Bab 55. Bertemu Keluarga Dodi

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Bagas mengumpat bekali-kali sambil memukul pintu kamar hotelnya setelah kabur dari Alesha. Dia merutuki kebodohannya yang telah lepas kendali hingga berani mengecup kening sekretarisnya itu. Pria itu berhenti memukuli pintu lalu menghela napas panjang. Dia berjalan ke kasur untuk merebahkan diri setelah mengganti pakaian. Dia harus bisa bersikap profesional sebelum berani mengakui siapa dirinya di depan Alesha.

Keesokan paginya, Bagas bangun dengan pikiran yang lebih segar. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, dia keluar kamar hendak mengajak Alesha sarapan bersama. Baru saja dia membuka pintu, sekretarisnya itu sudah berdiri di depan kamarnya.

"Alesha? Baru aja saya mau ngajak kamu sarapan."

"Oh, kebetulan, Pak. Saya juga mau ngajak Bapak sarapan bareng. Nggak enak banget sarapan sendiri kayak orang ilang." Wanita itu tersenyum manis sambil tersipu.

Mereka berjalan bersisian menuju lantai satu untuk sarapan. Tamu di hotel itu terbilang sangat ramai apalagi di akhir pekan seperti saat ini. Mereka menuju meja prasmanan dan mengambil sarapan masing-masing. Alesha memilih sarapan dengan sereal dan roti panggang, sementara Bagas mengambil bubur ayam. Untuk minumannya, mereka sama-sama mengambil jus jeruk dan air mineral.

"Hem, Alesha. Saya mau minta maaf untuk kejadian semalam di depan kamar kamu. Saya nggak mau ada salah paham di antara kita. Semalam, saya kelepasan karena terlalu senang kita berhasil meyakinkan Pak Rendra. Tapi, jujur saya nggak ada maksud apa-apa. Apalagi sampek ada niatan buat mesumin kamu. Jadi, saya harap kamu bisa ngerti." Bagas membuka obrolan setelah mereka menghabiskan sarapan.

Pria itu menahan napas dengan dada berdegup kencang menunggu reaksi dari wanita di hadapannya itu. Ekspresi wajah sekretarisnya itu tidak terbaca. Wanita itu hanya diam sambil menunduk. Apakah dia salah bicara dan membuat Alesha tersinggung?

Alesha mendongak sambil menyunggingkan senyum tipis. "Saya ngerti, kok, Pak. Jadi, Bapak tenang aja. Saya juga nggak akan salah paham dengan sikap Bapak. Yah, meski saya agak kecewa karena sudah berharap lebih." Kalimat terakhir itu dia ucapkan perlahan, seperti orang bergumam yang hanya dapat didengarnya sendiri.

"Gimana? Kamu ngomong apa barusan? Yang terakhir?"

Alesha menggeleng. "Ah, enggak, Pak. Pokoknya, saya ngerti dan nggak akan salah paham sama sikap Bapak."

Setelah mendengar jawaban dari Alesha, barulah Bagas bisa bernapas lega. Dia pikir mereka akan terjebak dalam suasana canggung yang tiada akhir. Syukurlah, kini mereka bisa menjalani hari-hari seperti biasa.

Bagas menerima telepon dari Rendra saat hendak kembali ke kamar. Dia meminta Alesha untuk menunggu sebentar.

"Kita dapet undangan makan malam lagi dari Pak Rendra. Kamu mau nemenin saya, kan?" tanya Bagas setelah mengakhiri telepon dari Rendra.

"Kita nggak balik hari ini, Pak?"

"Sebenernya kerjaan kita udah selesai, sih. Tapi, bukannya kamu pesen tiket pulang untuk besok? Lagi pula, kita bisa sekalian jalan-jalan untuk mempelajari pasar di Jogja. Lumayan, kan buat pertimbangan perusahaan untuk produk selanjutnya. Gimana?"

Alesha menghela napas pasrah. "Ya udah, deh, Pak. Saya ngikut aja. Lagian, saya nggak mau kena omel gara-gara harus buang uang buat pesen tiket pulang lagi. Jadi, sekarang kita mau ke mana? Sambil nunggu waktu malam. Nggak mungkin, kan kita diem aja di hotel?"

"Nah, kebetulan. Saya memang mau ngajak kamu jalan-jalan ke Malioboro. Kita bisa hunting makanan dan minuman paling laku di sana. Gimana?"

Mendengar kata Malioboro yang katanya surga belanja dan kuliner itu, Alesha langsung bersemangat. Apalagi, spot foto di sana juga banyak. Pasti Alesha akan lebih bersemangat lagi karena bisa menambah isi galeri di ponselnya.

"Ya udah, Pak. Ayo! Balik ke kamar dulu buat ganti baju. Abis itu kita langsung pergi."

Bagas tersenyum sambil menggeleng melihat sekretarisnya yang jadi lebih bersemangat itu. Mereka kembali ke kamar masing-masing dan lima belas menit kemudian, kedua orang itu sudah berada di lobi menunggu taksi.

Mereka turun di Jalan Malioboro yang berada di jantung kota Yogyakarta. Meski masih siang, jalanan itu tetap ramai dengan wisatawan yang berseliweran untuk sekadar berfoto atau pun belanja dan menikmati pamandangan kota.

Bagas mengajak Alesha memasuki toko oleh-oleh yang menjual berbagai jenis makanan khas Yogyakarta. Mereka mencicipi beberapa produk paling laris di sana. Pria itu mengajak wanita di sampingnya untuk berdiskusi mengenai banyak hal. Mulai dari rasa, kemasan, harga, hingga tempat untuk menjajakan produk tersebut. Alesha mencatat di ponsel masukan dari bosnya itu dan beberapa produk yang paling disukai.

Setelah puas menilai satu toko, mereka beralih ke toko lain untuk melakukan hal yang sama. Tidak lupa sebelum meninggalkan toko, kedua orang itu akan membeli satu atau dua produk yang mereka suka. Kini, mereka duduk di salah satu bangku yang tersedia di sepanjang jalan Malioboro.

"Pak, yang ini enak banget. Bakpia pathuk kalo nggak salah namanya. Kulit pianya renyah terus isiannya juga macem-macem, Pak. Enak semua. Bapak coba, deh."

Bagas memundurkan kepala saat Alesha menyodorkan bakpia tersebut ke mulutnya. Wanita itu tetap memintanya membuka mulut meski dia sudah menawarkan untuk makan sendiri. Akhirnya, pria itu mengalah dan membiarkan Alesha menyuapinya.

"Hem, beneran enak. Menurut kamu perusahaan kita bisa buat yang seperti ini?"

"Kayaknya bisa, sih, Pak. Tapi, mungkin dengan inovasi lain. Misalnya aja kita buat ukurannya lebih kecil hingga sekali suap langsung masuk mulut. Terus dibikin lebih kering biar labih awet. Dan kemasannya juga bisa lebih sederhana, tapi tetep elegan. Yang pasti bisa menarik untuk anak-anak hingga orang dewasa."

Bagas mengusap dagu dengan telunjuk sambil memikirkan saran dari sekretarisnya itu. Memang tidak salah mengajak Alesha berkeliling mencari jajanan yang laris di pasaran. Sekali ditanya, idenya langsung mengalir.

"Boleh juga. Bisa jadi pertimbangan untuk produk selanjutnya. Sekarang kamu mau ke mana?"

"Saya mau belanja, ya, Pak. Mumpung di sini. Boleh, kan?" Alesha bertanya dengan mata berbinar.

"Ya udah, kita ke Mal Malioboro aja."

Alesha langsung berdiri dan menggandeng tangan bosnya tanpa canggung. Bagas sempat terpaku, tetapi dia tetap membiarkan wanita itu menggandeng tangannya.

Bagas dengan sabar mengikuti Alesha yang masuk hampir ke setiap distro yang ada di mal tersebut. Meski ujung-ujungnya wanita itu akan memilih pilihan pertama, pria itu tetap mengikuti tanpa protes. Hingga akhirnya, Alesha memutuskan untuk menyudahi acara belanjanya, Bagas bisa bernapas lega.

"Makasih, ya, Pak. Udah nemenin saya belanja. Maaf jadi lama banget. Kita balik ke hotel sekarang? Kita harus siap-siap untuk acara makan bareng Pak Rendra, kan?"

Bagas melirik jam di tangan kirinya lalu kembali menatap Alesha. "Masih ada waktu tiga jam lagi. Kita ke toko oleh-oleh terakhir dulu, ya?"

"Oh, oke. Siap, Pak."

Bagas masuk ke salah satu toko oleh-oleh yang merupakan milik istri almarhum Dodi. Dia ingin memastikan keadaan keluarga Dodi setelah sekian lama tidak bertemu. Pria itu melihat seorang wanita paruh baya berdiri sambil menawarkan produk kepada pembeli. Dia mengamati wanita yang tidak berubah sedikit pun dari terakhir kali bertemu, kecuali rambutnya yang mulai memutih.

"Ada yang bisa dibantu, Mas?"

Bagas menoleh kepada seseorang yang bertanya kepadanya. Dia memperhatikan wanita muda yang berdiri di hadapannya itu.

"Saya mau ketemu dengan pemilik toko ini."

"Kak Bagas? Ini beneran Kak Bagas? Serius ini Kak Bagas?"

Bagas mengerutkan kening saat melihat wanita di hadapannya sangat antusias menyebut namanya. "Iya, bener saya Bagas. Tapi, kamu?"

"Ah, ternyata beneran Kak Bagas."

Wanita itu langsung memeluk erat Bagas. Pria itu mengangkat bahu saat melihat Alesha melotot kepadanya.

Bersambung

~~~

Eh, eh! Siapa itu main peluk Pak Bos aja?😤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top