Bab 60. Pacar Bos
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Malam hari selesai jam kantor, Alesha pulang bersama Bagas. Mereka bergandengan menyusuri koridor lantai enam menuju unit apartemen masing-masing. Tiba di depan unit sahabatnya, Alesha melepas gandengan tangan Bagas lalu mereka berdiri berhadapan. Sejak kejadian siang tadi, jantung wanita itu tidak berhenti berdetak kencang. Apalagi, jika sedang berhadapan langsung seperti saat ini dengan pria yang secara tiba-tiba berubah status dari bos menjadi kekasihnya itu.
"Alesha, ada yang kamu pikirin?" tanya Bagas sambil menarik tangan Alesha ke dalam genggamannya.
"Eng-enggak, kok, Pak. Saya cuma ngerasa aneh aja. Ini Bapak beneran jadi pacar saya sekarang?"
Bagas tertawa dan hal itu membuat Alesha melebarkan mata karena terpesona dengan wajah bahagia yang ditunjukkan bosnya itu.
"Saya udah bilang, pelan-pelan aja. Saya juga belum bisa sepenuhnya menunjukkan hubungan kita."
Alesha membalas dengan tersenyum. "Iya juga, ya, Pak. Jadi aneh nggak, sih? Tapi, Pak. Kalo di kantor, jangan sampek ada yang tau, ya, kalo kita pacaran. Bisa heboh nanti."
"Iya, kamu tenang aja. Selama jam kantor, kita tetap profesional seperti biasa. Saya atasan kamu dan kamu sekretaris saya."
Alesha bisa bernapas lega sekarang. "Saya juga akan berusaha untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Dan nggak akan buat kesalahan lagi. Masak pacar bos bikin salah mulu."
"Kurang-kurangin ceroboh kamu itu. Kamu harus fokus sama kerjaan selama di kantor. Ya udah, kamu masuk aja. Kayaknya kamu juga harus bicara sama sahabatmu itu, kan? Selamat malam, Alesha!" Bagas maju lalu mengecup lembut kening Alesha.
Wanita itu memejam hingga Bagas menyudahi kecupan di keningnya. Ada rasa tidak rela saat pria itu menjauh, tetapi dia cukup tau diri untuk tidak meminta lebih.
"Makasih untuk hari ini, Pak."
Bagas mengangguk sambil tersenyum sebelum berbalik menuju unit di seberang. Alesha melambai sebelum masuk ke unit apartemen milik Aqila itu.
Di dalam unit, Alesha melihat Aqila tengah duduk di sofa sambil menonton televisi. Sepertinya, sahabatnya itu sedang merajuk karena tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Aqila sejak dia masuk. Sahabatnya itu hanya melirik sekilas lalu fokus lagi menatap layar kaca. Biasanya, Aqila pasti menyapa dan menanyakan kesehariannya di kantor.
Alesha langsung masuk ke kamar untuk mengganti pakaian lalu membersihkan diri di kamar mandi. Setelah selesai dengan urusan pribadinya, wanita itu kembali ke ruang televisi dan duduk di samping Aqila.
"Kita harus bicara, La. Jadi, tolong jangan hindari gue."
Aqila mendengkus lalu kembali duduk. "Apa yang mau lo omongin sama gue? Kayaknya udah nggak ada yang harus lo omongin lagi sama gue. Gue udah tau semuanya tadi siang. Dan semua itu bener-bener mendadak."
"La, please! Gue juga nggak ngerti apa yang sebenernya terjadi antara lo sama Reza? Kenapa lo mau-maunya aja dimanfaatin sama dia?"
"Dimanfaatin dari mana, sih, Sha? Gue sama Reza juga temen pas SMA kalo lo lupa. Emang ada salahnya sesama temen ketemu sama ngobrol? Masalah dia cari info tentang lo dari gue, itu cuma kebetulan aja karena gue sahabat lo. Gue cuma temenin ngobrol karena dia putus asa nggak bisa dapetin hati lo dan nurutin mau ayahnya buat tunangan terus nikah sama lo."
"Ya, tapi tetep aja, La. Nggak seharusnya lo ketemu sama Reza di belakang gue, kan? Lo bisa cerita semuanya sama gue."
"Nggak semua yang gue lakuin harus laporan sama lo, Sha. Lo juga nggak ngasih tau gue kalo udah jadian sama Bagas. Jadi, kenapa gue harus ngasih tau lo soal Reza? Kalo pun gue ngasih tau lo, apa lo bakal ngizinin gue buat ketemu sama dia?"
Alesha mengusap wajah sambil menarik napas panjang lalu mengembuskannya. Dia bersandar di sofa dan melihat langit-langit unit apartemen sahabatnya itu.
"Jangankan lo, La. Gue aja juga sama kagetnya tadi siang. Gue nggak nyangka kalo Pak Bagas bakal ngomong kayak gitu."
"Tunggu! Maksudnya gimana? Jadi, sebenernya lo sama Bagas udah jadian apa belum?"
"Dibilang udah ya udah. Dibilang belum juga belum. Gue sendiri bingung, La. Gue bener-bener nggak ngerti sama perasaan gue sendiri. Gue akui, Pak Bagas itu emang ganteng banget. Dan gue emang tertarik sama dia. Terlepas dari sikapnya yang galak dan bossy banget itu, sebenernya Pak Bagas baik dan perhatian. Selama di Jogja kemarin, gue bener-bener dibikin kalang kabut sama sikap dan perhatian Pak Bagas. Gimana gue nggak kesengsem coba?"
Aqila mengerjap beberapa kali lalu menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Gue makin bingung sama lo. Intinya, lo udah jadian apa belom sama Bagas? Terus nasib pangeran kecil lo itu gimana?"
"Ya udah jadian, sih. Pak Bagas bilang, kami pelan-pelan aja ngejalaninnya. Dia udah bilang kalo dia buka hati buat gue. Jadi, gue pikir nggak ada salahnya dicoba, kan? Nungguin temen masa kecil gue juga belum tentu bakalan dateng. Gue milih yang realistis aja di depan mata, deh."
"Aagghh! Selamet kalo gitu. Akhirnya, sahabat gue yang satu ini nggak jomlo lagi. Terus nasib Reza gimana?"
"Biarin aja dia. Nggak usah dipikirin. Kalo emang kalian sama-sama suka, sih, gue oke-oke aja. Tapi, kalo dia cuma manfaatin lo aja. Awas aja tuh orang! Bakal gue cincang sampek abis."
Keduanya berpelukan sambil tertawa. Bukannya tidak peka, Alesha tahu jika sahabatnya itu memiliki perasaan kepada Reza sejak sekolah dulu. Namun, dia hanya tidak mau Aqila kecewa dan sakit hati karena perasaannya tidak terbalas. Wanita itu akan selalu mendoakan yang terbaik untuk sahabatnya.
Hari berganti dan Alesha sudah bersiap untuk pergi ke kantor lagi. Seperti biasa, dia menyiapkan sarapan berupa roti lapis. Tidak hanya untuk dirinya dan Aqila, tetapi wanita itu juga menyiapkan sarapan untuk Bagas ditambah dengan kopi pahit. Dia berpamitan kepada sahabatnya untuk pergi terlebih dulu. Aqila yang sudah mengerti hanya mengangguk sambil mengacungkan jempol.
"Iya, deh, yang udah punya pacar sekarang!" goda Aqila yang membuat Alesha memajukan bibir.
Alesha tengah menyuapi kekasihnya di dalam mobil. Padahal, dia sudah menawarkan diri untuk menjadi sopir, tetapi Bagas menolak dan pria itu sendiri yang mengemudikan mobilnya. Tiba di kantor, Bagas meminum kopi buatan sekretarisnya itu sebelum keluar dari mobil. Kemudian, mereka berjalan bersisian memasuki lift.
Entah hanya perasaannya saja atau memang dia sedang diperhatikan oleh karyawan lain saat sedang berjalan menuju mejanya. Ketika dia menoleh, beberapa karyawan seolah menghindari tatapannya dan mencoba memperlihatkan kesibukan masing-masing. Aneh.
Dia pergi ke toilet setelah meletakkan barangnya di meja. Ketika berada dalam bilik toilet, dia mendengar perbincangan dua karyawan.
"Pantes aja bertahan sampek sekarang. Ada apa-apa, sih. Kalo sekretaris sebelum-sebelumnya, bikin kesalahan kecil aja udah langsung dipecat. Yang sekarang, boro-boro dipecat, diajak ke Jogja juga. Pasti nggak cuma urusan bisnis, deh."
"Iya, bener. Nggak mungkin, kan Pak Bagas ngajak sekretaris ke luar kota. Biasa juga dia pergi sendiri. Apalagi pas liat foto Pak Andre. Di belakang Pak Andre, Pak Bagas bukain pintu mobil buat sekretarisnya. Apa namanya kalo nggak ada hubungan?"
Alesha menutup mulut dengan tangan saat mendengar obrolan tersebut. Jadi, itu alasan karyawan lain memperhatikannya diam-diam sejak tadi. Dia segera kembali ke meja setelah memastikan dua karyawan yang menggosipkannya itu sudah pergi.
Bersambung
~~~
Bodo amat, dah, ya, Sha. Mau digosipin gimana juga. Tapi, kepikiran juga, ya. Otw ngadu sama bos rasa pacar.🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top