Bab 41. Berkunjung ke Kafe Milik Glen
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Bagas tetap bangun pagi meski tidak ada janji temu dengan rekan kerja pada hari Sabtu. Dia memutuskan untuk joging di sekitar gedung apartemen setelah mencuci muka. Sebelum kembali, pria itu menyempatkan mampir ke kafe di dekat sana untuk sarapan. Dia memesan roti panggang dengan sup krim jagung dan tidak lupa kopi hitam pahit untuk memulai harinya. Pria yang mengenakan celana olahraga biru dengan kaus putih polos itu melihat Alesha bersama sahabatnya baru memasuki gedung apartemen dan dia mengikuti mereka.
Pria itu segera menyusul kedua wanita yang hendak memasuki lift. Dia sempat menyapa mereka yang dibalas dengan anggukan dan senyuman. Di dalam lift, Bagas hanya diam sambil memainkan ponsel sekaligus mencuri dengar obrolan dua wanita yang berdiri di depannya itu.
Dia tersenyum geli melihat gelagat Alesha yang berbisik kepada Aqila sambil sesekali melirik kepadanya. Kemudian, dia mengernyit saat sekretarisnya itu menyebutkan soal kencan yang tentu saja masih dengan berbisik kepada Aqila.
"Alesha!" Bagas memanggil sekretarisnya saat mereka berada di depan unit apartemen masing-masing.
Wanita itu menoleh kepada Bagas dengan mengerutkan kening. "Iya, Pak?"
"Ehm, saya niatnya mau ngajak kamu ke suatu tempat. Sekalian mau nunjukin sesuatu. Tapi, kayaknya kamu sibuk hari ini?"
Bagas memutuskan untuk mencoba mengajak Alesha setelah berdebat dengan dirinya sendiri. Pria itu melihat Aqila tengah menarik-narik ujung baju sekretarisnya. Dia tahu jika wanita itu pasti akan menolak ajakannya dan lebih memilih acara kencan. Namun, tidak ada salahnya mencoba, kan? Siapa tahu Alesha berubah pikiran?
Alesha tersenyum manis sebelum menjawab. "Duh, gimana, ya, Pak. Maaf banget saya nggak bisa. Saya udah ada janji sama temen. Lagian, Bapak sendiri yang bilang kalo nggak akan ganggu waktu saya di akhir pekan. Jadi, saya boleh nolak ajakan Bapak, kan?"
Bagas menepuk tangan sekali lalu menertawakan dirinya sendiri. "Ah, iya. Kamu bener. Sori, saya nggak akan ganggu acara kamu. Sampek ketemu hari Senin di kantor, Alesha."
Pria itu langsung berbalik dan buru-buru masuk ke unit apartemennya karena malu. Dia memang sudah memprediksi jawaban dari Alesha, tetapi kenyataan jauh membuatnya lebih malu setelah mendengar sendiri jawaban itu dari mulut sekretarisnya.
Dia menuju dapur dan membuka kulkas lalu mengambil botol air mineral. Bagas langsung meneguk air tersebut hingga tersisa setengah. Kemudian, dia duduk di kursi meja makan untuk menenangkan jantungnya yang sedang berulah. Dia tidak menyangka jika mengajak Alesha keluar di luar kantor akan membuat dadanya berdebar kencang seperti saat ini. Pria itu menggeleng keras untuk menyingkirkan pikiran mengenai perasaannya kepada Alesha.
Bagas mengambil ponsel dari saku celana olahraganya dan langsung menghubungi Glen untuk mengabarkan dia akan berkunjung ke kafe milik pria itu. Dia tidak mau menghabiskan hari Sabtu-nya dengan hanya berdiam diri di apartemen tanpa mengerjakan sesuatu. Kalau saja dia tidak meninggalkan laptopnya di kantor, pasti dia tidak akan merasa bosan karena bisa mengerjakan beberapa pekerjaan yang tertunda.
Pukul sebelas siang, pria itu sudah bersiap untuk pergi ke kafe yang dikelola oleh Glen. Dia mengenakan pakaian santai, perpaduan antara jin dan kaus rajut cokelat susu yang dibalut dengan blazer putih.
Dalam perjalanan, Bagas sempat melihat Mira saat berhenti di lampu merah. Wanita itu bersama seorang pria dan mereka terlihat sedang berdebat di trotoar. Bunyi klakson dari mobil di belakang menyadarkannya yang terlalu fokus memperhatikan Mira. Dia segera menjalankan mobilnya kembali karena lampu sudah berubah hijau. Di sepanjang sisa perjalanannya, pria itu masih memikirkan tentang kejadian yang dilihatnya tadi.
Ah, bukan urusan gue! Itu urusan pribadi Mira karena saat ini di luar jam kerja dan nggak ada hubungannya sama kerjaan kantor. Tapi ... harusnya gue nolongin dia sebagai lelaki. Ah, bodo amat! Gue nggak berhak ikut campur.
Akhirnya, Bagas mengakhiri perdebatan dalam dirinya dan terus melajukan mobil hingga tiba di kafe milik Glen. Dia keluar dari mobil dan langsung menghampiri Glen yang sedang meracik kopi di balik meja barista.
Pria itu memilih untuk duduk di kursi yang berada di meja barista agar tetap bisa mengobrol dengan Glen saat pria itu harus membuatkan pesanan milik pengunjung kafe.
"Tumben seorang Bagas, pimpinan perusahaan yang sedang berkembang pesat bisa nongkrong di kafe dengan santai?" sindir Glen setelah menyerahkan pesanan kepada pegawainya.
"Bisa aja lo nyindirnya. Kalo laptop gue nggak ketinggalan di kantor, gue pasti lebih milih diem di apartemen buat kerja."
"Ya-ya-ya. Gue percaya sama seorang pekerja keras kayak lo. Ngomong-ngomong, mau minum apa ini?"
"Gue ngikut aja. Pengen tau menu spesial dari tangan seorang barista yang dulunya megang borgol buat nangkep penjahat."
Kemudian, mereka tertawa sambil bertos ria. Bagas duduk sambil mengamati kafe yang cukup ramai pada siang hari itu. Kebanyakan dari pengunjung tersebut adalah para siswa dan mahasiswa yang menghabiskan akhir pekan untuk menongkrong bersama teman atau mengerjakan tugas. Bagas kembali menghadap Glen yang fokus meracik kopi untuknya.
"Gimana perkembangan kerja sama lo sama Pak Anton?" Glen membuka obrolan di tengah-tengah kegiatannya berkutat dengan mesin pembuat kopi.
"Gue udah kasih separuh dananya. Tapi, gue belum bergerak buat kerja sama dengan petani. Beberapa waktu kemarin, masih ada kendala. Jadi, gue belum ketemu lagi sama petani yang bakal kerja sama dengan perusahaan gue."
"Ada yang bisa gue bantu lagi? Gue siap bantu apa pun permintaan dari lo."
"Free?"
"Oh, tentu tidak!" ucap Glen sambil tertawa. "Tenang-tenang, kali ini gue bantu lo sebagai temen." Dia cepat-cepat menambahkan saat melihat wajah Bagas berubah mendung.
"Serius? Oke. Gue terima. Kapan pun gue butuh bantuan lo, lo nggak bisa mangkir. Omongan lo tadi udah nggak bisa ditarik lagi."
"Sialan! Dasar pebisnis! Nggak bisa liat sesuatu yang menguntungkan sedikit, langsung disamber."
"Oh, pastinya. Lo nggak usah meragukan soal perhitungan itu. Gue udah jagonya. Ada penawaran yang sangat menguntungkan apalagi tidak perlu mengeluarkan biaya. Pasti langsung gue ambil."
"Seharusnya gue tetep pasang tarif untuk pertolongan sekecil apa pun, ya."
"Terlambat!"
Bagas melihat Glen tengah terpaku menatap satu titik saat hendak menyerahkan kopi untuknya. Dia berbalik untuk melihat apa yang membuat temannya itu begitu fokus. Bagas melihat Alesha bersama seorang pria baru memasuki kafe. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah pria di samping sekretarisnya itu. Dia yakin pernah melihat pria itu sebelumnya.
"Bukannya itu cewek yang pernah nyium lo di sini?"
Bagas langsung berbalik lagi menghadap Glen. Dia menaikkan alis untuk meminta pria di hadapannya itu memperjelas kembali pertanyaan yang baru dilontarkan.
Glen manggaruk tengkuknya sambil meringis. "Sori. Gue nggak bermaksud apa-apa. Tapi, lo yakin bakal biarin dia sama cowok lain?"
"Ah, sial! Gue inget siapa cowok itu."
Bagas hendak berdiri, tetapi kembali duduk saat mengingat kopi yang sudah dibuatkan oleh Glen. Dia menyeruput sedikit kopi tersebut dan langsung takjub dengan rasanya.
"Kopi buatan lo enak juga. Tapi, sori banget. Gue harus susul cewek tadi."
Glen mengacungkan jempol. "Semoga berhasil!"
Bagas bergegas mencari Alesha di lantai dua. Dia berpapasan dengan pria yang dilihatnya di trotoar saat perjalanan ke kafe. Pria itu sedang berbicara di telepon dan meninggalkan Alesha di meja mereka. Bagas tidak menyiakan kesempatan itu untuk membawa pergi Alesha dari sana.
Tiba di meja Alesha, dia langsung menarik tangan wanita itu agar mengikutinya. "Ikut saya, Alesha! Jangan banyak tanya. Nanti saya jelaskan semuanya. Lebih baik kamu pergi dari sini. Pria itu nggak baik buat kamu."
Bersambung
~~~
Pak Bagas main tarik anak orang aja.😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top