Bab 5. Lowongan untuk Alesha
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka tinggalkan jejak, ya
~~~
Berkali-kali Alesha menghela napas. Kalau bukan karena ancaman Aqila yang akan mengusirnya dari apartemen, wanita itu tidak mau menghadiri pesta para pebisnis. Sejak keluar dari rumah, dia memutuskan untuk tinggal bersama dengan sahabatnya. Ralat, lebih tepatnya dia yang menumpang.
Salah satu teman almarhum ayah Aqila mengadakan pesta untuk merayakan hari jadi perusahaan.
"Kenapa nggak lo aja, sih, La yang dateng? Gue temenin, deh," protes Alesha saat Aqila memintanya untuk menghadiri undangan tersebut.
"Nggak, deh. Makasih. Gue males banget ketemu sama saudara-saudaranya Ayah di sana. Lo, kan, tau mereka benci banget sama gue."
"Ya terus kenapa lo nyuruh gue dateng kalo lo sendiri ogah? Dasar temen sesat lo."
"Lo, kan bisa cari info lowongan di sana. Biasanya mereka bakal manfaatin orang terdekat buat cari karyawan. Lo butuh kerjaan, kan? Nggak mungkin lo di sini numpang doang tanpa bantu apa-apa."
"Ih, iya-iya gue bakal cari kerjaan. Ya lo bantuin gue, dong. Emangnya di perusahaan keluarga lo nggak ada lowongan gitu buat gue?"
"Lo yakin mau masuk kandang macan kayak gitu? Gue, sih, ogah."
"Ya, lagian. Kenapa lo mau-mau aja perusahaan bokap lo diambil alih sama mereka? Kere, kan, lo sekarang."
"Sialan, ya, lo! Udah numpang, ngatain gue segala lagi. Denger, ya, Sha. Kenapa lo nggak mau dijodohin sama Reza itu? Kenapa? Sekarang lo nggak punya apa-apa, kan karena sok-sokan pergi dari rumah."
"Gue nggak mau hidup ngenes kayak nyokap."
"Ya kalo gitu sama. Gue juga nggak mau hidup dari belas kasihan mereka yang udah ngerebut seluruh harta Ayah. Masih untung gue punya apartemen yang gue beli sendiri pakek duit tabungan gue. Dan usaha fotokopi yang dijalankan Ayah pertama kali dulu. Gue jalani usaha ini aja udah seneng. Daripada gue harus rebutan harta sama orang yang nggak tau diri itu."
"Kalo gitu, gue nggak usah dateng, deh. Kita berdua nggak perlu dateng. Iya, bener gitu."
"Temen Ayah itu udah baik masih inget sama gue, Sha. Dan lo bisa cari kerjaan di sana. Udah, deh nurut aja sama gue kenapa, sih? Atau lo mau gue usir dari sini?"
Alesha menyesal karena sudah mengiakan permintaan sahabatnya itu. Kini, dia harus hadir di tengah orang-orang yang tidak dikenalnya. Sial sudah menjadi nama tengahnya. Baru saja dia tiba di lobi hotel, wanita itu sudah bertemu dengan pria yang pernah dimuntahinya saat di klub malam beberapa waktu lalu. Karena malu, dia terpaksa pura-pura tidak mengenal pria yang malam ini terlihat sangat tampan dari sebelumnya.
Ketika pintu lift terbuka, seorang teman yang merupakan sepupu jauh Aqila memanggilnya. Alesha sempat menoleh dan menunduk kepada pria yang belum diketahui namanya itu sebelum keluar lift.
Sedang asyik mengobrol dengan sepupu jauh Aqila, tiba-tiba wanita itu harus pergi untuk menemani ayahnya menyapa beberapa rekan kerja yang juga hadir. Ketika Alesha tinggal sendirian, seorang pria menghampirinya.
"Sendirian aja? Tapi, kok lo bisa dateng ke sini? Bukannya lagi kabur dari rumah?"
Alesha berdecak lalu berbalik ke sisi lain untuk menghindari pria tadi. Dia malas meladeni pria yang selalu menjahilinya sejak kecil itu.
"Lo tinggal di mana sekarang? Kenapa nggak terima aja perjodohan kita? Jadi, lo nggak perlu ngegembel di luar sana."
Wanita itu hanya melirik sinis kepada pria yang kini berpindah ke hadapannya. Tanpa mejawab, Alesha justru pergi meninggalkan pria itu.
"Sha, lo sombong banget, sih? Kita perlu ngobrol soal perjodohan kita itu. Sha, tunggu!"
"Pak Reza? Kebetulan banget kita ketemu di sini. Ada yang mau saya tawarkan untuk kerja sama kita, Pak."
Alesha bernapas lega saat seseorang menghadang Reza dan mengajaknya bicara di tempat lain. Wanita itu berkeliling untuk mencicipi hidangan yang tersedia. Namun, dari kejauhan dia melihat Reza telah selesai berbincang dan mulai celingak-celinguk untuk mencari keberadaannya. Sebelum Reza menemukannya, wanita itu segera bergabung dengan sekumpulan orang yang membentuk lingkaran. Sekilas dia mendengar perbincangan mereka mengenai bisnis makanan.
Tanpa permisi, Alesha mengutarakan pendapatnya. Dia berdiri di samping pria yang tadi ditemuinya di lift. Meski dadanya berdegup kencang karena waswas akan diusir dari lingkaran itu, dia tetap dengan percaya diri berbicara. Di luar dugaan, ternyata orang-orang itu sangat menyukai pendapat Alesha, termasuk pria di samping yang tidak berkedip menatapnya.
Sialnya, dia berbuat kesalahan lagi karena kecerobohannya. Terlalu fokus memperhatikan Reza yang terus mencarinya, Alesha sampai tidak memperhatikan pelayan yang membawa minuman. Akhirnya, dia menyenggol gelas berisi minuman soda dan membuat blazer pria di sampingnya kotor dan basah.
"Sori." Niatnya untuk menghindari Reza justru membawanya ke dalam masalah baru.
Alesha menunduk malu setelah melihat wajah dingin dari pria di hadapannya saat ini. Dia merutuki kebodohannya yang membuat image-nya selalu jelek di mata pria itu.
"Pak Bagas, nggak apa-apa?" tanya Regi sambil mendekat.
Oh, jadi namanya Bagas, batin Alesha.
Wajah dingin Bagas seketika berubah ramah. "Nggak apa-apa, Pak. Cuma kotor sedikit aja. Nanti bisa dibersihin."
Alesha mendengkus. "Tumben ramah, sebelumnya marah-marah nggak jelas," gerutunya yang ternyata masih bisa didengar oleh Bagas.
"Apa lo bilang?" bisik pria itu di telinga Alesha sambil tetap tersenyum kepada yang lain.
"Gue nggak ngomong apa-apa."
"Pak Bagas bisa bersihkan bajunya di kamar mandi. Atau butuh baju ganti? Biar saya minta sekretaris saya untuk menyiapkannya." Ucapan Regi mengurungkan niat Bagas yang hendak mendebat Alesha.
"Oh, nggak perlu, Pak. Biar kami pergi aja. Nanti saya yang bersihkan pakaian Pak Bagas sebagai permintaan maaf. Kami permisi dan sekali lagi selamat untuk pestanya." Alesha menarik Bagas untuk keluar dari pesta setelah melihat Reza makin mendekat.
Bagas yang tidak mengerti apa-apa hanya pasrah saat wanita itu menyeretnya keluar. Pria itu tersenyum sambil mengangguk untuk berpamitan.
Di dalam lift, Bagas menepis tangan Alesha yang tetap melingkar di lengannya. "Itu tadi maksudnya apa? Kenapa lo tiba-tiba narik gue keluar?" Pria itu sudah memasang wajah dinginnya lagi.
Alesha bergeser hingga ke sudut. "Itu ... gue minta maaf, ya. Gue janji bakal cuciin blazer lo sampe bersih, kok. Jangan dibuang lagi. Gue juga mau bilang makasih karena udah nolongin gue keluar dari sana."
Bagas mendengkus. "Nggak perlu. Gue bisa urus pakaian gue sendiri."
"Eh, eh, eh! Gue bilang jangan dibuang juga. Sayang tau. Ini, tuh, abis dicuci masih bisa dipakek, kali." Alesha merebut blazer yang dilepas oleh Bagas.
"Balikin blazer gue!"
"Nggak! Gue mau nyuciin blazer ini."
Perdebatan itu berhenti saat pintu lift terbuka. Bagas keluar terlebih dulu lalu diikuti oleh Alesha yang mengekor di belakangnya hingga ke parkiran.
"Mau apa lagi lo?" tanya Bagas galak.
"Gue nebeng, ya. Lo, kan, tau kita satu apartemen."
"Nggak ada! Mending lo naik taksi aja."
Alesha langsung masuk ke mobil saat Bagas membuka kuncinya. Dia tidak peduli dengan pelototan pria di sampingnya itu.
"Please! Kali ini aja bolehin gue nebeng, ya?"
Bagas menghela napas sebelum akhirnya mengalah dan melajukan mobil ke daerah Kebagusan. Pria itu masih sempat melirik sinis ke arah wanita yang memasang senyum lebar di sampingnya itu.
Tiba di parkiran apartemen, Alesha mengucapkan terima kasih dan langsung keluar lebih dulu. Dia harus buru-buru masuk apartemen Aqila sebelum pria itu menahannya dan mengajak berdebat lagi.
Alesha langsung masuk ke kamar dan melempar blazer milik Bagas ke sofa. Dia tidak memedulikan Aqila yang bertanya tentang blazer itu. Saat ini, yang dibutuhkannya hanyalah tidur.
Keesokan harinya, Aqila membangunkan sahabatnya yang masih terlelap pada pukul sebelas siang. Wanita itu sampai harus berteriak di telinga Alesha untuk membuat sahabatnya itu terbangun.
"Apaan, sih, La? Gue masih ngantuk banget karena semalem, nih." Alesha menguap sambil menggeliat dalam selimut.
"Gue ada kabar baik, nih! Mau denger, nggak?"
Alesha membuka mata lebar mendengar kabar baik yang disebut Aqila. "Kabar baik apa, tuh? Awas lo bohong," ucapnya yang sudah duduk di kasur.
"Mbak Dewi tadi mampir dan ngasih tau kalo perusahaannya lagi butuh sekretaris. Lo coba, deh. Kali aja jodoh. Bisa kerja lagi, kan?"
Alesha menggaruk kepalanya lalu membersihkan kotoran di mata. "Iya, deh. Nanti gue coba masukin lamaran. Gue tidur lagi, ya. Masih ngantuk, sumpah."
Aqila menganga melihat sahabatnya sejak SMP itu kembali berbaring lalu menarik selimut lagi. Dalam sekejap, Alesha sudah hilang ke alam mimpi.
Bersambung
~~~
Cie, yang udah dapet lowongan. Siap kerja lagi, nih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top