliah dan milih untuk keluar dari rumah karena mau mandiri."
"Dan kamu waktu itu masih SMP kalo nggak salah. Udah enam atau tujuh tahunan, ya?"
"Iya, bener banget. Dan aku masih inget banget kata-kata Kak Bagas yang ngatain aku 'cewek centil'. Itu aku nggak terima banget sampek ngambek dan nggak mau ngomong sama Kakak beberapa hari."
Bagas tertawa mengingat kejadian itu. "Tapi, bener, kan? Kamu emang centil banget waktu itu. Masak anak SMP godain temen-temen kuliahku."
Veni bersedekap sambil memajukan bibir. Kejadian beberapa tahun lalu itu benar-benar membuatnya malu karena Bagas mengatainya langsung di depan teman-teman kuliah pria itu.
Bagas berjalan memutari meja lalu mengusap lembut kepala Veni. "Sori, deh. Kejadiannya juga udah lewat lama banget. Mending sekarang kita berangkat buat liat kosan?"
Veni mendengkus lalu menggandeng lengan Bagas. "Untung aja Kak Bagas tetep sedep dipandang, ya. Dan tentunya masih tetep baik sama aku."
Bagas hanya menggeleng sambil tersenyum menanggapi ucapan wanita yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri itu. Kemudian, mereka keluar dari ruangan dengan Veni tetap menggandeng lengan Bagas. Tepat di depan ruangan, seorang wanita dari divisi keuangan menghampirinya.
"Maaf, Pak. Saya ke meja Mbak Alesha, tapi orangnya nggak ada. Makanya saya tunggu di sini. Kebetulan Bapak keluar, saya mau menyerahkan laporan keuangan untuk bulan lalu, Pak."
Bagas melirik ke meja sekretarisnya yang masih kosong. "Iya, Alesha lagi ke ruangan divisi quality control, kamu taruh di mejanya aja. Biar besok saya periksa. Soalnya hari ini saya masih ada acara di luar."
"Oh, baik, Pak. Kalo gitu saya permisi."
Bagas bisa melihat jika pegawainya itu tidak berhenti melirik Veni yang dengan berani merangkul lengannya. Dia juga merasakan jika wanita di sampingnya itu dengan sengaja makin menempelkan diri hingga membuat pegawainya buru-buru pergi setelah meletakkan berkas di meja Alesha.
"Pasti dia bakal ngabarin ke pegawai yang lain, tuh!"
Bagas menoleh kepada Veni yang baru saja menyindir pegawaniya itu. "Kamu kenapa? Bukannya kamu emang sengaja nempel-nempel biar digosipin?"
"Abisnya aku kesel banget sama pegawai Kakak. Tadi aja waktu aku mau masuk ke kantor sini, dicegat sama resepsionis di bawah. Katanya aku nggak boleh masuk gitu aja kalo belum bikin janji sama Kakak. Untung aja aku telpon Kak Alesha. Terus dia nyamperin aku di lobi. Baru, deh aku boleh masuk. Kan, sebel!"
"Itu emang udah peraturannya. Lagian kenapa kamu nggak ngubungin aku kalo mau ke sini? Kupikir, kan kamu minta dijemput di seberang. Di toko Aqila."
"Enggak. Aku pengen liat-liat kantor Kakak juga. Tapi, ya, Kak. Tadi, tuh emang ada gosip tentang Kakak sama Kak Alesha di kantor ini. Mereka pada ngomongin kalo ternyata Kak Alesha bukan pacar Kakak karena liat aku dateng." Veni mengikik setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.
Mereka menghentikan pembicaraan mengenai gosip di kantor saat melihat Alesha sudah kembali. Wanita itu segera ke meja kerjanya lalu mematikan komputer dan mengambil tas.
"Kita mau berangkat sekarang, Pak?" tanya Alesha saat berdiri di hadapan dua orang itu.
"Kita jalan sekarang. Pasti Glen udah nunggu."
"Biar saya yang nyetir, Pak!"
"Nggak usah, Alesha. Kamu duduk di samping saya aja."
Alesha tersenyum sambil menunduk dengan wajahnya yang memerah.
Veni merangkul lengan Alesha lalu mereka bertiga berjalan beriringan dengan dia berada di tengah. Wanita itu masih sempat-sempatnya melambai kepada pegawai Bagas yang memandangi mereka dengan rasa penasaran.
Bagas mengemudi ke kafe Glen untuk menjemput pria itu sebelum melihat-lihat indekos. Mereka tiba di sana pukul dua siang dan langsung berangkat ke lokasi pertama. Indekos pertama berjarak sekitar tiga kilometer dari kafe milik Glen itu dan hanya berjarak satu kilometer dari kampus.
Mereka lanjut ke lokasi kedua setelah Veni tidak setuju dengan lokasi pertama. Sebenarnya, untuk fasilitas masih standar. Ada kasur, meja, lemari, AC atau kipas angin, kamar mandi dalam, dan parkiran. Namun, Veni tidak suka dengan bentuk kamarnya yang asimetris. Dari lokasi kedua, mereka lanjut ke lokasi ketiga. Kali ini Veni sangat suka dengan indekos di lokasi ketiga, tetapi Bagas menolak karena indekos tersebut bercampur antara laki-laki dan perempuan. Meski berbeda lantai, Bagas dengan tegas tetap menolaknya.
Masih di dekat lokasi yang sama dengan indekos yang sudah-sudah, kali ini Veni menolaknya lagi karena suasananya menyeramkan. Bagas melihat kekasihnya sudah kelelahan berkeliling. Di lokasi terakhir, wanita itu akhirnya bersuara.
"Kalo yang ini masih nggak cocok juga, kita lanjut besok lagi aja ya cari kosannya? Ini udah malem, loh."
Bagas melihat jam di tangan kirinya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Tidak terasa mereka sudah berkeliling selama lima jam untuk melihat-lihat indekos. Akhirnya, Veni dan Bagas sama-sama setuju dengan indekos ke depalan yang mereka kunjungi. Sama seperti indekos sebelumnya, hanya saja kali ini ada tambahan fasilitas kulkas dan dapur bersama.
Setelah memberikan uang muka kepada penanggung jawab indekos tersebut, mereka berempat kembali ke kafe Glen untuk makan malam. Bagas duduk di jok belakang bersama Alesha, sementara Glen menyetir dan Veni duduk di samping pria itu. Bagas membetulkan kepala kekasihnya yang tertidur itu agar bersandar di pundaknya. Dia memandangi wajah lelah dari wanita di sampingnya lalu mengecup singkat kening Alesha.
Bersambung
~~~
Duh, Pak Bagas! Makin ke sini makin nggak mau jauh-jauh dari ayang.🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top