Bab 48. Fokus, Alesha!

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Alesha keluar dari ruang rawat ayahnya setelah mengobrol selama kurang lebih tiga puluh menit. Wanita itu berjalan dengan tatapan kosong dan terus memikirkan ucapan terakhir dari ayahnya. Terlalu fokus dengan pikirannya sendiri membuat dia hampir salah mengambil jalan. Beruntung, ada Aqila yang menarik dan menyadarkannya dari lamunan.

"Lo kenapa, sih, Sha? Kok jadi ngelamun gitu setelah ketemu bokap lo? Lo khawatir sama Om Anton?"

Akhirnya, Aqila menanyakan hal yang sedari tadi mengganggu pikirannya. Dia melihat perubahan sikap dari sahabatnya itu sejak meninggalkan ruang rawat Anton. Wanita itu ingin memastikan bahawa semuanya baik-baik saja.

"Enggak, kok, La. Gue emang sempet takut banget waktu dikabarin bokap masuk rumah sakit tadi. Tapi setelah liat sendiri kondisi bokap, gue jadi jauh lebih tenang. Mungkin bokap kecapekan aja ngurus perusahaannya yang lagi kacau sekarang."

"Terus kenapa lo ngelamun kayak gitu tadi?"

Alesha terdiam lagi. Dia memikirkan kembali obrolannya dengan sang ayah mengenai seseorang yang memberikan dana dan menawarkan kerja sama untuk perusahaan.

"Gue cuma kepikiran aja sama omongan bokap soal orang yang bantu perusahaan. Bokap bilang itu anak salah satu sahabatnya dulu dan temen kecil gue juga. Apa maksudnya Restu, ya?"

"Siapa Restu?"

"Pangeran kecil yang sering gue ceritain sama lo itu."

Aqila mengangguk-angguk. "Oh, pangeran kecil yang bikin lo nolak dijodohin sama Reza dan bikin lo galau soal perasaan lo sama Pak Bagas itu?"

"Ih, lo kok malah nyindir gue, sih?"

"Dih, ngambek!"

"Tapi, gue heran aja, La. Kenapa dia baru muncul sekarang? Selama ini dia ke mana? Terus kalo bener itu dia, kenapa dia nggak nyamperin gue duluan? Kan, gue jadi kesel!"

Aqila mencubit lengan sahabatnya itu. "Lo amnesia atau gimana? Lo itu sekarang lagi kabur dari rumah. Terus lo pikir dia bakal tau gitu wajah lo sekarang? Secara kalian pisah udah lama banget. Dan emangnya kalo dia ada di hadapan lo saat ini, lo bakal kenalin dia?"

Alesha merenungkan perkataan Aqila sambil terus berjalan menuju parkiran rumah sakit. Apa dia akan mengenali Restu? Pertanyaan itu berputar dalam pikirannya. Ada benarnya juga ucapan sahabatnya itu. Terakhir kali dia bertemu dengan Restu saat pria itu masih berusia sepuluh tahun. Apa iya wajahnya tidak berubah?

"Ngelamun lagi, kan?" tegur Aqila yang membuat Alesha menoleh kepadanya.

"Eh? Sori. Gue lagi mikirin omongan lo. Bener juga, sih, ya. Gue atau pun dia nggak bakal ngenalin wajah masing-masing karena dulu terakhir ketemu, kita masih sama-sama anak SD."

"Terus, soal permintaan bokap lo buat balik ke rumah lagi gimana?"

Alesha masuk ke mobil dan duduk di kursi samping pengemudi sebelum menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu. Setelah memasang sabuk pengaman dan Aqila menghidupkan mesin mobil, wanita itu menoleh kepada sahabatnya.

"Menurut lo gimana? Gue harus balik ke rumah?"

Aqila mengangkat bahu dan mulai mengemudikan mobilnya keluar dari pelataran rumah sakit.

"Itu terserah lo, sih. Yang ngejalanin juga, kan, lo."

"Gue kangen kamar gue, La. Kangen mobil kesayangan gue. Kangen masakan Bibi juga. Tapi, gue nggak mau keliatan kalah sama bokap. Gue tetep harus nunjukin kalo gue bisa hidup mandiri tanpa fasilitas dari bokap."

"Ya, kalo gitu lo kerja yang bener. Jangan bikin kesalahan lagi dan jangan bikin Bagas kecewa. Gimana juga, bos lo itu udah baik hati nerima lo jadi sekretarisnya."

Alesha memajukan bibir. "Iya-iya. Gue bakal berusaha untuk fokus. Tapi, sebenernya gue juga kepikiran sama bokap. Kalo dia sakit lagi gimana?"

Aqila hanya menggeleng-geleng dan fokus pada jalanan tanpa memberikan tanggapan apa pun untuk Alesha.

Mereka tiba di depan kantor Alesha empat puluh menit kemudian. Wanita itu turun dari mobil dan meminta Aqila untuk menunggunya di toko hingga dia pulang.

Wanita itu langsung mengetuk pintu ruangan bosnya saat tiba di lantai empat. Tidak mendapat jawaban, dia membuka pintu dan masuk ke ruangan tersebut untuk mengecek keberadaan Bagas. Ruangan itu masih kosong dan artinya Bagas belum kembali. Dia memutuskan untuk menyelesaikan perkerjaan yang tertunda sambil menunggu bosnya itu datang.

Alesha kembali ke mejanya dan siap membuka satu dokumen yang akan diperiksa. Dia menghidupkan komputer dan memeriksa email yang masuk. Setelah memastikan tidak ada email penting, dia kembali kepada dokumen di hadapannya. Namun, wanita itu justru melamun memikirkan sang ayah.

Dia merebahkan kepala di meja setelah menyingkirkan dokumen yang hendak diperiksanya tadi. Wanita itu menarik napas panjang lalu mengembuskannya. Kemudian, dia memejam untuk melupakan semua masalahnya hari ini. Bayangan sang ayah tergolek lemah di ranjang rumah sakit membuat dadanya bergemuruh. Napas memburu lalu tangan yang mulai berkeringat meremas ujung roknya.

Alesha membuka mata saat merasakan tangan seseorang memegang keningnya. Dia segera duduk tegak karena melihat Bagas menunduk menatapnya.

"Ba-bapak sudah kembali?" tanyanya terbata.

"Kamu sakit? Kenapa sampek berkeringat begitu?"

Alesha mengusap keningnya. "Eh, enggak, kok, Pak. Saya baik-baik aja. Saya cuma khawatir sama kondisi ayah saya."

Wanita itu mengerutkan kening ketika melihat Bagas menahan senyum. Dia segera mengambil dokumen yang diabaikannya tadi.

"Oh, iya. Saya ke sini mau ngasih tau kamu kalo kita ada pertemuan di Yogya. Kita pergi bertiga sama kepala divisi pemasaran. Tolong pesan tiket pesawat dan kamar hotel untuk tiga orang. Untuk hari Jumat sampe Minggu."

Alesha tidak menjawab dan terus menatap kosong pada dokumen di hadapannya. Bagas yang melihat hal itu memanggilnya berulang kali, tetapi tetap tidak mendapat respons.

"Alesha! Kamu dengar saya?" Bagas memegang pundak sekretarisnya dan membuat wanita itu menoleh kepadanya.

"Oh, maaf, Pak! Tadi Bapak bilang apa?"

Bagas berdecak melihat Alesha tidak fokus.

"Kamu masih mikirin kondisi ayah kamu?"

"Maaf, Pak. Saya nggak akan mikirin masalah pribadi lagi. Jadi, tadi Bapak minta tolong apa?"

"Fokus, Alesha! Fokus. Saya sudah percaya kalo kamu bisa bekerja dengan baik. Tapi kalo kamu masih tidak bisa fokus dengan pekerjaan, saya tidak bisa menoleransi lagi. Saya ngerti saat ini kamu pasti khawatir dengan ayah kamu. Tapi, kamu masih punya tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan di kantor. Tolong pisahkan urusan pribadi dengan pekerjaan."

Alesha menunduk karena merasa malu sudah menunjukkan sikap tidak profesional di hadapan bosnya.

"Maaf, Pak. Saya salah."

Bagas menghela napas panjang. "Baiklah. Kita kembali pada urusan pertemuan di Yogya." Pria itu mengulangi kembali perintahnya kepada Alesha.

"Siap, Pak! Besok saya pesankan semuanya." Alesha menutup buku catatannya setelah mencatat semua perintah bosnya itu.

"Kalo gitu sebaiknya kamu pulang. Saya kasih pengecualian untuk hari ini. Kamu bisa pulang lebih awal."

Alesha memaksakan senyuman di bibirnya. Dia mengecek waktu di ponsel dan melihat jam sudah menunjukkan pukul lima sore.

"Makasih, Pak untuk pengertiannya. Meski sebenernya sekarang memang sudah waktunya pulang, Pak."

"Kamu ini! Mau saya kasih pekerjaan tambahan?"

Alesha menggeleng dengan cepat. "Enggak, Pak. Saya pulang sekarang."

Wanita itu segera membereskan barang dan berdiri dari kursi. Dia menunduk sekali lagi untuk berpamitan kepada Bagas lalu meninggalkan meja kerjanya sambil terus menggerutu karena sikap bosnya itu.

Bersambung

~~~

Alesha pusing mikirin ayahnya atau temen masa kecilnya, nih?😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top