Bab 65. Di Antara Dua Wanita

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Bagas membersihkan sisa minuman kaleng dan bungkus camilan di meja depan televisi. Dia juga sudah mematikan televisi yang tadi masih memutar film. Veni yang melihat pria itu mondar-mandir dari ruang tengah ke dapur, akhirnya ikut membantu. Terakhir, Bagas mengelap meja dan mengepel seluruh sudut unit apartemennya. Dia tidak mau tempat tinggalnya itu terlihat berantakan saat tiga wanita akan menginap di sana.

Pria itu bergabung dengan Veni yang duduk di kursi meja makan setelah meletakkan alat pel di kamar mandi. Dia memperhatikan wanita itu yang sedang mencicipi masakan Alesha.

"Enak banget, Ven?" tanyanya ketika melihat Veni menjilati jari setelah memakan ayam goreng.

"Beli di mana, Kak? Enak banget. Aku laper, belum makan sejak sampek bandara tadi." Veni memegangi perutnya yang bunyi sambil meringis.

"Ya ampun, sori. Aku sampe lupa nggak nawari kamu makan. Ya udah, kamu makan aja. Kayaknya tadi Alesha masak nasi banyak, kok."

Veni berdiri untuk mengambil piring dan nasi. "Jadi, Kak Bagas beneran udah jadian sama dia?" tanyanya ketika sudah kembali ke meja makan.

Bagas menambahkan lauk ke piring Veni, sementara wanita itu masih menyendok sayur.

"Kenapa? Nggak cocok, ya?"

Veni menggeleng lalu menyuapkan nasi dan potongan daging ayam ke mulutnya. Susah payah dia menelan makanannya agar bisa segera membalas pertanyaan dari Bagas tadi.

"Cocok aja, sih. Kakak ganteng, dia cantik. Tapi, kayaknya dia nggak bisa akur sama aku karena ngerasa cemburu." Veni tertawa setelah mengucapkan kalimat terakhir.

"Kamu ini!"

Bagas berdiri lalu mengusap lembut kepala Veni. Kemudian, dia berjalan ke pintu karena terdengar bel berbunyi. Pasti Alesha, pikirnya.

Dia segera membuka pintu lebar tanpa mengintip terlebih dulu siapa yang datang. Alesha langsung menerobos masuk dengan membawa koper diikuti Aqila di belakang. Bagas bergegas mengikuti dua wanita yang menuju dapur itu.

"Wah! Enak banget, ya langsung makan."

Aqila menarik tangan sahabatnya yang sudah sembarangan bicara itu saat melihat Veni asyik menghabiskan makan.

"Eh, udah dateng aja kamu, Kak. Makasih, ya, makanannya. Jujur, ini enak banget!"

Alesha yang hendak marah itu mengurungkan niatnya setelah mendengar pujian dari Veni. Wajahnya berubah merah. Dia memang selalu lemah dengan pujian atas masakannya.

Bagas mendekat dan mengambil alih koper yang dibawa oleh Alesha. "Kamu bawa barang banyak banget? Emang mau nginep di sini berapa lama?"

Alesha yang sudah merasa senang itu, tiba-tiba menjadi kesal lagi mendengar pertanyaan dari kekasihnya. Dia melirik sinis Bagas yang justru memasang wajah tak berdosa itu.

"Nggak ada salahnya, kan siap-siap? Kalo-kalo besok kita belum nemu tempat tinggal buat Veni, dia pasti masih nginep di sini. Jadi, saya udah siap akan hal itu, Pak."

Bagas hanya meringis seraya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Sepertinya, dia harus menyiapkan stok sabar sebanyak mungkin untuk menghadapi segala tingkah laku kekasihnya itu.

"Ya udah terserah kamu aja. Aku taruh koper kamu di kamar, ya. Sekalian sama tas Aqila." Pria itu berjalan ke kamar dengan menggeret koper dan menenteng tas.

Mereka berempat bersiap tidur pada pukul sembilan malam. Sebelumnya, Alesha sudah memasak lagi untuk makan malam lalu mereka menghabiskannya bersama di meja makan. Veni yang terlihat sangat lelah karena menempuh perjalanan cukup jauh dari siang tadi, sudah mencuci muka dan mengganti baju lalu naik ke kasur di kamar Bagas. Sementara, tiga orang lainnya masih betah duduk di depan televisi membicarakan rencana besok.

"Nanti kalian berdua tidur di kamar bareng Veni. Biar saya yang tidur di sofa ini," ucap Bagas dengan menunjuk sofa di depan televisi tersebut.

Kedua wanita itu mengangguk. "Terus, besok rencana kita gimana, Pak?" tanya Alesha.

Bagas tampak berpikir setelah meneguk minuman kalengnya. Alesha memencet-mencet remote untuk mengganti saluran televisi, sementara Aqila memeluk bantal sofa untuk menahan kantuk.

"Di apartemen ini udah nggak ada unit kosong?"

"Wah, kalo itu saya kurang tau, Pak. Mending besok ditanyakan sama pengelola gedung. Tapi, menurut saya, seharusnya kita tentukan dulu Veni mau kuliah di mana. Jadi, nanti bisa cari tempat tinggal yang deket kampus."

"Ah, iya bener. Kamu pinter juga." Bagas menarik Alesha untuk mengecup kening wanita itu.

"Ih, Bapak! Nyosor aja. Di sini, kan, ada Aqila." Alesha mencubit lengan Bagas sambil melirik ke arah sahabatnya.

"Ya udah, kalian tidur aja. Kasihan temen kamu itu udah ngantuk berat."

Alesha mengangguk lalu membangunkan sahabatnya yang sempat tertidur itu. Kemudian, mereka berjalan ke kamar dan menutup pintu.

Satu jam berlalu, Bagas belum bisa tidur. Tubuhnya yang jangkung tidak muat di sofa yang hanya mampu menampung hingga setengah kakinya itu. Dia menoleh karena suara pintu kamar terbuka. Sosok Alesha yang sangat mengantuk keluar dan berjalan ke arahnya.

"Kamu kenapa? Nggak bisa tidur?"

"Saya masih bisa tahan dengan dengkuran Aqila karena sudah terbiasa tidur bersama. Tapi, tingkah Veni yang selalu bergerak dalam tidur sangat menganggu. Saya tidur di sini aja, ya, Pak?"

Bagas menggeser tubuh besarnya itu agar Alesha mendapatkan ruang. Belum ada lima menit mereka berbaring saling berpelukan, kedua insan itu sudah terbang ke alam mimpi.

Keesokan paginya, Bagas terbangun karena suara dehaman dari seseorang. Dia membuka mata lalu membelalak melihat Veni dan Aqila sudah berdiri di hadapannya. Perlahan, pria itu melepas rangkulannya di pinggang Alesha dan mencoba bangun dari posisi berbaring. Namun, wanita yang tidur bersamanya itu menggeliat dan justru berbalik untuk memeluknya.

Aqila tidak tinggal diam, dia menepuk pundak sahabatnya itu hingga terbangun. Veni bersedekap sambil menahan tawa menyaksikan adegan absurd pada pagi hari pertama di Jakarta.

Alesha langsung terduduk setelah meracau tidak jelas lalu melihat ketiga orang di sekitarnya itu.

"Pantes, ya! Gue cariin karena pas bangun gue nggak liat lo di kasur. Ternyata semalem lagi asyik berdua sampek tidur bareng di sofa?"

"Duh, nggak gitu, La! Semalem gue nggak bisa tidur gara-gara anak ini," Alesha menunjuk Veni, "gerak mulu pas tidur. Akhirnya gue keluar terus tidur di sini, deh." Wanita itu cengar-cengir menatap sahabatnya yang sedang marah.

Bagas segera menengahi kedua sahabat tersebut sebelum terjadi perdebatan panjang lalu meminta ketiga wanita itu untuk bersiap-siap. Tiga jam kemudian, mereka berempat sudah berada di kafe milik Glen. Bagas memberitahu mengenai keberadaan Veni dan kesulitan yang dihadapinya bersama tiga wanita itu.

"Kita duduk di pojok sana aja, Pak. Enak adem," usul Alesha dengan menunjuk satu meja kosong di belakang dekat jendela.

"Nggak-nggak. Mending di sana aja, Kak." Veni tak mau kalah dan menunjuk tempat yang berbeda dengan Alesha.

Bagas menggeleng sambil memijit keningnya yang terasa sakit. Sebelum tiba di sana, kedua wanita itu sudah berdebat mengenai posisi duduk masing-masing di mobil. Sekarang, mereka meributkan meja yang akan ditempati.

"Kita duduk di sini aja." Bagas memutuskan untuk duduk di meja kosong dekat mereka berdiri saat ini hingga membuat kedua wanita itu terdiam.

Tidak lama kemudian, Glen datang membawakan menu. Pria itu menyapa Bagas dan ketiga wanita yang bersama temannya itu.

"Kak, di sini terima pegawai paruh waktu, nggak?" Tiba-tiba Veni bertanya kepada Glen lalu beralih menatap Bagas. "Kak Bagas, kita cari tempat tinggal yang deket sama kafe ini aja. Aku bisa kerja part time di sini sambil kuliah."

Bagas dan Alesha menganga mendengar pernyataan dari Veni itu. Mereka saling pandang lalu kembali menatap Veni yang tak berhenti tersenyum sambil memandangi Glen.

Bersambung

~~~

Gimana, nih, jadi Bagas? Dibikin pusing sama dua wanita sekaligus.🤭😂

Sori, ya, teman-teman. Kemarin Alesha mau update, tapi tiba-tiba jaringan internet telkomsel dan wifi indihome eror. Jadi, kemarin terpaksa libur. Tenang, udah dibayar hari ini dengan up lebih awal, ya.😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top