Bab 49. Panggilan dari Yogyakarta

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Setelah Alesha pergi, Bagas masuk ke ruangannya untuk memeriksa email dari Dewi. Dia meminta data pribadi Alesha kepada kepala HRD itu untuk memastikan kebenaran yang didapatnya dari Glen dan fakta yang dilihatnya sendiri saat di rumah sakit. Pria itu menggulir kotak masuk untuk mencari email dari Dewi yang berisi data pribadi karyawan baru sebelum dilakukan interviu beberapa waktu lalu.

"Ah, ternyata memang bener ada emailnya. Kenapa gue nggak baca email ini waktu itu?" tanya Bagas kepada dirinya sendiri.

Dia membaca seluruh informasi mengenai data pribadi dari sekretarisnya itu. Alesha Kinan Wijaya, nama panjang wanita itu terpampang jelas di kertas yang dipegang oleh Bagas. Sudut bibir pria itu terangkat ke atas setelah membaca semua informasi yang tertulis. Dia membereskan meja lalu mematikan komputer. Setelah itu, dia keluar dari ruangan dan memutuskan untuk pulang ke apartemen.

Dalam perjalanan, dia teringat saat menerima telepon dari salah satu distributor di Yogyakarta. Rendra, pemilik dari PT. Interfood Cokrojoyo menghubungi Bagas setelah mendengar tentang produk perusahaannya dari pimpinan PT. Fajar Gemilang. Rendra tertarik dengan produk terbaru dari perusahaan Bagas dan ingin membicarakan kerja sama secara langsung.

Bagas sempat menghubungi Regi, pimpinan PT. Fajar Gemilang untuk menanyakan sedikit mengenai Rendra dan perusahaannya. Pria paruh baya itu sangat merekomendasikan distributor milik salah satu teman baiknya tersebut. Regi mengatakan jika saat ini adalah waktu yang tepat untuk perusahaan Bagas melebarkan sayap hingga ke seluruh nusantara.

"Jangan lupa bawa sekretarismu itu untuk bertemu Rendra."

Satu kalimat yang diucapkan oleh Regi sebelum mengakhiri telepon, selalu Bagas ingat. Hal itu pula yang membuatnya memutuskan untuk mengajak serta Alesha dalam perjalanan bisnis kali ini.

Bagas mengurungkan niat untuk pulang ke apartemen dan memilih mengunjungi kafe milik Glen terlebih dulu. Dia teringat tentang keluarga yang dicarinya beberapa waktu lalu. Pria itu ingin meminta Glen untuk memastikan lagi alamat dari keluarga tersebut.

Dia tiba di kafe milik Glen empat puluh menit kemudian. Pria itu segera menemui temannya itu setelah memberi kabar melalui telepon. Glen sudah menunggunya dengan membuatkan secangkir kopi untuk Bagas. Dia mengikuti Glen yang mengajaknya ke ruangan pribadi pemilik kafe itu.

"Gila! Lengkap juga peralatan lo di sini."

Bagas kagum melihat ruangan sederhana yang hanya berukuran dua kali tiga meter itu disulap menjadi ruang istirahat sekaligus ruang kerja bagi Glen. Terdapat sebuah kasur single yang diletakkan merapat dengan dinding sebelah kanan. Di sebelah kiri terdapat meja dan kursi lengkap dengan dua laptop untuk Glen bekerja dan terdapat sebuah lemari kecil di depan kasur.

Pria itu melepas jas dan melipat lengan kemejanya hingga siku. Kemudian, dia merebahkan tubuh di kasur yang tersedia itu. Sedikit membantu untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Dia memperhatikan Glen yang mulai membuka dan menghidupkan dua laptop di atas meja itu.

"Jadi, apa yang mau lo pastiin? Oh, iya kopinya diminum. Gue taruh di meja." Glen menunjuk kopi yang diletakkannya di meja sambil menoleh kepada Bagas.

Bagas mendudukkan dirinya lagi untuk memberitahu keinginannya kepada Glen. Dia sempat meregangkan tubuh dengan menautkan kedua tangan lalu menariknya ke depan hingga terdengar bunyi keretek.

"Gue Sabtu ini berangkat ke Jogja dan niatnya mau ngunjungin istri almarhum Om Dodi. Jadi, gue mau mastiin dulu alamat mereka tinggal di Jogja. Sama tolong informasi soal putri mereka. Gue lupa siapa namanya."

"Veni. Dia baru aja lulus SMA."

"Nah, iya. Veni. Dulu dia masih kecil banget waktu gue tinggal sama keluarga mereka. Kira-kira, mereka masih inget gue nggak, ya?"

Glen mengangkat bahu lalu fokus menghadap laptopnya. Jarinya mulai menari di atas papan kunci. Tidak membutuhkan waktu lama, sebuah kertas keluar dari mesin cetak. Glen menyerahkannya kepada Bagas yang asyik menyeruput kopi.

"Cepet banget! Udah ketemu? Yakin ini bener?"

"Kalo lo masih ngeraguin kerjaan gue. Lebih baik kita akhiri aja kerja sama kita."

"Woah! Bisa ngambek juga lo."

Glen menanggapinya dengan tawa. Kemudian, Bagas membaca isi kertas yang diberikan oleh Glen tadi.

"Jadi, mereka juga tinggal di deket Malioboro?"

Glen mengangguk. "Sesuai yang tertulis di kertas itu."

"Oke. Gue rasa gue bisa balas budi sekarang. Gue bakal tawarin buat biayain kuliah Veni. Dia tinggal pilih mau kuliah di mana."

"Ya-ya-ya. Percaya sama Bos Besar. Apa, sih, yang nggak bisa."

Bagas berdecak lalu meletakkan kertas itu di meja. Dia kembali merebahkan tubuh di kasur.

"Gue numpang istirahat bentar di sini. Kalo kelamaan lo bangunin aja."

Baru saja Glen mematikan laptop dan menoleh kepada Bagas, pria itu sudah terlelap. Glen hanya menggeleng lalu meninggalkan Bos Besar itu di kamarnya.

Keesokan paginya, Bagas terbangun masih tetap di kamar Glen yang berada di kafe. Pria itu bergegas megambil jas dan ponsel. Tidak lupa dia juga membawa kertas berisi alamat keluarga Dodi. Pria itu keluar dan melihat Glen sudah menyiapkan sarapan untuknya.

"Kenapa lo nggak bangunin gue semalem?"

"Bukan nggak bangunin. Tapi, lo-nya aja yang nggak bisa bangun. Jadi, gue biarin aja lo tidur di sini. Sarapan dulu. Gue udah siapin. Seadanya, sih."

"Thanks. Sori, udah ngerepotin. Kayaknya semalem gue capek banget. Biasanya gue nggak bisa tidur sebelum mandi."

Bagas duduk di hadapan Glen dan menikmati sarapannya. Roti lapis yang rasanya masih kalah dengan buatan Alesha itu cukup membuatnya kenyang sebelum memulai aktivitas kembali. Pria itu berpamitan kepada Glen setelah menghabiskan kopinya. Dia meninggalkan kafe yang masih tutup itu untuk kembali ke apartemennya sebelum pergi ke kantor.

Pukul 08.15 WIB Bagas tiba di kantor. Dia segera menuju lantai empat dan mendapati Alesha sudah berada di meja di depan ruangannya.

"Kamu nggak lupa buat pesan tiket dan kamar hotel, kan?" Bagas langsung bertanya setelah sekretarisnya itu menyapa.

"Siap, Pak. Ini lagi proses pemesanan. Untuk tiga orang, kan, Pak?"

"Bagus. Saya pikir kamu bakal lupa lagi."

Setelah itu, Bagas masuk ke ruangannya. Sepuluh menit kemudian, pintu ruangannya diketuk oleh seseorang dan Alesha muncul dari balik pintu setelah dipersilakan masuk. Wanita itu memberitahukan jika ada kepala divisi research and development yang ingin bertemu dengannya.

"Suruh masuk."

Alesha keluar dan seorang pria berusia kisaran 37 tahun masuk ke ruangannya. Bagas mempersilakan pria itu untuk duduk di hadapannya.

"Bagaimana, Pak? Ada yang mau didiskusikan dengan saya?"

"Begini, Pak. Untuk pupuk yang seharusnya kerja sama dengan petani binaan perusahaan kita, sampek hari ini belum ada kejelasannya, Pak. Di toko-toko yang sudah ditunjuk masih kosong. Adanya pupuk merek lain. Sementara, tanaman kita sudah waktunya untuk dipupuk. Ini solusinya bagaimana, ya, Pak? Saya mau diskusikan dengan Bapak dulu karena yang merekomendasikan pupuk tersebut adalah Bapak."

"Maksudnya bagaimana, Pak? Pupuk dari PT. Wijaya Utama belum masuk ke toko yang kita tunjuk?"

Pria di hadapannya itu mengangguk takut-takut. Bagas bersandar di kursi sambil menghela napas panjang.

"Padahal, saya sudah pastikan kalo barangnya sudah sampai di gudang mereka. Ya sudah. Nanti saya urus untuk masalah ini. Kita tunggu sampek minggu depan. Kalo memang ada masalah, baru kita gunakan pupuk lain untuk tanaman kita."

Kepala divisi riset itu keluar setelah menyetujui solusi sementara dari pimpinan perusahaan tersebut. Kemudian, Bagas mengambil ponsel untuk menghubungi Glen. Dia akan meminta pria itu mencari tahu apa yang terjadi dengan perusahaan Anton.

Bersambung

~~~

Baru juga seneng, ya, Gas. Ada aja masalah lewat.🥲

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top