Bab 61. Permintaan dari Yogyakarta
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Bagas mengetuk-ngetuk jari di meja sambil menunggu balasan dari Alesha. Namun, hampir lima belas menit berlalu dia tak kunjung mendapatkannya. Padahal, wanita itu sedang online. Pria itu berdiri dari kursi kebesarannya lalu mengambil jas yang disampirkan di kursi. Kemudian, dia keluar ruangan untuk menghampiri meja sekretarisnya.
Pria itu mengernyit saat melihat Alesha yang tengah menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Dia mendekat untuk bertanya langsung.
"Alesha! Saya kirim chat belum dibalas. Kita makan siang di luar, ya?"
Bagas mengerjap karena tidak ada respons sama sekali dari lawan bicaranya itu. Jangankan menjawab, menoleh saja tidak. Dia mencoba mengetuk meja untuk menyadarkan wanita itu dari lamunan. Apa yang sebenarnya dia pikirkan hingga menguras seluruh konsentrasinya?
"Alesha, kamu dengar saya?"
Bagas memegang kursi wanita itu lalu memutar benda itu hingga berhadapan langsung dengannya. Jarak wajah mereka yang terlalu dekat membuat Alesha terkejut dan mengerjap beberapa kali.
"Bapak? Kok, bisa di sini? Ada apa?" Alesha menoleh ke sekeliling untuk memastikan tidak ada karyawan lain ynag melihat posisi mereka saat ini.
Bagas menyipit menatap wanita di hadapannya itu. "Kamu mikirin apa sampek nggak sadar saya udah di sini dari tadi? kamu juga nggak bales chat saya."
"Oh." Alesha hendak mengecek ponsel, tetapi Bagas menahannya.
"Kamu denger saya, nggak?"
Alesha menggeleng lalu menunduk. "Maaf."
Bagas menyentuh dagu wanita itu dengan telunjuk lalu mengarahkan untuk menatapnya kembali.
"Ada yang buat kamu nggak nyaman? Kamu bisa cerita sama saya."
Alesha tidak menjawab dan hanya menatap Bagas lekat. Begitu pula dengan pria itu, dia menatap lekat Alesha untuk pertama kalinya dengan jarak sedekat itu.
Ya, Tuhan! Kinan nggak pernah berubah sedikit pun. Dia tetap cantik bahkan semakin cantik. Apalagi diliat dari jarak sedekat ini. Kenapa gue bisa nggak ngenalin dia dari pertama ketemu?
Seseorang berdeham. "Permisi, Pak! Saya mau menyerahkan dokumen untuk uji kelayakan dari produk terbaru perusahaan."
Bagas terdiam masih dengan posisi menghadap Alesha dan kedua tangan memegang kursi. Dia lebih terkejut dengan aksi Alesha yang tiba-tiba berdiri tanpa memberi aba-aba.
"Saya nggak akan ngulangin lagi, Pak. Maaf tadi saya melamun selama bekerja. Saya akan menyelesaikan laporan yang Bapak minta sebelum waktu pulang kantor."
Bagas menaikkan alis menatap Alesha yang berdiri di samping meja untuk meminta penjelasan dari apa yang dilakukan wanita itu. Bukannya menjawab, Alesha justru memberikan kode dengan matanya yang sama sekali tidak dimengerti oleh Bagas. Pria itu mencoba mencerna semuanya sebelum berdiri tegak lalu berbalik untuk menghadap karyawan yang merusak adegan romantisnya bersama sang kekasih.
"Kamu ada perlu dengan saya?"
Wanita yang merupakan karyawan dari divisi quality control itu menatap bingung kepada Bagas. "I-iya, Pak. Saya tadi sudah bilang kalo saya mau menyerahkan dokumen uji kelayakan produk."
"Ya sudah. Kamu bisa taruh dokumen itu di meja sekretaris saya. Nanti biar dia periksa dulu baru diserahkan ke saya."
"Baik, Pak."
Wanita itu maju dan meletakka dokumen yang dibawanya ke meja sekretaris. Sebelum pergi, dia sempat menatap Alesha sinis.
"Kalo gitu, saya permisi, Pak"
Bagas menoleh kepada Alesha yang bernapas lega setelah kepergian seorang karyawan itu. Dia mendekat dan hendak menarik kekasih sekaligus sekretarisnya itu untuk duduk kembali. Namun, wanita itu justru menjauh dan menyembunyikan tangan.
"Kita harus jaga jarak selama di kantor, Pak. Kalo sampek ada yang mergokin kita deket banget kayak tadi, gimana? Saya nggak mau jadi bahan gosip di kantor."
Bagas mendengkus. "Oke. Saya nggak akan deket-deket kamu selama di kantor. Jadi, bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi sampek kamu melamun sepanjang hari?'
"Ehm, tadi Bapak ada perlu apa sama saya?" Alesha bertanya balik kepada Bagas.
"Saya mau ngajak makan siang di luar."
"Ayo kalo gitu, Pak! Nanti saya ceritakan di jalan."
Alesha mematikan komputer setelah menyimpan failnya. Dia mengambil tas dan ponsel lalu mengajak Bagas pergi.
"Pak! Kita jadi makan siang di luar, kan?"
Bagas menatap wanita itu setelah sadar dari lamunan. "Oh, iya."
Mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Di dalam mobil, Alesha menceritakan apa yang didengarnya di toilet. Bagas mendengarkan sambil fokus mengemudi.
"Sepertinya mereka udah curiga, Pak. Saya nggak mau jadi bulan-bulanan temen-temen di kantor karena pacaran sama bos."
Bagas menggenggam tangan wanita di sampingnya itu. "Kamu nggak usah denger kata mereka. Nanti juga gosipnya ilang sendiri setelah mereka dapet bahan gosip lain yang lebih menarik."
Alesha melepas genggaman Bagas lalu bersedekap sambil memajukan bibir. "Bapak enak bisa ngomong kayak gitu karena nggak akan mendapat kerugian apa pun. Sementara saya? Mereka akan menjadikan saya musuh dan tidak akan mengakui segala kerja keras saya karena di mata mereka saya mendapat posisi saat ini karena bantuan dari Bapak."
"Jadi, sekarang mau kamu gimana? Kamu mau jalani hubungan kita atau mau dengerin omongan mereka?"
Ditanya seperti itu, Alesha langsung diam seribu bahasa. Bagas hanya melirik sekilas lalu fokus lagi menatap jalanan. Sepanjang sisa perjalanan hingga makan siang dan kembali ke kantor lagi, tidak ada obrolan satu pun karena Alesha tetap bungkam.
Bagas mencoba memahami perasaan kekasihnya itu dan memilih untuk membiarkan wanita itu berpikir dengan tenang. Dia sadar jika dirinyalah yang telah membawa Alesha ke dalam kehidupannya. Jadi, pria itu akan mencoba memberi pengertian secara perlahan.
Tiba di kantor, Alesha langsung kembali ke mejanya untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda tadi. Bagas juga kembali ke ruangannya setelah memberitahu kepada Alesha untuk pulang bersama setelah selesai jam kantor.
Baru saja Bagas menyampirkan jas di kursi, ponselnya berdering dan menampilkan nama Veni di layar. Tanpa berpikir panjang, dia segera mengangkat panggilan tersebut.
"Kak Bagas! Aku udah pikirin tawaran Kakak waktu itu. Aku juga udah ngobrol sama Ibu dan Ibu setuju. Jadi, aku mau kuliah di Jakarta."
Bagas tersenyum mendengar kabar itu. "Wah! Bagus, dong. Terus kamu kapan mau ke sini? Kamu harus siapin segalanya untuk daftar kuliah, kan? Udah ada kampus dan jurusan yang kamu mau?"
"Udah, dong. Nanti aku cerita semuanya kalo udah di sana. Kata Ibu aku berangkat lusa. Nanti selama di Jakarta aku nginep di tempat Kakak, ya?"
"Nggak usah khawatir soal tempat tinggal. Nanti aku siapin semuanya. Kamu hati-hati perjalanan sendirian."
"Iya. Siap, Kak! Eh, ini Ibu mau ngomong."
"Iya, Tante?"
"Maaf, ya, Nak Bagas. Jadi ngerepotin. Tapi, Veni maunya kulaih di sana. Jadi, Tante setuju aja asal selama di sana dia masih di bawah pengawasan Nak Bagas. Biar Tante tenang selama Veni jauh dari Tante."
"Nggak usah khawatir, Tante. Aku malah seneng banget karena bisa balas budi sama keluarga Om Dodi. Tante tenang aja. Semua kebutuhan Veni selama kuliah biar jadi tanggung jawab aku."
"Makasih, ya, Nak Bagas."
Bagas mengakhiri teleponnya tepat saat terdengar ketukan di pintu. Dia mempersilakan seseorang itu masuk. Ternyata Alesha yang muncul dari balik pintu itu. Wanita itu masuk dengan ragu dan mendekat ke meja Bagas.
Bagas berdiri berhadapan dengan Alesha. "Ada yang mau kamu bicarakan?"
Tanpa aba-aba, wanita itu langsung memeluk erat Bagas yang tentu saja dibalas oleh pria itu. "Maaf soal yang tadi, ya, Pak. Setelah saya pikir-pikir, saya tahu kalo saya harus pilih hubungan kita."
Bagas tersenyum di atas kepala kekasihnya itu. Dia makin mengeratkan pelukan mereka karena terlalu gemas melihat tingkah wanita itu.
Bersambung
~~~
Eh, eh, eh! Awas kepergok sama yang lain kalo pacaran di kantor.🤭🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top