Bab 66. Masih Bersama Veni

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Alesha memperhatikan Veni yang terus memandangi pemilik kafe bahkan hingga pria itu kembali ke balik meja barista. Ingin sekali dia menegur wanita itu agar berhenti bersikap centil, tetapi Bagas menarik tangannya dan mengajak duduk. Dia duduk di samping Bagas dengan tangan mereka masih tetap bergenggaman. Di hadapan mereka ada Aqila dan Veni yang masih terus mencuri pandang kepada Glen.

"Kenapa juga gue mau-maunya aja diajak ke sini? Ternyata gue cuma dijadiin obat nyamuk aja," sindir Aqila sambil memainkan ponsel saat melihat sahabatnya asyik mengobrol dengan Bagas, sementara Veni sibuk sendiri melirik Glen.

Alesha segera melepas genggaman dari kekasihnya. Dia tersenyum malu kepada sahabatnya itu lalu mencubit lengan Bagas yang hendak menarik tangannya lagi.

"Sori, La. Nggak maksud gitu, kok. Ya udah, mending sekarang kita bahas soal kuliah Veni aja. Itu, kan tujuan kita dateng ke sini?"

Bagas menaikkan alis ketika ditatap dengan intens oleh wanita yang duduk di sampingnya itu.

"Kita ke sini mau bahas kuliah Veni, kan, Pak?" Alesha menegaskan lagi kata-katanya diiringi dengan melirik Veni.

Pria yang baru paham akan kode dari kekasihnya itu langsung duduk tegak lalu menegur Veni. Wanita itu segera berbalik menghadap ketiga orang yang menatapnya dengan senyum terpaksa.

Alesha menyenggol lengan Bagas untuk memulai pembicaraan agar urusan mereka bisa cepat selesai. Dia ingin Veni segera keluar dari unit apartemen kekasihnya.

"Oke. Jadi, gini, Ven. Tadi, kamu sempet bilang untuk dicarikan tempat tinggal di deket sini aja biar kamu bisa sekalian part time di sini? Emangnya kamu bisa bagi waktu antara kuliah sama kerja paruh waktu?"

Veni tidak langsung menjawab. Wanita itu justru memandangi satu per satu ketiga orang dewasa yang menatapnya untuk mendengar jawaban.

"Ehm, aku bakal usahain biar bisa bagi waktu. Itung-itung sebagai praktek langsung karena aku mau ambil jurusan bisnis kayak Kak Bagas. Gimana? Boleh, ya, Kak?"

"Tapi, Ven. Kamu izin sama ibumu ke Jakarta itu buat kuliah. Bukan sama kerja sekalian. Nanti kalo Tante tanya, aku harus jawab apa?"

"Tolonglah, Kak! Aku juga mau belajar mandiri di sini. Masak iya aku harus bergantung sama Kak Bagas terus? Biaya kuliah aku udah ditanggung sama Kak Bagas, jadi uang saku dan jajan aku biar aku cari sendiri. Cukup adil, kan?"

Alesha melotot saat Bagas menatapnya untuk meminta pendapat. Sebenarnya, dia tidak tahu harus memberi pendapat apa. Karena pria itu terus saja menatapnya, terpaksa dia menjawab seadanya.

"Kalo menurut saya, sih enggak masalah kalo memang Veni mau mandiri, Pak." Alesha melirik ke arah Veni yang mengacungkan jempol kepadanya. "Cuma masalahnya, kenapa harus di kafe ini?"

Veni menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya, aku suka aja kerja di kafe. Pasti kalo kafe buka sampek malem, dong. Jadi, aku bisa kerja part time setelah kuliah gitu."

"Kalo pengen mandiri sambil belajar bisnis, gue juga punya usaha, kok. Kalo lo mau, lo bisa bantuin gue di toko fotokopi," tawar Aqila yang langsung mendapat dukungan dari Alesha.

"Nah, bener, tuh. Mending sama Aqila aja. Daripada di sini? Yang ada lo pasti ngecengin Glen mulu, kan?"

"Ih, Kak Alesha suka bener, deh! Lama-lama aku jadi suka sama Kakak, nih."

"Tuh, kan, Pak. Apa saya bilang? Dia pasti ada maunya minta kerja di sini segala."

Mereka menghentikan pembicaraan saat Glen datang membawa pesanan. Tanpa diminta, Veni berdiri membantu pria itu untuk meletakkan pesanan mereka di meja. Alesha yang melihatnya hanya bisa menggeleng-geleng.

Setelah semua pesanan tersaji di meja, Bagas meminta Glen untuk bergabung dengan mereka. Minggu siang, kafe bernuansa putih dan cokelat muda itu masih terlihat lengang. Hanya ada beberapa pengunjung yang menempati meja kosong di luar ruangan. Glen yang sudah menyelesaikan pesanan para pengunjungnya, bisa bergabung sesuai permintaan Bagas.

Alesha melihat Glen berjalan ke balik meja barista lalu kembali lagi dengan membawa sebuah dokumen di tangan. Wanita itu terus memandangi dokumen bersampul merah yang diletakkan Glen ke meja. Dia penasaran dengan isinya.

"Jadi, kalo cari tempat tinggal untuk anak kuliahan. Gue saranin model kos-kosan aja. Biasa, kan ada penjaga kos atau bahkan tuan rumahnya. Jadi, lebih aman gitu." Glen mulai bicara dengan membuka dokumen di hadapannya.

Alesha makin mendekatkan diri ke arah Bagas agar bisa melihat isi berkas yang dibuka oleh Glen itu. Wanita itu langsung menarik berkas tersebut ke hadapannya saat Bagas yang pengertian mendekatkan map merah itu.

"Kalo kampus yang deket sini, ada nggak, Glen?" Bagas bertanya kepada temannya itu.

"Lumayan banyak, sih. Emang mau ambil jurusan apa? Bentar, yang mau kuliah siapa? Kamu?" tanya Glen sambil menatap Veni.

Veni hanya mengangguk-angguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wanita itu justru menopang dagu dengan tangan sambil terus menatap Glen tanpa berkedip.

"Iya, dia mau ambil jurusan binsis."

Glen mengangguk mendengar jawaban dari Bagas lalu dia mengeluarkan ponsel dan mengetik sesuatu di sana. Beberapa detik kemudian, dia menunjukkan hasil pencariannya kepada Bagas. Alesha yang tidak mau ketinggalan ikut mengintip dari samping.

"Kampus itu lumayan deket dari sini. Yah, dibanding dari apartemen lo, lebih deket dari sini. Cuma kalo di sekitar sini ya adanya kos-kosan gitu. Kalo cari apartemen di daerah perkantoran lebih banyak."

"Gue setuju aja, sih kalo sama kampus ini. Bagus, kok. Akreditasinya untuk jurusan bisnis juga udah A. Jadi, terjaminlah. Kalo masalah tempat tinggal. Kalo menurut lo lebih aman kos-kosan gue ngikut aja. Yang penting carikan yang aman, nyaman, fasilitasnya juga oke."

"Oke. Besok gue kabarin buat liat-liat ke lokasi langsung."

"Siap. Thanks, Glen!"

Setelah itu, mereka mulai menghabiskan pesanan masing-masing sambil diselingi obrolan seputar kuliah. Tidak lupa juga Veni mengutarakan keinginnya untuk bekerja paruh waktu di kafe milik Glen itu. Wajah wanita itu langsung berseri ketika pemilik kafe membolehkannya kerja paruh waktu di sana.

Keesokan harinya, Alesha menawarkan diri untuk mengemudikan mobil Bagas saat mereka berangkat ke kantor. Veni yang tidak memiliki kegiatan akhirnya mengikuti Aqila ke toko untuk membantu wanita itu.

Tiba di kantor, seperti biasa Alesha memberitahukan jadwal Bagas untuk hari ini. Dia juga mengantarkan secangkir kopi ke ruangan bosnya itu. Wanita itu mencatat permintaan Bagas untuk membatalkan rapatnya setelah jam makan siang karena akan menemani Veni melihat indekos sekaligus kampus baru.

Alesha memeriksa dokumen uji kelayakan produk yang sudah direvisi oleh divisi quality control dan diberikan kepadanya satu jam lalu. Kali ini, dia membaca perlahan tiap lembar agar tidak ada yang terlewat lagi. Setelah yakin semua isi sudah sesuai dengan keinginan bosnya, dia membawa dokumen tersebut ke ruangan Bagas untuk ditandatangani.

Baru saja keluar dari ruangan pimpinan perusahaan itu, ponselnya berbunyi dan menampilkan nama Veni di layar. Dia mengerutkan kening, tetapi tetap mengangkat panggilan tersebut.

"Kak, tolongin gue, dong! Masak gue nggak boleh masuk ke kantor ini? Gue lagi di lobi."

Alesha menjauhkan ponsel dari telinga karena mendengar teriakan Veni dari seberang. Dia menempelkan kembali benda pipih itu ke telinga setelah tidak terdengar suara dari seberang telepon.

"Veni? Jadi lo ada di bawah? Ya udah, tunggu sana gue turun."

Alesha langsung mematikan panggilan itu tanpa mendengar balasan dari Veni. Dia merapikan dokumen di mejanya sebelum turun ke lantai satu.

Tiba di depan meja resepsionis, Alesha melihat Veni tengah berjalan ke arahnya. Tampak sekali kekesalan di wajah wanita itu.

Bersambung

~~~

Ngurus diri sendiri aja susah, ya, Sha. Ini malah ditambah suruh ngurusin anak orang.😩

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top