Bab 43. Perhatian Alesha

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya

~~~

Bagas menggeleng-geleng melihat wanita di hadapannya sedang menghabiskan sepiring siomai dan burger. Pria itu tidak habis pikir dengan isi kepala sekretarisnya. Wanita itu masih sempat memikirkan perut setelah kejadian yang menimpanya. Mereka akhirnya memutuskan kembali ke kafe setelah Alesha mengeluh kalaparan. Bagas tersenyum melihat sekretarisnya itu dengan lahap menghabiskan makanan.

Pria itu terus memperhatikan wanita yang hari ini mengenakan gaun selutut bermotif bunga dengan lengan pendek. Terlihat lebih manis dan cantik daripada gaun yang dipakai wanita itu tempo hari, terlalu terbuka. Tangannya tiba-tiba terulur untuk membersihkan sudut bibir Alesha yang berlepotan saus. Seketika keduanya terdiam setelah menyadari apa yang baru saja dilakukan oleh Bagas.

"Kalo makan pelan-pelan. Kayak anak kecil aja makan burger berlepotan saos."

Bagas yang tersadar lebih dulu langsung berbicara untuk mencairkan suasana yang sempat canggung itu. Sementara, Alesha berkedip beberapa kali lalu mengalihkan pandangan dengan mengambil tisu dan membersihkan sudut bibirnya sendiri.

"Bapak nggak makan juga?"

"Saya mendadak kenyang liatin kamu makan."

"Ih, Bapak ada-ada aja. Mana bisa kenyang cuma dengan liatain orang lain makan?"

Bagas berdecak. "Kamu pikir saya bisa selera makan setelah kena pukul dan ngerasain lengan kiri saya sakit kayak sekarang?"

Alesha meringis lalu mengatupkan bibirnya rapat, tetapi berselang dua detik berikutnya dia mulai bicara lagi. "Iya, maaf, deh, Pak. Setelah ini saya antar Bapak ke rumah sakit, ya. Nanti kalo infeksi terus kena tetanus gimana?"

Bagas mendelik mendengar ucapan sekretarsinya itu. "Kamu nyumpahin saya kena tetanus?"

"Ya enggak gitu, Pak. Saya, kan, cuma takut aja."

Wanita itu segera menghabiskan minumannya lalu mengelap mulut dengan tisu baru yang diambilnya ketika melihat Bagas makin melebarkan mata.

Bagas memanggil Glen setelah wanita di hadapannya menghabiskan semua makanan di meja. Pria itu juga menghabiskan kopinya sebelum barista sekaligus pemilik kafe itu datang ke meja.

"Udah mau balik?" tanya Glen yang baru tiba di meja Bagas.

"Iya. Lo liat sendiri, kan semua pesanan udah abis nggak bersisa."

Bagas melihat Alesha memajukan bibir sambil menunduk malu. Pria itu mengeluarkan kartu debit dan hendak menyerahkannya kepada Glen. Namun, barista itu segera menolak.

"Glen! Lo buka usaha buat dapet untung. Dan gue dateng ke sini sebagai pelanggan. Jadi, tolong kali ini terima bayaran dari gue termasuk kopi pertama yang lo bikinin tadi. Kalo lo nggak mau nerima bayaran dari gue, gue nggak bakal mau berkunjung ke sini lagi."

Glen mendengkus. "Oke. Gue terima bayaran dari bos besar. Tunggu sebentar."

Glen mengambil kartu debit yang disodorkan Bagas tadi lalu pergi ke meja kasir untuk melakukan pembayaran. Dia kembali ke meja Bagas dengan membawa sebuah bungkusan yang langsung diserahkannya kepada Alesha.

"Ini bonus buat cewek cantik yang udah berkunjung ke kafe gue dan nemenin bos yang suka marah-marah itu."

Bagas hendak memukul lengan Glen, tetapi dia justru meringis karena lengan kirinya yang terluka ikut tertarik. Pria itu hanya bisa melotot sambil menerima kartu debitnya kembali.

"Wah! Makasih, ya, Glen. Nanti gue kasih buat Aqila aja." Alesha tersenyum senang dengan mata berbinar bergantian menatap Glen dan bungkusan di tangannya.

"Aqila itu temen lo yang waktu itu di sini juga?"

Bagas mengerutkan kening melihat Glen begitu bersemangat menanyakan tentang Aqila. Dia beralih menatap Alesha yang juga melakukan hal sama dengannya. Mereka saling memberi kode dengan mata mengenai yang terjadi sebenarnya. Bagas mengangkat bahu saat wanita di hadapannya menuntut jawaban.

"Oke. Gue liat kejadian malam itu. Waktu lo ada pesta reuni bareng temen-temen SMA lo. Gue tau karena sepupu gue yang nyewa tempat ini dan gue lagi ada di sini malam itu." Glen memberikan penjelasan setelah melihat aksi dua orang itu.

Alesha langsung menutup wajah malu karena pasti Glen juga melihat perbuatannya kepada Bagas malam itu. Dia mencoba tersenyum kepada Glen.

"Iya, bener. Itu sahabat gue. Nanti sekalian gue salamin sama dia, ya dari lo."

Glen mengangguk sambil mengangkat jempol. Sementara, Bagas tetap diam sambil mengamati gelagat temannya itu.

Bagas menyerahkan kunci mobilnya saat Alesha menawarkan diri untuk menyetir. Mereka meninggalkan kafe setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada Glen. Kini, Bagas sudah duduk di samping kursi pengemudi dan berusaha menarik sabuk pengaman dengan sebelah tangannya yang tidak terluka.

Alesha segera membantu saat melihat bosnya kesusahan memasang sabuk pengaman. Mereka sempat bertatapan ketika wajah keduanya begitu dekat. Wanita itu segera kembali ke kursinya setelah selesai memasangkan sabuk pengaman tersebut.

"Nggak ada salahnya sesekali buat minta tolong. Kenapa harus gengsi segala."

"Kamu mau ngomel atau segera menjalankan mobil ke apartemen?"

Bagas melihat wanita di sampingnya itu masih komat-kamit meski tanpa suara. Dia segera mengalihkan pandangan ke depan ketika Alesha sempat meliriknya sebelum mulai mengemudikan mobil.

Mereka tiba di apartemen pukul tiga sore. Alesha memaksa mengantar Bagas hingga ke dalam unit meski pria itu sudah menolaknya. Bagas mengalah dan membiarkan sekretarisnya itu mengamati seluruh isi unit apartemennya.

Bagas mengikuti Alesha yang berkeliling di unitnya, entah apa yang dicari oleh wanita itu. Dia akhirnya memilih untuk duduk di sofa depan televisi dan membiarkan Alesha melakukan apa pun yang diinginkan. Pria itu meregangkan tubuh lalu memegangi lengannya yang terluka.

"Eh, Bapak kenapa? Pasti sakit banget, ya? Sini saya obati lagi. Sebentar saya cari kotak obatnya dulu." Wanita itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir dari dapur ke depan televisi. "Di mana, ya, Pak?" tanyanya kemudian sambil menggaruk tengkuk.

"Biar saya aja yang ngambil."

"Eh, nggak usah. Bapak di sini aja. Biar saya yang ngambil. Bapak tinggal bilang di mana tempatnya."

Bagas menghela napas dan duduk kembali. "Di atas kulkas."

Alesha segera mengambil kotak obat tersebut lalu kembali dan duduk di hadapan Bagas. Wanita itu terdiam sesaat sambil mengamati bosnya.

"Bapak buka baju, biar saya obati."

Bagas membuka mulut lebar sambil mengernyit. Dia tidak salah dengar, kan? Alesha memintanya membuka baju?

"Bapak, kok, diem aja? Nggak bisa? Sini saya bantu buka bajunya."

Alesha mengulurkan tangan menyentuh ujung kaus Bagas. Blazer pria itu sudah dilepas sejak di kafe tadi. Namun, Bagas menepis tangannya.

"Kamu nggak salah nyuruh saya buka baju di sini?"

Alesha berkedip beberapa kali. "Emangnya kenapa, Pak? Saya mau obati luka Bapak. Kan, biar sekalian Bapak bisa ganti baju setelah saya bersihkan lukanya. Udah, nggak usah malu sama saya, Pak. Saya nggak akan macem-macem. Oke?"

Bagas pasrah dan menurut kepada sekretarisnya itu. Dia hanya bisa menahan napas saat Alesha begitu dekat, bahkan Bagas bisa menghirup wangi tubuh wanita itu. Saat kaus sudah terlepas dan memperlihatkan tubuh bagian atasnya, dia melihat Alesha terpaku menatap pundaknya. Pria itu segera menahan tangan wanita itu saat hendak menyentuh pundaknya.

"Oh, maaf. Saya ... luka itu ...." Alesha menggeleng dengan tangan masih menggantung menunjuk luka di pundak Bagas.

"Luka ini saya dapet waktu masih kecil. Karena nolongin temen."

Bersambung

~~~

Eh, kenapa sama luka di pundaknya Pak Bagas?🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top