Bab 38. Kencan Buta Pertama yang Gagal

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share  ya

~~~

Alesha bergerak dalam tidur hingga posisinya yang semula menghadap kiri kini berubah ke kanan. Pergeseran itu membuat tubuhnya linglung dan hampir terjatuh, beruntung Bagas dengan sigap segera berdiri dan menahan wanita itu. Alesha terusik lalu terbangun dan langsung membelalak ketika menyadari posisi Bagas begitu dekat dengan tangan yang hendak menyentuh dadanya. Tanpa berpikir panjang, wanita itu langsung mendorong bosnya hingga terduduk di lantai.

"Bapak mau ngapain? Bapak mesum, ya?" Alesha menutup dada dengan kedua tangannya sambil terus waspada.

Bagas menganga mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh sekretarisnya itu. Dia berdiri sambil menepuk-nepuk pantatnya lalu merapikan kemeja yang kusut.

"Kamu itu kalo mau nuduh orang liat-liat, dong! Bukannya terima kasih karena saya tolongin, ini malah nuduh saya yang enggak-enggak. Kalo bukan karena saya, kamu udah kejengkang di lantai."

Alesha yang masih setengah sadar berkedip beberapa kali untuk memahami situasi yang ada. Dia menggaruk belakang tengkuknya yang tidak gatal lalu meringis menatap Bagas.

"Ya, maaf, Pak. Lagian tangan bapak tadi ngapain ke dada saya?" Alesha masih memasang perlindungan diri dengan menyilangkan tangan di depan dada.

Bagas mendengkus. "Saya cuma penasaran aja sama kalung kamu itu. Sebenernya udah lama saya mau tanya. Tapi, belum nemu waktu dan alasan yang tepat."

Alesha mengernyit sambil memegang kalungnya. "Emang kenapa sama kalung saya, Pak?"

"Enggak apa-apa. Saya ngerasa itu kalung sama dengan punya seseorang yang saya kenal dulu."

"Enak aja. Nggak mungkin, Pak. Kalung ini, tuh cuma ada satu di dunia. Soalnya, saya dapet dari seseorang yang spesial. Jadi, nggak mungkin ada yang sama. Bapak salah liat, kali."

"Boleh saya liat kalungnya?"

Alesha memicing menatap bosnya yang sangat berharap itu. "Maaf, ya, Pak. Tapi, kalung ini bukan buat diliat-liat sama orang lain."

Bagas menghela napas dan menyerah karena percuma berdebat dengan orang keras kepala seperti Alesha. "Ya udah, sini kembaliin jas saya. Kita lebih baik pulang. Sekarang juga udah semakin malam."

"Eh?" Alesha memperhatikan dirinya sendiri dan menemukan jas milik pria itu masih bertengger manis di pundaknya. "Ini, Pak. Makasih, ya. Sekali lagi maaf." Alesha menyerahkan jas tersebut kepada pemiliknya. "Oh, iya, Pak. Terus gimana kelanjutan laporan keuangan Mira?"

"Saya mau serahkan semuanya sama tim audit aja. Biar mereka yang meriksa dan memutuskan. Kamu bilang aja laporannya masih sama saya kalo Mira tanya."

Alesha mengangguk lalu kembali ke meja di depan ruang pimpinan itu untuk membereskan barang-barangnya. Kemudian, dia pulang bersama Bagas setelah pria itu menawarkannya.

Dia tiba di apartemen pukul sembilan malam karena Bagas mengajak makan terlebih dulu. Alesha membuka pintu kamar perlahan karena takut sahabatnya sudah tidur, tetapi dia justru menemukan Aqila duduk manis di meja rias membelakanginya tengah fokus menulis diari. Wanita itu berusaha berjalan sepelan mungkin ke belakang sahabatnya karena penasaran ingin mengintip apa yang tertulis dalam diari tersebut.

"Tumben baru pulang, Sha?"

Alesha seketika menghentikan langkah untuk mendekat ketika Aqila menegurnya tanpa mengalihkan pandangan dari diari. Dia memajukan bibir karena rencananya itu gagal lagi.

"Gue ketiduran di kantor waktu lagi meriksa laporan keuangan. Lo, kok, bisa tau, sih kalo gue dateng? Padahal gue udah pelan banget dan lo lagi fokus sama diari lo itu."

Aqila berdecak lalu berbalik menatap Alesha. "Lo nggak liat cermin segede ini di depan gue?"

Alesha mendongak dan melihat bayangannya berada dalam cermin. Dia meringis karena malu telah tertangkap basah sejak awal.

"Pantesan langsung negur gitu."

"Lagian, niat jahat itu nggak akan terkabul. Udah sana mandi. Jangan harap bisa tidur di kasur gue kalo lo nggak mau mandi."

Ancaman dari Aqila langsung mengurungkan niat Alesha untuk tidak mandi. Wanita itu mendekat sambil bergelayut manja kepada sahabatnya.

"Tapi, dingin, La. Besok pagi aja, ya gue mandinya. Gue cuci muka sama sikat gigi aja, deh. Gue tetep wangi, kok."

"Enggak. Gue bilang mandi sekarang atau gue usir lo dari apartemen gue!"

Alesha makin mengerucutkan bibir karena tahu telah kalah telak. Kemudian, dia berjalan menuju kamar mandi sambil mengentak setelah meletakkan tas dan mengambil handuk.

Keesokan paginya, Alesha bangun dengan badan yang lebih segar lagi. Wanita itu bergegas untuk bersiap ke kantor. Di meja makan, dia mengecek ponsel dan mendapati pesan dari nomor tidak dikenal. Dia membuka pesan tersebut lalu membacanya.

"La, tebak siapa yang nge-chat gue pagi-pagi?"

Aqila mengangkat bahu tak acuh. "Paling juga si Bagas. Siapa lagi yang ngubungin lo coba?"

"Ih, kenapa harus nama dia yang lo sebut, sih?"

"Ya, lagian. Lo pikir gue cenayang gitu bisa tau siapa yang nge-chat lo pagi-pagi? Tinggal ngomong aja apa susahnya, sih, Sha? Kenapa lo seneng banget bikin idup susah."

Mulai ngomel lagi, kan, dia. Udah kayak emak-emak yang ngomelin anaknya mau berangkat sekolah. Tapi, gitu-gitu sahabat gue juga, sih. Alesha menggerutu dalam hati.

"Jadi, siapa? Lo itu niat cerita, nggak, sih?"

Tuh, kan. Sekarang dia yang penasaran sendiri. Heran, deh. Kok bisa-bisanya gue punya sahabat kayak dia, batinnya lagi.

"Kenapa sekarang lo jadi senyum-senyum sendiri gitu?" protes Aqila yang belum mendapat jawaban.

"Entar malem gue pergi kencan buta, dong. Sama cowok paling femes di sekolah dulu."

"Maksud lo si Edgar? Serius? Gimana bisa?"

Alesha mengangkat bahu. "Waktu di reuni itu dia sempat ngobrol sama gue sebelum Reza dateng dan merusak rencana gue. Terus beberapa hari yang lalu dia udah nge-chat gue basa-basi gitu. Eh, pagi ini dia ngajak makan malam. Ya langsung gue terima, dong."

Aqila mengangguk-angguk. "Gue sebagai sahabat lo cuma bisa ngedukung dan doain yang terbaik aja buta lo."

Alesha membalas dengan senyuman lalu melanjutkan sarapannya. Mereka berangkat setelah menghabiskan nasi goreng buatan Aqila.

Di kantor, sepanjang hari Alesha tidak berhenti tersenyum meski sempat mendapat teguran dari Bagas karena sudah keliru mengirim email kepada rekan bisnis. Dia tidak sabar menunggu hari usai dan bergegas untuk pergi kencan buta. Dalam pikirannya, sudah tertata rapi baju yang akan dipakainya nanti. Saat pukul lima tepat, dia langsung membereskan barang-barangnya dan melesat meninggalkan kantor.

Pukul tujuh malam, dia sudah duduk manis di hadapan pria yang menjadi teman kencannya itu. Seorang pelayan berdiri di samping meja membawa kertas dan bulpen untuk mencatat pesanan mereka.

"Lo makin cantik aja setelah lama nggak ketemu, ya, Sha." Edgar memulai perbincangan.

Alesha tersenyum. "Kesibukan lo apa sekarang, Ed? Yang gue denger dari anak-anak, lo udah megang perusahaan bokap lo?"

"Ya, gitulah, Sha. Anak kayak kita, kan, emang dibentuk buat nerusin perusahaan keluarga."

Alesha mengangguk sebagai balasan. Mereka melanjutkan perbincangan sambil makan. Ketika berbincangan mereka mulai serius, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia menolak panggilan dari Bagas dan kembali fokus kepada Edgar. Namun, lagi-lagi ponselnya berbunyi dan tetap panggilan dari bosnya. Berkali-kali ditolak, pimpinannya itu tetap menghubungi. Akhirnya, dia meminta waktu kepada pria di hadapannya itu untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Iya, ada apa, Pak?"

"Kamu ke mana aja? Saya butuh kamu. Kembali ke kantor sekarang!"

"Tapi, Pak. Apa nggak bisa besok pagi aja? Saya lagi ada urusan sekarang."

"Saya bilang kembali sekarang, Alesha!"

Wanita itu menelan ludah kasar lalu dengan berat hati dia harus meninggalkan Edgar untuk kembali ke kantor. Dia meminta maaf berkali-kali karena sudah mengacaukan acara kencan mereka.

Bersambung

~~~

Ehem, yang lagi kencan buta, tapi diganggu sama si bos.🤣

Guys, kalian, tuh, seneng banget diem-dieman, ya. Boleh banget, loh, komen apa aja di kolom komentar. Tapi, ya sebaiknya berhubungan dengan isi cerita. Alesha mau tau, loh siapa aja yang udah baca kisahnya. Jadi, jangan malu-malu buat komen, ya. Apalagi, kasih vote. Gratis, Sai.😘💃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top